November 11, 2024

Kualitas Demokrasi Bergantung Pada Proses Pemilu 2024

Kecurangan dan kekerasan dalam Pemilu penting disikapi karena kualitas demokrasi Indonesia hanya bergantung pada proses Pemilu. Karena syarat negara demokrasi adalah adanya ruang kebebasan masyarakat, berjalannya oposisi partai politik, dan sistem Pemilu yang berintegritas.

“Demokrasi Indonesia hari ini sedang dipertaruhkan terakhir kalinya dengan kualitas Pemilu. Kalau menjadi pemilu yang tidak jujur, tidak bebas, dan tidak adil, mungkin tahun depan lembaga indeks demokrasi dunia tidak menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi elektoral,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, dalam diskusi Imparsial bertajuk “Kecurangan dan Kekerasan dalam Pemilu 2024: Nasibnya Gimana?”, Jakarta, (5/12).

Menurutnya Pemilu 2024 berpotensi adanya penyalahgunaan sumberdaya negara untuk tujuan partisan politik, dan semua pasangan calon menggunakannya. Misalnya melalui penyalahgunaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk kepentingan politik. Hal itu membuat Pemilu tidak berkualitas dan menciptakan demokrasi berkarakter otokrasi.

“Hal yang sama sudah terjadi di India dan Hungaria, otokrasi elektoral melahirkan kediktatoran, oligarki, dan fasisme. Jika memang kita ke arah sana, demokrasi benar-benar sudah mati,” ujarnya.

Ali Syafaat, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya mengatakan keadilan dan martabat tidak akan tercapai kalau pemilu terdapat kecurangan dan politik hanya bertujuan untuk kekuasaan semata. Ia memandang, semakin besar akses pada pemerintahan dan kekuasaan maka semakin besar pula potensi kecurangan yang akan dilakukan.

“Misalnya, calon-calon yang masih menjadi pejabat publik, keberpihakan penyelenggara Pemilu, kekuatan yang tidak berimbang antara satu kontestan dengan kontestan lain, dan lemahnya pengawasan publik,”

Kemudian menurutnya regulasi yang ada sudah sangat memadai. Ia menilai hukum Pemilu dan hukum yang lain sudah saling melengkapi, tinggal bagaimana lembaga-lembaga tersebut menegakkan aturan untuk memberantas kecurangan-kecurangan Pemilu.

Hasil studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) profesionalitas penyelenggara Pemilu menjadi catatan evaluasi pada Pemilu 2019. Merujuk data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terdapat 374 pengaduan dan 190 diputuskan memiliki persoalan profesionalitas.

Sementara menurut Al Araf, Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Imparsial, dalam perspektif HAM Pemilu harus bebas dari segala intimidasi dan paksaan. Hal itu bertujuan untuk memastikan proses pengalihan kekuasaan terjadi dengan tertib dan damai, melalui itu Pemilu bisa dijadikan sebagai alat koreksi sosial.

“Maka penting bagi masyarakat untuk melihat rekam jejak para kandidat yang ada. Karena pada akhirnya pemilu memiliki tiga tujuan, yakni untuk peralihan kekuasan, memastikan proses peralihan berjalan dengan tertib, dan untuk mewujudkan esensi kedaulatan rakyat,” kata Al araf.

Lebih lanjut, kecurangan dan kekerasan dalam Pemilu akan menjadi bom waktu yang berpotensi menimbulkan masalah setelah Pemilu. Hal itu merupakan dampak dari ruang Pemilu yang tidak adil dan setara.

“Siapapun yang menang dan kalah, akan menjadi pertarungan yang tidak pernah selesai,” pungkasnya. []