Sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat lekat dengan ritual keagamaan baik secara simbolik dan substantif. Sejak pra-kemerdekaan, Kyai merupakan simbol agama Islam yang sangat dihormati dan ditaati, tidak hanya mengajarkan mengenai tuntunan agama, lebih daripada itu tentang pengorbanan dan menumbuhkan perasaan cinta tanah air kepada para santri dan masyarakat sekitar.
Cliford Geertz dalam karya bukunya yang terkenal mengenai “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa”, berhasil memotret tiga tipologi masyarakat Jawa mengenai relasi antara agama – politik, agama – sosial, dan agama – ekonomi. Buku ini membahas bagaimana perilaku masyarakat Jawa, bahkan prefensi politiknya yang sangat dipengaruhi oleh sosok Kyai.
Geertz juga mengatakan bahwa bahwa peran seorang Kyai di Jawa yaitu menjadi sebagai cultural broker atau perantara budaya. Sebagai perantara budaya, Kyai memiliki peran sebagai seorang mediator antara kelompok-kelompok budaya yang memiliki perbedaan, memfasilitasi pemahaman, ruang dialog, dan bertukar budaya antara masyarakat Jawa dengan Jepang dan Belanda saat itu. Seiring dengan perjalanan waktu, Kyai dituntut untuk memiliki pengetahuan dan aksi nyata antara agama dan ajaran sekuler, termasuk terlibat dalam konstelasi politik pada awal masa kemerdekaan.
Kyai dan santrinya merupakan aset terbesar bangsa Indonesia dalam perjalanan kemerdekaan secara fisik dan politik. Dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ senantiasa mengiringi pasang surut perjalanan panjang dinamika politik di Indonesia. Mulai dari membangun organisasi Islam yang kuat, ikut serta dalam merumuskan dasar negara dalam sidang BPUPKI dan PPKI, bahkan hingga hari ini terus ikut serta dalam membangun dan menjaga Indonesia dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945.
Kyai memiliki magnet tersendiri bagi para pemimpin di Indonesia. Soekarno misalnya, yang merupakan Presiden pertama Indonesia sering meminta masukan kepada beberapa Kyai dalam pengambilan keputusan, bakan ketika hendak menetapkan konsep dasar dalam penyelenggaran negara ia meminta pendapat kepada Kyai terkemuka yaitu Syekh Abbas dan Syekh Mustafa yang merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga guru dari dua pendiri organisasi besar Islam di Indonesia yaitu K.H. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (Nahdhatul Ulama’). Ia juga berteman baik dengan Buya Hamka dan menjadikannya penasehat, serta menganggap seperti saudara sendiri.
Begitupun dengan Presiden Soeharto sampai Joko Widodo. Ulama menjadi daya tarik sendiri dalam percaturan politik di Indonesia, terkhusus dalam proses pemilu. Jika telah datang masa kampanye maka tempat yang tidak akan terlewat oleh seorang caleg sampai capres dan cawapres adalah pesantren, ‘sowan’ terhadap para Kyai dan meminta dukungan untuk ikut mengkampanyekan paslon dalam upaya memobilisasi umat Islam dalam fragmentasi tertentu.
Dalam pemilu 2024 khususnya pada Pilpres, kita dapat menyaksikan dan membaca bersama deretan Kyai yang berada di setiap paslon. Jika melihat paslon nomer urut satu yaitu Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar ada deretan nama seperti Abdul Somad (Da’I Nasional), K.H. Maksum Faqih (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Tuban), K.H. Nasirul Mahasin (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Tahfidzal Qur’an Narukan), dll.
Pada kubu paslon nomer dua yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka juga ada Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (Ketua Jam’iyyah Ahlutthoriqoh al-Mu’tabarah an-Nadliyyah), K.H. Ali Masykur (Ketum PP. ISNU), K.H. Abdul Ghofur (Pengasuh Pondok Sunan Drajad, Lamongan), dll. Kemudian pada kubu paslon nomer tiga yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD antara lain K.H. Arwani Thomafi (Pengasuh Pondok Pesantren Lasem, Rembang), K.H. Atho’illah Asy’ari (Pengasuh Pondok Al-Asy’ariyah, Wonosobo), K.H. Agus Masruri (Pengasuh Pondok Al-Hikmah, Sleman), dll.
Hubungan Kyai, santri, dan masyarakat sekitar diyakini memiliki ikatan yang amat kuat. Ada kalimat yang terkenal dan menjadi pegangan yaitu sami’na wa atho’na yang artinya kami mendengar dan kami mentaati. Secara konteks kalimat ini cukup filosofis, karena sering diucapkan kepada santri-santri di pondok pesantren dan para jamaah masjid dalam merapatkan shaff sebelum melaksanakan shalat.
Selain sebagai simbol representatif umat Islam dalam kepentingan memobilisasi elektoral, para Kyai yang bersanding pada setiap paslon kerap disandingkan pada identitas organisasi Islam tertentu. Dalam hal ini, keberagaman latar belakang organisasi seorang Kyai menjadi titik kunci dalam merangkul setiap latar belakang masyarakat yang berbeda dan juga menghindari adanya cap politik identitas pada paslon tertentu.
Politisasi agama dalam kajian ilmu politik mengenai politik identitas merupakan salah satu propaganda yang paling mudah dimainkan politisi dan media dalam membranding paslon tertentu dalam kontestasi pemilu, dengan itu Kyai dengan latar belakang yang beragam menjadi suatu legitimasi bagi seorang calon bahwa ia tidak terbatas pada identitas golongan tertentu.
Dengan ini seharusnya bukan hanya politisi saja yang dapat menggaet tokoh agama dan tokoh masyarakat seperti seorang Kyai, lebih dari itu para penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu dapat melakukan kerjasama dengan para Kyai dalam rangka menyebarkan kampanye damai dan persatuan, pemberian edukasi mengenai pelaksanaan pemilu, dan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak golput. []
ASYRAF AL FARUQI TUHULELE
Mahasiswa Pascasarjana di Departeman Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (DPP UGM). Peneliti di Leader of Indonesia UMJ