Semenjak awal krisis COVID-19 melanda negara Korea Selatan, Komisi Pemilihan Nasional (NEC) dengan segera mengambil keputusan tetap menyelenggarakan pemilu. Keputusan ini sontak mendapat sorotan dari seantero dunia. Mata para akademisi, penyelenggara pemilu, ahli pemilu, politisi, dan masyarakat sipil tertuju pada Republik Korea Selatan. Dengan mengamati, mereka berharap mendapat pelajaran berharga dari pengalaman Korea Selatan.
Benar saja, penyelenggaraan pemilu di negara tersebut terbilang sukses. Dari tingkat partisipasi di tengah resiko tertular penyakit memberikan petunjuk awal kesuksesan itu. Berdasarkan data yang diumumkan NEC, angka partisipasi mencapai 66% dari 44 juta pemilih. Ini merupakan angka partisipasi paling tinggi sejak pemilu 1992. Di mana untuk pemilu parlemen Korea, berdasarkan database dari IDEA menunjukkan persentase 58.03% (2016), 54.26% (2012), dan 46.01% (2008). Tapi yang perlu menjadi catatan bahwa adanya penurunan batas umur hak pilih dari 19 ke 18 tahun besar kemungkinan juga membantu peningkatan tingkat partisipasi ini.
Pengamatan saya, kunci kesuksesan dari pemilu nasional parlemen di Korea Selatan adalah manajemen yang rapi dari NEC, sarana prasana yang mendukung dan kedisiplinan masyarakat. Kerangka dan teknis pemilu disusun sedemikian rupa dengan mengedepankan mitigasi risiko penyebaran virus. Regulasi yang berlaku sejak pemilu sela 2013, memungkinkan pemungutan suara dilakukan untuk tiga hari.
Pemungutan suara awal Pemilu 2020 diselenggarakan pada 10 dan 11 April di semua TPS. Pihak NEC mendorong dan mengupayakan semua pemilih memberikan suaranya pada pemungutan suara awal di TPS manapun. Sehingga hal itu akan mengurangi jumlah pemilih yang datang ke TPS di hari pemilu tanggal 15 April. Langkah yang tidak kalah penting juga adalah memperbolehkan pemungutan suara di rumah dengan melalui pos pada pasien COVID-19 dan para pemilih yang mengisolasi diri setelah berkontak dengan penderita COVID-19.
Sementara aturan teknis yang terapkan oleh NEC juga memastikan lingkungan aman untuk memilih. Tindakan yang diambil adalah melakukan mitigasi risiko penularan virus pada setiap langkah pemungutan suara. Dari mulai membatasi kerumunan, antrean di luar TPS, sampai dengan menetapkan langkah aman dalam menangani berbagai perlengkapan pemilu.
Aturan teknis yang juga diberlakukan adalah Kode Perilaku Pemilih yang memuat instruksi mendetail untuk menjaga dan mencegah resiko penularan bagi pemilih dalam memberikan suaranya. Hal serupa juga diterapkan untuk aparat kepolisian, awak media dan pemantau pemilu. Sedangkan petugas pemilihan dan tenaga medis yang berada di lokasi TPS diberikan perlengkapan keselamatan.
Karena ini merupakan aturan teknis baru, pihak NEC mensosialisakannya dengan cara menyiarkan pesan-pesan melalui saluran televisi NEC eTV dan siaran nasional. Mereka juga memasang poster dan spanduk di berbagai pelosok negeri yang menampilkan Kode Perilaku Pemilih di dalam TPS. Saluran televisi nasional juga menayangkan proses pemungutan dan penghitungan suara secara periodik untuk menjaga transparansi proses pemilu.
Adanya wabah ini juga secara signifikan menyebabkan terganggunya proses kampanye dari peserta pemilu. Di Korea Selatan, partai politik dan caleg memanfaatkan teknologi digital dan internet untuk melakukan kampanye. Mereka menggunakan pesan video yang disebarkan melalui media sosial, SMS, dan aplikasi telepon genggam. Bahkan beberapa caleg juga ada yang mengadopsi metode-metode inovatif menggunakan teknologi Augmented Reality’ (AR) untuk berinteraksi secara virtual dengan pendukung mereka. Sebagiannya lagi juga ada yang menjadi relawan kegiatan sosial penanggulangan Covid-19.
Berbagai upaya NEC untuk menyusun kerangka dan teknis pemilu telah mencapai titik keberhasilan dengan tingginya tingkat partisipasi pemilih. Hasil ini menunjukkan bahwa NEC berhasil meyakinkan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya ditengah resiko yang membahayakan mereka. Sedangkan kedisiplinan masyarakat juga tidak menambah kasus positif naik secara signifikan.
Indonesia?
Semakin hari makin mendekati hari pemungutan suara untuk Pilkada Serentak di Indonesia. Sebelum hari pemungutan, tentunya ada tahap pendaftaran, kampanye dan berbagai tahapan lainnya. Demikian juga pascapemungutan suara, ada tahap penghitungan suara dan rekapitulasi suara. Semua tahapan baik persiapan maupun penyelenggaran, perlu mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjaga prinsip demokrasi. Sehingga kerangka dan teknis Pilkada harus disesuaikan dengan keadaan saat ini.
Dalam hal teknis Pilkada, kita bisa mengadopsi aturan teknis kode perilaku pemilih yang diberlakukan di Korea Selatan. Kode perilaku ini sebagaimana saya sampaikan di atas, berisi aturan mitigasi resiko penyebaran virus yang ketat dan detail. Aturan itu mulai dari aturan mengantre, tes suhu badan sebelum masuk TPS, penjagaan jarak, penggunaan sarung tangan plastik sekali pakai, sampai dengan penggunaan masker.
Pengadopsian kode perilaku ini tentunya juga harus disesuaikan dengan regulasi dan tidak melanggar prinsip pemilu. Sampai saat saya menulis artikel ini, KPU masih dalam tahap menerima masukan, pemetaan masalah dan simulasi penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi. Selain mengadopsi kode perilaku pemilih dari Korea Selatan, kita juga bisa merujuk rekomendasi dari International Foundation for Electoral Systems (IFES) yang bisa diunduh dilaman resminya.
Hal yang tidak kalah penting setelah selesai menyusun kerangka dan teknis Pilkada adalah mensosialisasikan dengan teknik komunikasi publik yang baik. Ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi publik ini. Pemerhati pemilu dari International IDEA, Ingrid Bicu menekankan, hal yang perlu diperhatikan adalah target audiens, pesan-pesan kunci, sarana, intensitas penyebaran pesan dan reaksi terhadap kritik. Pesan kunci yang disampaikan kepada masyarakat harus meminimalisir kemungkinan terjadinya mispersepsi dan misinformasi. Sehingga penyampai pesan harus menyampaikannya dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami.
Setelah dilakukan sosialisasi, penerimaan dari masyarakat terhadap kerangka dan teknis Pilkada sangat menentukan keberhasilan di lapangan. Karena sesempurna apapun kerangka dan teknisnya, akan menjadi omong kosong apabila tidak diiringi dengan kepercayaan, kepatuhan dan kedisiplinan semua elemen yang terlibat. Sehingga mulai dari panitia penyelenggara, pemilih, awak media, tenaga medis, pemantau, saksi, dan aparat keamanan perlu menaati kerangka dan teknis Pilkada di tengah pandemi. []
RINO IRLANDI
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya