Perpu Nomor 2 tahun 2020 menunda pemungutan suara pilkada dari September ke Desember 2020 yang berarti Juni merupakan bulan awal melanjutkan tahapan. Verifikasi syarat minimal dukungan bakal calon perseorangan yang telah dilakukan oleh KPU dan diawasi oleh Bawaslu akan segera dilanjutkan dengan tahapan verifikasi faktual syarat minimal dukungan bakal calon perseorangan. Maka, regulasi mengatur bahwa verfak harus dilakukan langsung oleh petugas verfak pada orang perorangan yang namanya tercantum dalam syarat dukungan bakal calon perseorangan dengan menggunakan sistem sensus door to door.
Persoalan pertama yang dihadapi dalam pelaksanaan pilkada dijumpai pada pelaksanaan verfak. Pelaksanaan verfak dilaksanakan saat penyebaran covid masih tinggi, tentu akan muncul sikap publik yang enggan atau menolak kedatangan petugas verfak.
Saat ini publik enggan melakukan kontak apalagi dengan orang yang melakukan mobilitas tinggi. Secara teknis “verfak” dilakukan harus melalui tanya jawab antara verifikator seputar pencocokan data diri warga yang memberikan dukungannya pada bacalon perseorangan yang ditunjang dengan bukti kartu identitas.
Jika pendukung menyatakan tidak memberikan dukungannya, yang bersangkutan akan diminta mengisi berita acara dalam form. Selain itu verifikator akan meminta foto bersama sebagai bukti pelaksanaan verfak.
Rangkaian kegiatan verfak yang seperti itu memungkinan publik tidak ramah terbuka dengan kedatangan petugas. Tentu akan menimbulkan sikap yang lebih kooperatif jika verfak dilakukan setelah pandemik benar-benar usai.
Selain reaksi publik, juga timbul kekhawatiran bahwa petugas akan mundur sebagai penyelenggara pilkada. Tidak ada jaminan dirinya terlindung tidak akan terpapar Covid-19 pada saat menjalankan tugas verfak juga tugas–tugas di tahapan lainnya.
Resiko lain yang juga tidak kalah besar ada dalam tahapan kampanye. Dalam tahapan kampanye tentu memerlukan mobilisasi masa baik saat pelaksanaan kampanye maupun sebelum kampanye dimulai. Misalnya kegiatan mengumpulkan timses, jurkam dan relawan. Mobilisasi masa yang melibatkan publik yaitu para pemilih terjadi pada aktivitas-aktivitas kampanye seperti kampanye tatap muka, kampanye pertemuan terbatas, kampanye terbuka, dan metode lainnya.
Selain itu agenda-agenda yang dimiliki oleh penyelenggara juga memerlukan pengumpulan masa. Sebut saja sosilaisai partisipasi pemilih, sosialisasi pengawasan partisipatif, sosialisasi pencegahan pelanggaran pilkada, hingga penguatan pemahaman bagi pemangku kepentingan pemilu. Pelaksanaan pungut hitung yang direncanakan pada Desember 2020 menjadi tahapan yang dinilai memberikan resiko yang paling tinggi dalam penyebaran Covid-19.
Pemilih bermobilisasi di tempat umum yaitu di TPS pada waktu yang bersamaan dan relatif singkat. Selain itu Penggunaan alat logistik pemilu yang bergantian, antrian di TPS pada saat pemungutan suara, hingga kerumunan masyrakat yang menyaksikan penghitungan surat suara akan mengabaikan physical distancing.
Terhadap permasalah itu KPU RI belum memiliki skenario yang jelas guna menghindari risiko pemaparan virus Covid-19 pada setiap tahapan. Masalah lainnya anggaran pilkada tidak bisa menunjang kreativitas KPU dalam membekali TPS dengan alat pelindung diri, masker, handsanitizer, disinfektan, sarana cuci tangan, dan lainnya.
Kita sama-sama mengetahui bahwa Indonesia benar-benar belum dalam kondisi yang sehat. Hari ini curva penyebaran virus dikabarkan masih landai belum mengalami penurunan, bahkan kabar lainnya menyebutkan di beberapa daerah kasus positif Covid-19 kian meningkat.
Penjadwalan pungut hitung pilkada pada Desember 2020 berarti memaksakan kenormalan baru pada publik pada Juni. Tentu publik belum memiliki cukup pengetahuan dan waktu untuk beradaptasi. Memaksakan pilkada di tengah pandemik tentu memiliki risiko penyebaran virus, demokrasi pun akan mengalami kemerosotan dari segi partisipasi pemilih.
Di samping itu isu pilkada tidak menjadi isu utama yang hadir di tengah publik. Publik akan lupa menilai dan mengevaluasi kualitas dan integritas calon pemimpinnya. Pragmatisme menguat dikala ekonomi masyarakat melemah akibat pandemik. Situasi ini akan menjadikan politik transaksional meningkat.
Perpu Nomor 2 Tahun 2020 sebetulnya juga mengatur opsi penundaan dan penjadwalan kembali pilkada. Dasar keadannya jika pada bulan Desember 2020 pemungutan dan penghitungan suara tidak dapat dilaksanakan akibat bencana nasional pandemi Covid-19 belum selesai.
Klausal tersebut termaktub dalam Pasal 201 A ayat (3). Politik hukumnya seolah hanya meramal pandemi yang diperkirakan berakhir pada saat pelaksanaan pungut hitung di Desember 2020. Padahal kenyataan hari ini tahapan pilkada harus segera kembali dilaksanakan sambil bermain “petak umpat” dengan pandemi.
Jika pungut hitung suara pilkada terus dipaksakan pada Desember 2020 semua keadaan tersebut dialami dan berkonsekuensi pada kualitas demokrasi lokal yang buruk. Padahal, sejatinya pesta demokrasi haruslah dilaksanakan tanpa mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan banyak orang. Bahwa hak politik dan hak keselamatan publik bukanlah hal yang patut menjadi pertaruhan dalam pesta demokrasi sebagai penutup tahun 2020. []
ARIFUDIN
Ketua DPD PGK Mataram