August 8, 2024

Kredibilitas Penyelenggara Pemilu

Sudah dua pekan publik disuguhi ”gesekan” antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu terkait dengan pencalonan eks narapidana kasus korupsi sebagai calon anggota legislatif dalam Pemilu 2019. Berlarutnya penyelesaian bisa menggerus kredibilitas dua institusi penyelenggara pemilu.

Pada Kamis (23/8/2018), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih mengunggah informasi terbaru di laman petisi dalam jaringan, Change.org,dengan tajuk ”Caleg Mantan Koruptor Diloloskan Bawaslu Daerah”. Aplikasi petisi daring yang sudah senyap cukup lama itu kembali bergeliat dengan masuknya warganet yang baru menandatangani petisi. Hingga Sabtu (25/8), petisi yang dimulai sekitar empat bulan lalu itu ditandatangani 223.438 pengguna internet.

Petisi yang diinisiasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih pada April 2018 berjudul ”Dukung KPU Larang Koruptor Nyaleg!” bertujuan mengawal wacana KPU melarang bekas napi kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak mengikuti Pemilu Legislatif 2019. Gagasan ini turut melahirkan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD dan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD.

Komentar-komentar bermunculan begitu diunggah informasi baru di laman aplikasi petisi daring putusan pengawas pemilu di tiga daerah menganulir keputusan KPU setempat yang menyatakan bekas napi korupsi tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi calon anggota DPD dan DPRD. Putusan itu muncul di Provinsi Aceh, Sulawesi Utara, dan Toraja Utara (Sulawesi Selatan).

Yati Haryati, seorang penanda tangan petisi daring, menulis, ”Wakil rakyat seharusnya orang yang bersih dari catatan hukum tindak pidana korupsi. Hal ini harus terus diperjuangkan agar tidak ada lagi bacaleg yang punya catatan negatif tentang hukum. Say NO to bacaleg eks napi koruptor.” Sugeng Ryono, warganet lainnya, bahkan menulis, ”Periksa Bawaslu daerah, ada kemungkinan mereka ada main dengan bacaleg eks napi korupsi dan jangan pilih partai yang mencalonkan mereka karena pasti pengurusnya tidak bersih dengan menerima mahar atas pencalonan bacaleg tersebut.”

Setelah tiga putusan tersebut, KPU sempat menyurati Bawaslu meminta koreksi atas putusan yang dianggap mengesampingkan PKPU No 14/2018 dan PKPU No 20/2018. KPU juga mengirim surat ke KPU di tiga daerah untuk menunda eksekusi putusan pengawas pemilu. Dalam balasan ke KPU, Bawaslu menyampaikan, ruang koreksi putusan hanya terbuka bagi pemohon yang merasa dirugikan. Bawaslu juga menyampaikan alasan KPU untuk menunda pelaksanaan putusan Bawaslu tidak beralasan demi hukum.

Opini publik

Para pengamat dan pegiat pemilu juga punya pendapat berbeda-beda. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, menganggap putusan pengawas pemilu di tiga daerah itu memicu kekacauan baru. Menurut dia, Bawaslu seharusnya mengacu Pasal 76 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur Mahkamah Agung sebagai pihak yang menguji PKPU.

Sementara dalam pertimbangan putusannya, pengawas pemilu menyampaikan penolakan KPU terhadap bekas napi untuk mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPR dan DPRD melalui parpol tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Sementara itu, Koordinator Program Tata Kelola Pemilu Universitas Sam Ratulangi, Manado, Ferry Daud Liando memaklumi putusan Bawaslu membatalkan berita acara KPU yang menyatakan bacaleg bekas napi korupsi tidak memenuhi syarat. Menurut dia, salah satu tugas Bawaslu ialah menegakkan aturan, yakni mengacu UU No 7/2017 yang tidak melarang calon anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan bekas napi korupsi.

”KPU sebagai terlapor juga tidak bisa disalahkan atas keputusan menyatakan TMS bekas napi korupsi karena berdasarkan keadilan substantif sebagaimana diatur PKPU,”
katanya.

Pro dan kontra soal putusan Bawaslu di daerah belakangan ini menimbulkan dua narasi besar di ruang publik. KPU di satu sisi dicitrakan tidak patuh dan tidak hormat pada putusan adjudikasi Bawaslu, sedangkan Bawaslu di sisi lain dicitrakan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Narasi tersebut sama-sama bisa mendelegitimasi kredibilitas setiap institusi penyelenggara pemilu jika terus dibiarkan berkembang tanpa ada penyelesaian persoalan.

”Bisa menjadi buruk pada citra kedua institusi itu dalam pelaksanaan Pemilu 2019 kalau tidak segera diselesaikan,” kata pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Jakarta, Hendri Satrio, Sabtu.

Sikap penyelenggara

KPU dan Bawaslu hingga kini masih berpegang pada perspektif masing-masing. Kendati begitu, belum satu pun dari kedua lembaga itu berniat mengadukan institusi ”rekanannya” ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Ketua Bawaslu Abhan meminta publik tidak melihat putusan Bawaslu dalam kacamata biner dengan menganggap putusan itu membuat Bawaslu tidak pro pemberantasan korupsi. Bawaslu juga sudah mengumumkan nama-nama bacaleg bekas napi korupsi sehingga jumlah bacaleg DPRD bekas napi korupsi turun drastis dari sekitar 200 orang pada saat pendaftaran menjadi 10 persen setelah perbaikan berkas. ”Ternyata masih ada juga parpol yang mencalonkan. Ketika masuk ke ranah adjudikasi, posisi kami sebagai adjudikator harus berpedoman pada ketentuan UU,” kata Abhan.

Sementara itu, anggota KPU, Wahyu Setiawan, menyampaikan bahwa KPU masih berpedoman pada PKPU No 14/2018 dan PKPU No 20/2018. Dia mengaku di satu sisi KPU menghormati proses adjudikasi di Bawaslu, tetapi di sisi lain, PKPU No 14/2018 dan PKPU No 20/2018 yang menjadi pedoman KPU juga masih sah. Oleh karena itu, KPU mengambil sikap tetap berpedoman pada dua PKPU itu sepanjang belum dibatalkan oleh MA.

Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk memecah kebuntuan cara pandang ini? ”Sejauh ini memang belum ada agenda bertemu formal, tetapi kami menyambut baik gagasan pembicaraan tripartit KPU, Bawaslu, dan DKPP supaya ada jalan keluar,” kata Wahyu.

Bagaimanapun jalan keluar atas kebuntuan ini diperlukan agar kredibilitas KPU dan Bawaslu tidak sama-sama tergerus….

(ANTONY LEE)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2018 di halaman 5 dengan judul “Kredibilitas Penyelenggara Pemilu”. https://kompas.id/baca/utama/2018/08/28/kredibilitas-penyelenggara-pemilu-2/