September 13, 2024

KPU Siapkan Lima Bulan untuk Tahapan Prapemilu

Komisi Pemilihan Umum menyiapkan lima bulan dari 25 bulan yang direncanakan dalam tahapan Pemilu 2024 sebagai bagian dari tahapan prapemilu. Selama ini, tahapan prapemilu kerap tidak dimasukkan ke dalam rencana dan desain tahapan pemilu di Tanah Air.

Padahal, prapemilu merupakan bagian tak terpisahkan dari tahapan pemilu di negara demokratis.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi, dalam diskusi daring yang membahas Sistem dan Tahapan Pemilu dan Pemilihan, Selasa (14/9/2021), mengatakan, sebagaimana dipaparkan KPU di hadapan Komisi II DPR, pekan lalu, tahapan Pemilu Serentak 2024 memerlukan waktu 25 bulan. Waktu ini lebih lama lima bulan daripada tahapan Pemilu 2019, yang hanya 20 bulan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan ketentuan minimal atau setidak-tidaknya 18 bulan sebelum hari H. Hal itu diatur di dalam Pasal 176 Ayat (4) UU Pemilu. Namun, ketentuan itu tidak membatasi hanya 18 bulan. Sebab, pada Pemilu 2014, misalnya, tahapan pemilu selama 22 bulan, sedangkan pada Pemilu 2019 bahkan lebih pendek, yakni 20 bulan.

”Jadi, tambahan lima bulan jika dibandingkan dengan Pemilu 2019 itu untuk masa persiapan atau periode prapemilu. Di masa itu, kami menyiapkan perencanaan program dan anggaran, penyusunan regulasi, penguatan infrastruktur TI, dan sosialisasi kepada publik dan partai politik,” ujarnya.

Pramono mengatakan, tahapan prapemilu itu sangat penting karena melihat kompleksitas Pemilu 2024, yang menggelar pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah pada tahun yang sama, KPU perlu menyiapkan beberapa hal di luar pendaftaran, kampanye, pemungutan, dan penghitungan suara secara lebih awal.

KPU, misalnya, tidak ingin mengulang pengalaman pemilu sebelumnya, yang bahkan aturan-aturannya, termasuk UU Pemilu, baru disahkan beberapa hari sebelum tahapan pemilu. Keserentakan pemilihan pada Pemilu 2024 mesti diantisipasi lebih awal dengan menyiapkan regulasi jauh-jauh hari.

”Kami ingin menyiapkan ini lebih baik karena kami sudah mengetahui tantangannya seperti apa di Pemilu 2024. Namun, sebenarnya, kalau melihat waktu pendaftaran partai politik dalam desain dan tahapan yang kami rancang, itu 18 bulan sebelum hari H. Artinya, tidak berbeda masa tahapannya dengan Pemilu 2019 yang juga 18 bulan waktu dimulainya tahapan. Tahapan awal ditandai dengan pendaftaran parpol,” ucapnya.

Pramono menerangkan, waktu prapemilu belum sepenuhnya melibatkan parpol dan pemilih karena sifatnya persiapan. Pelibatan parpol baru dilakukan ketika dimulai pendaftaran parpol. Artinya, baru pada saat pendaftaran parpol itulah KPU melibatkan pihak di luar KPU. Adapun lima bulan tahapan persiapan diorientasikan untuk menyusun hal-hal di luar pelibatan parpol dan pemilih.

”Tahapan lima bulan prapemilu itu tidak pernah dimasukkan ke desain tahapan pemilu kita. Nah, sekarang dimasukkan. Ini yang banyak orang belum pahami atau salah memahami, seolah-olah kenapa, kok, tahapannya diperpanjang,” katanya.

Dalam rancangannya, KPU menyiapkan hari pemungutan suara pemilu pada 21 Februari 2024, sedangkan hari pemungutan suara pilkada pada 27 November 2024. Hari pemungutan suara dilakukan pada hari Rabu, dan diatur agar tidak berlangsung di bulan puasa dan tidak bersamaan dengan hari besar keagamaan.

Sebelumnya, KPU sempat mengusulkan hari pemungutan suara pemilu pada 28 Februari 2024, tetapi kemudian dimajukan karena setelah diperiksa kembali pada 28 Februari ada hari raya Galungan. KPU juga memajukan jadwal pemilu, dari yang biasanya April menjadi Februari.

Jeda waktu antara Februari dan November atau hari pemungutan suara pemilu dan pilkada, menurut Pramono, diharapkan sudah memadai untuk mengantisipasi beberapa hal. Utamanya untuk memberikan kesempatan bagi parpol mengonsolidasikan kekuatan menyiapkan pilkada. Pasalnya, pencalonan dalam Pilkada 2024 didasarkan pada perolehan suara di Pemilu 2024.

”Selain itu, pemajuan jadwal itu untuk mengalokasikan waktu yang cukup bagi potensi dilakuaknnya pilpres putaran kedua. Kami merancang ruang waktu juga untuk proses rekapitulasi, sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi, serta pencalonan dan kampanye dalam Pilkada 2024,” katanya.

Dengan mempertimbangkan hasil Pemilu 2024 yang dijadikan basis bagi pencalonan Pilkada 2024, waktu yang tersedia tersebut diproyeksikan memberikan kesempatan bagi parpol-parpol untuk menentukan koalisi partai dengan mengetahui parpol mana yang menenuhi suara signifikan dan mana yang tidak dignifikan.

”Siapa pula yang akan menjadi senior partner dalam koalisi, dan yunior partner dalam koalisi,” ujarnya.

Sesuaikan sistem pemilu

Ketua KPU Ilham Saputra dalam pengantarnya mengatakan, tidak ada satu pun sistem pemilu yang sangat ideal dan betul-betul baik dalam penyelenggaraan pemilu di negara-negara demokratis. Semua pihak masih mencari dan mengembangkan format sistem pemilu yang sesuai atau ideal bagi tiap-tiap negara. Sistem pemilu ini juga terus dikaji, dan dibongkar pasang. Tidak terkecuali di Indonesia.

”Indonesia sudah memakai sistem pemilu proporsional terbuka dari Pemilu 2004 sampai sekarang. Jika pada 2024 calon yang duduk di legislastif ditentukan oleh daftar caleg,  pada 2009 sampai sekarang ditentukan oleh suara terbanyak,” katanya.

Dalam membicarakan penyelenggaraan pemilu, penyesuaian antara sistem pemilu dan tahapan pemilu jadi tidak terhindarkan. Tahapan menjadi sangat penting karena melalui hal itulah penyelenggara dapat merencanakan dan mengontrol, serta memudahkan tugasnya.

”Kita harus membuat tahapan ini secara betul-betul sesuai aturan UU, dan menghitung akurat setiap tahapan,” ujarnya.

Sementara itu, narasumber lainnya, pengajar ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada, Sukmajati, mengatakan, sistem pemilu yang diterapkan oleh Indonesia proporsional terbuka, adalah sistem yang juga umum berlaku di negara-negara lain di dunia. Namun, setiap negara memiliki kewenangan masing-masing untuk menyesuaikan sistem pemilu sendiri dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan kondisi di setiap negara.

Dalam mengelola tata kelola pemilu, Indonesia sebaiknya tidak sekadar mengutip atau meniru teori-teori dari luar negeri, tetapi yang tidak kalah penting ialah belajar dari pengalaman sendiri dalam penyelenggaraan pemilu sejak 1999. ”Ini mungkin bisa menjadi kontribusi Indonesia untuk pemilu secara global. Bahwasanya kita mempunyai versi tata kelola pemilu yang tidak sekadar teori, tetapi berdasarkan pengalaman kita sendiri dalam penyelenggaraan pemilu kita, yang sungguh sangat struggling (berjuang), dan tidak mudah,” katanya.

Namun, meskipun Indonesia berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilu, Pemilu 2024 tidak boleh diremehkan. Tahapan pemilu, mulai dari prapemilu, pemilu, dan pascapemilu, menurut Mada, harus disiapkan sebaik mungkin agar pemilu kali ini jauh lebih baik daripada pemilu sebelumnya.

Peneliti Netfid Dahliah Umar mengatakan, sejumlah pakar dan ahli pemilu telah mengatakan ada keterkaitan antara sistem pemilu dengan eskalasi politik uang dan lemahnya pelembagaan parpol. Ia menyoroti sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak yang selama ini diterapkan oleh Indonesia, yang ternyata membawa dampak ikutan pada politik yang cenderung transaksional.

Pola relasi antara caleg dan konstituen berbasis pada dua hal, yaitu kekuatan uang dan popularitas. ”Untuk merespons itu, di masa depan dapat dipikirkan beberapa alternatif sistem pemilu sebagai suatu evaluasi. Misalnya, sistem proporsional tertutup dengan penentuan caleg dipilih oleh internal kader partai,” katanya. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/09/14/kpu-siapkan-lima-bulan-untuk-tahapan-prapemilu/