April 23, 2024
iden
Print

Kualitas Pemilih Pilkada

Pilkada serentak 9 Desember 2015 merupakan harapan besar bagi konstituen untuk memberikan hak pilih terhadap calon-calon kepala daerah yang bertarung dalam kontestasi politik provinsi kabupaten/kota. Sebagai wujud pergantian elit, pilkada serentak yang pertama kali ini dilaksanakan memberikan sejuta harapan tetapi tak semarak sebagai bahagian baralek demokrasi tingat daerah yang asumsi awalnya akan kuat bergerak secara bottom-up.

Pada tulisan ini, saya akan membahas tentang kualitas pemilih pilkada serentak 2015. Konstituen tentu hal yang menentukan partisipasi politik masyarakat naik atau menurun. Ukuran ini berguna sebagai insturmen yang akan membawa demokrasi ke arah yang lebih baik atau stagnan.

Konstituen dalam proses pilkada langsung, harga suaranya tak akan dibedakan dengan pemilih yang sudah berpengalaman atau pemilih pemula. Nilai suara yang diberikan konstituen akan tetap sama. Makanya, demokrasi langsung akan mengarah pada pendekatan machiaveli dibandingkan marxian, jika persoalan ini kita telusuri kembali pada pandangan William Liddle, Indonesianis yang telah lama mendalami tentang kajian keindonesiaan.

Pandangan tentang machiaveli dan marxian akan menjurus bahwa demokrasi langsung merupakan pendekatan yang mendahulukan hak individu sebagai penentu dibandingakan marxian yang nyatanya kolektif memandang persoalan ini. Maka, secara tak langsung demokrasi yang rakyat sebagai penentu segalanya secara individu memosisikan berdekatan dengan “kapitalisme”.

Mengapa begitu? Analisnya kontestan akan berurusan dengan elektoral satu persatu yang menyebabkan biaya politik yang dikeluarkan calon lebih mahal pada demokasi langsung. Ini bukan soal demokrasi langsung atau tidak langsung, dari dua anasir ini saya akan tetap sepakat dengan keberadaan demorkasi langsung dibandingkan tak langsung. Alasan-alasannya, kita sudah mengetahui dinamika Perpu Pilkada yang menimbulkan penolakan banyak pihak beberapa waktu lalu sehingga keluarnya undang-undang No.8 tahun 2015.

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, mahalnya demokrasi langsung berhubungan dengan karakter masyarakat yang niscaya lebih rasional atau pragmatis dalam menyikapi keberadaan demokrasi sebagai ajang memasang kaki pilihan terhadap 2 atau 3 calon yang menjadikan ia bisa mendulang uang sebanyak-banyaknya. Pada tulisan ini, saya akan membahasnya satu persatu tentang tipologi pemilih kita yang nantinya akan saya bahas pada kontes pilkada di Sumatera Barat.

Tulisan ini akan membahas tentang konteks pilkada di Sumatera Barat dengan jenis pemilih yang akan memberikan hak suaranya nanti pada 9 Desember 2015. Pertama, pemilih tradisional, karakter pemilih ini adalah pemilih yang berasal dari masyarakat kelas menenangah kebawah. Masyarakat ini memiliki harapan yang besar terhadap pergantian kepemimpinan (elit), karena melalui hal inilah harapan mereka bisa dititipkan sebagai amanah yang mereka aplikasikan dengan memilih, maka mereka berharap ada perubahan yang akan datang.

Kondisi ini cendung dimanfaatkan banyak calon kandidat, termasuk di Sumatera Barat, calon-calon yang bertarung pada level Provinsi/Kabupaten/Kota menggunakan jargon rakyat sebagai ilustrasi politik mempengaruhi eloktoral. Pemilih tradisional ini adalah yang paling mudah menjadi alat kepentingan kandidat sebagai pendulang suara, karena selain mudah dipengaruhi dengan janji juga dengan sembako yang biasanya dilakukan beberapa kandidat beberapa pilkada sebelumnya.

Kedua, pemilih cerdas, pemilih ini adalah yang memahami kondisi politik yang apa adanya dan seharusnya. Sehingga, pemilih ini akan selalu menghubungkan persoalan kondisi politik dengan teori yang ia dapatkan dari buku atau pun teori. Ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan menjadikan pemilih ini akan cerdas menentukan pilihannya. Para kandidat, umumnya memperkenalkan visi-misi dan program kerja yang masuk akal untuk mempengaruhi konstituen ini, meskipun pada kenyataannya pemilih ini jumlahnya rendah.

Ketiga, pemilih pragmatis, istilah pemilih adalah the real dollar hunter.Pemilih inilah yang menyebabkan mahalnya biaya pemilu. Pemilih ini adalah pemilih yang suka berpindah-pindah kesana dan kemari yang menyebabkan ia memberikan harapan kepada banyak calon, 2 atau 3. Hal ini menjadikan penyebab mahalnya demokrasi Indoensia karena ulah pemilih ini mencari keuntungan pribadi dalam pesta demokrasi.

Keempat, pemilih apatis, pemilih ini adalah pemilih yang tak memberikan kepercayaan pada calon. Sehingga, Tidak memiliki patron layaknya pemilih tradisional, memiliki pengetahuan layaknya pemilih cerdas namun tidak percaya kredibilitas calon. Terkadang pada titik apatismenya ia berprinsip “Siapapun yang terpilih tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat”. Sangat apriori terhadap para calon. Biasanya memilih golput sebagai final solutions terhadap masalah bangsa.Pemilih apatis kadang berubah menjadi pemilih pragmatis.

Sumatera Barat akan berada pada pemilih yang mana? Pada pilkada serentak 9 desember ini. Berdekatannya pilplres 9 Juli 2014 yang lalu dan pilkada serentak akan membuat jenuh pemilih yang datang ke TPS. Asumsi-asumsi ini menjadi kendala. Apalagi, dari beberapa perguruan tinggi yang ada di Suamtera Barat sedang melaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS) yang menyebabkan pemilih-pemilih pemula akan kesulitan untuk memilih pada hari tersebut.

Sistem pemilihan yang berbeda pada saat pilpres yang memang calon sama secara nasional. Pilkada serentak masing-masing daerah berbeda yang memiliki calon yang sistemnya tak memberikan kemudahan pada pemilih yang berada jauh dari kampung halaman. Apalagi, pemilih pemula yang kampungnya berada di luar Sumatera Barat, tentu ia akan golput pada Pilkada antara memilih ujian atau pun ikut pilkada.

Jadi, tantangan pilkada serentak 9 Desember 2015 adalah kualitas pemilih yang akan dihasilkan sebagai bahagiaan dari penyehatan demokasi, meskipun partisipasi politik tinggi tetapi penuh dengan politik uang maka kondisi ini sama saja kita merayakan pesta tetapi setiap pengunjung yang datang meminta tagihan sebagai pertanda kita berpesta. Semoga saja tidak!. []

ARIFKI

Kolumnis, Alumnus Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas, Padang