August 8, 2024

Kredibilitas KPU Tercoreng

Kredibilitas Komisi Pemilihan Umum yang terbangun lama tercoreng oleh penangkapan anggota KPU, Wahyu Setiawan, terkait dengan dugaan suap penetapan anggota DPR terpilih. KPU meminta maaf atas kejadian ini dan akan mengambil inisiatif untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada lembaga tersebut.

Dalam kasus ini, Kamis (9/1/2020), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni Wahyu dan Agustiani Tio Fridelina yang diduga sebagai penerima suap serta Harun Masiku dan Saeful yang diduga berperan sebagai pemberi suap.

Agustiani merupakan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2008-2012 yang disebut orang kepercayaan Wahyu. Harun adalah bekas calon anggota legislatif (caleg) DPR pada Pemilu 2019 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sedangkan Saeful merupakan staf Sekretariat DPP PDI-P.

”KPK sangat menyesalkan adanya penerimaan hadiah atau janji oleh salah satu komisioner KPU terkait proses penetapan pergantian antarwaktu. Proses hukum ini dilakukan sebagai bagian dari penyelamatan lembaga KPU. Persekongkolan antara oknum penyelenggara pemilu dan politisi dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang susah payah dibangun dan biaya sangat mahal,” kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers.

Ketua KPU Arief Budiman yang hadir dalam jumpa pers ini meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas kejadian ini. KPU akan segera menggelar rapat pleno untuk menentukan status Wahyu di KPU setelah penetapan tersangka oleh KPK. ”Kami akan mengambil inisiatif awal (terkait Wahyu) karena kasus ini berpotensi memengaruhi kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.

Mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, penangkapan Wahyu oleh KPK merupakan pukulan bagi KPU. Namun, dia berharap kejadian ini tidak sampai merusak kepercayaan pada KPU. ”Mari melihatnya proporsional karena kita tetap perlu menguatkan KPU. Lembaga ini punya peran sangat fundamental dan penting,” katanya.

Pergantian antarwaktu

Kasus ini bermula dari penetapan pengganti caleg terpilih dari PDI-P, Nazaruddin Kiemas, yang meninggal pada Maret 2019. Jika mengacu pada aturan, penggantinya adalah caleg dengan suara terbanyak di bawah Nazaruddin. Saat itu, caleg dengan suara terbanyak kedua adalah Riezky Aprilia.

Namun, pada Juli 2019, salah seorang pengurus DPP PDI-P memerintahkan kuasa hukum partai untuk menguji materi Peraturan KPU terkait penetapan calon terpilih ke Mahkamah Agung. MA mengabulkan sebagian gugatan yang memberi diskresi kepada partai politik untuk menetapkan caleg yang terbaik sebagai pengganti.

”Penetapan MA ini jadi dasar PDI-P berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti,” ujar Lili. Pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky sebagai pengganti. PDI-P kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan mengirimkan surat berisi penetapan caleg. Saeful dan Agustiani melakukan lobi agar Harun bisa jadi pengganti antarwaktu (PAW).

Kemudian, dokumen dan fatwa MA yang diperoleh Saeful diberikan kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun. Menurut Lili, untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR RI, Wahyu disebut meminta dana operasional Rp 900 juta. Pada pertengahan Desember 2019, Wahyu diduga menerima Rp 200 juta dari Agustiani dan akhir Desember 2019 menerima Rp 400 juta.

Ketika sudah menyentuh persoalan hukum, partai tidak bertanggung jawab.

Arief Budiman menjelaskan, proses PAW dilakukan sesuai perintah undang-undang dengan mengacu pada perolehan suara terbanyak. ”Kami membaca putusan itu (MA), tetapi tak mungkin bisa dijalankan karena UU Pemilu tidak mengatur demikian,” ucap Arief. Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto sempat dikaitkan dengan kasus ini karena stafnya di DPP PDI-P, Saeful, ditetapkan sebagai tersangka. Namun, Hasto menolak spekulasi itu.

Hasto membenarkan partai ingin menggantikan Riezky dengan Harun. Alasannya, Harun sosok yang bersih dan punya rekam jejak baik. ”Pertimbangan kami karena ada putusan MA bahwa ketika ada yang meninggal, MA menyerahkannya pada partai. Tanpa ada putusan MA itu, kami tidak mungkin mengambil keputusan (mengusulkan Harun),” kata Hasto.

Menurut Hasto, semua staf sekretariat DPP ada di bawah pertanggungjawaban Sekjen partai. ”Sebagai sekjen, saya bertanggung jawab dalam membina staf, anggota, dan kader partai. Tetapi, ketika sudah menyentuh persoalan hukum, partai tidak bertanggung jawab,” katanya. (RIANA AFIFAH/INGKI RINALDI/AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2020/01/10/kredibilitas-kpu-tercoreng/