August 8, 2024

Langkah Progresif MK Diharapkan Berlanjut ke Pilkada Sabu Raijua

Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan langkah progresifnya dalam memeriksa sejumlah perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020. Sikap tersebut diharapkan tetap berlanjut saat memeriksa perkara sengketa Perselisihan Hasil Pilkada Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur.

Dari 32 perkara Perselisihan Hasil Pilkada 2020 yang berlanjut ke tahap sidang pembuktian, dua perkara  tidak memenuhi prosedur karena didaftarkan melewati tenggat dan tidak memenuhi syarat ambang batas. Keduanya adalah perkara Pilkada Samosir, Sumatera Utara, dan Pilkada Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Gugatan Pilkada Samosir sebelumnya didaftarkan pada 21 Desember (atau maksimal 18 Desember) dan Pilkada Kabupaten Bandung didaftarkan pada 18 Desember (atau maksimal 17 Desember). Sementara mengacu pada rumusan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, batas waktu pendaftaran permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan hasil suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Adapun dari sisi ambang batas, keduanya tidak memenuhi rumusan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Ambang batas pengajuan untuk Pilkada Samosir paling banyak 2 persen, sedangkan selisih suara 14,71 persen. Adapun pada Pilkada Kabupaten Bandung, ambang batas paling banyak 0,5 persen, tetapi selisih suaranya mencapai 25,17 persen.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, dihubungi dari Jakarta, Selasa (2/3/2021), mengatakan, lolosnya perkara Perselisihan Hasil Pilkada Samosir dan Kabupaten Bandung ke sidang pembuktian menunjukkan MK telah memaknai prosedur dengan pendekatan pemenuhan aspek keadilan elektoral. Hal itu bahkan telah dimulai sejak MK mengeluarkan Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 yang membuat MK lebih moderat dan cenderung progresif karena tidak terbelenggu oleh syarat ambang batas.

Hal yang sama mestinya bisa diterapkan untuk persoalan Perselisihan Hasil Pilkada Sabu Raijua karena ini adalah peristiwa khusus yang tidak bisa diperlakukan sama dengan perkara-perkara lain.

”Hal yang sama mestinya bisa diterapkan untuk persoalan Perselisihan Hasil Pilkada Sabu Raijua karena ini adalah peristiwa khusus yang tidak bisa diperlakukan sama dengan perkara-perkara lain,” katanya.

Sebagaimana dilaporkan, ada dua penambahan permohonan perselisihan hasil Pilkada Sabu Raijua di MK meskipun pendaftaran telah ditutup. Gugatan pertama diajukan pemohon pasangan calon nomor urut 1 di Pilkada Sabu Raijua, Nikodemus N Rihi Heke dan Yohanis Uly Kale. Adapun permohonan kedua diajukan Yanuarse Bawa Lomi atas nama Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Sabu Raijua serta Marthen Radja dan Herman Lawe Hiku selaku perorangan warga negara Indonesia.

Gugatan didaftarkan pada 15 dan 16 Februari 2021 atau berselang dua bulan setelah penetapan perolehan hasil oleh KPU Sabu Raijua pada 16 Desember 2020. Sementara itu, mengacu pada rumusan Pasal 158 UU Pilkada, ambang batas pengajuan gugatan untuk Sabu Raijua paling banyak 2 persen. Adapun selisih suara antara pemenang pilkada Orient P Riwu Kore-Thobias Uly dan pemohon Nikodemus N Rihi Heke-Yohanis Uly Kale sebesar 18,2 persen.

Lebih jauh Titi menuturkan, MK merupakan peradilan konstitusi yang dalam melaksanakan kewenangannya perlu memastikan segala sesuatu sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Termasuk saat menangani permohonan perselisihan hasil pilkada, MK bukan hanya harus memastikan prosedur dipatuhi, melainkan juga mampu menghasilkan produk pemilihan yang konstitusional.

Prosedur dalam suatu pemilihan, termasuk ketentuan tenggat, adalah aturan main yang mengikat semua pihak, termasuk MK. Namun, dalam menjalankan syarat tenggat tersebut harus pula mempertimbangkan apakah seluruh tahapan telah dijalankan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kandidat yang ditetapkan sebagai calon terpilih pun harus dipastikan adalah kandidat yang mempunyai legitimasi konstitusional untuk terpilih.

”Kalau nyata-nyata ada bukti yang tidak terbantahkan bahwa terdapat pelanggaran berat yang kemudian berpengaruh pada keterpenuhan persyaratan tenggat  pengajuan permohonan, MK tidak boleh menutup mata atas fakta hukum tersebut,” ucap Titi.

Dalam kasus Perselisihan Hasil Pilkada Sabu Raijua, ia menilai, MK bisa mengambil langkah progresif. Hal itu berdasarkan adanya fakta ketidakmampuan para pihak dalam menghambat calon yang tidak memenuhi syarat untuk maju dan memperoleh suara terbanyak di pilkada.

Persyaratan sebagai warga negara Indonesia adalah ketentuan fundamental yang mutlak dipenuhi seorang calon. Maka, demi menyelamatkan pemilihan yang konstitusional, MK diharapkan bisa melanjutakan proses sengketa Pilkada Sabu Raijua sehingga ada solusi yang konstitusional terhadap kontroversi kewarganegaraan asing Orient.

”Suatu prosedur bisa diterabas oleh MK sebagai peradilan konstitusi, dalam hal prosedur itu menghambat upaya untuk mewujudkan suatu pemilihan yang demokratis, jujur, dan adil. Pilihan tersebut justru sebagai artikulasi komitmen MK sebagai peradilan puncak dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu,” kata Titi.

Suatu prosedur bisa diterabas oleh MK sebagai peradilan konstitusi, dalam hal prosedur itu menghambat upaya untuk mewujudkan suatu pemilihan yang demokratis, jujur, dan adil. Pilihan tersebut justru sebagai artikulasi komitmen MK sebagai peradilan puncak dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu.

MK melihat secara keseluruhan prosesnya

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, pada prinsipnya, MK tetap melihat ketentuan mengenai batas waktu pengajuan dan ambang batas selisih perolehan suara sebagai syarat formil sebuah perkara.

MK akan melihat apakah seluruh tahapan telah dilakukan sebagaimana mestinya. Jika seluruh tahapan telah dilakukan sesuai aturan, tentu permohonan yang telah melewati batas waktu pengajuan akan tidak diterima oleh MK.

”Jika ada tahapan pilkada sudah selesai semua ternyata ada yang bermasalah dalam pelaksanaannya, hanya MK yang bisa memutus. Sebab, jika diputus institusi lain, putusannya pasti akan digugat, misalnya lewat PTUN,” kata Enny.

Enny juga menjelaskan bahwa UU Pilkada sebenarnya telah membagi kewenangan hukum setiap institusi penyelenggara pilkada. Bahkan, ada penambahan penguatan kewenangan pada Bawaslu hingga jajaran ke bawah.

Namun, jika ternyata kewenangan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dapat dikatakan keadilan elektoral tidak dapat diwujudkan. Oleh karena itu, pemohon dapat mencari keadilan konstitusional di MK. Sebagai penegak konstitusi, MK dituntut melaksanakan fungsi untuk memberikan keadilan elektoral tersebut.

Ia mencontohkan, dalam putusan terhadap pilkada di Kabupaten Sampang tahun 2018, Nomor 38/PHP.BUP-XVI/2018, MK memerintahkan pemungutan suara ulang karena KPU Kabupaten Sampang tidak menggunakan daftar penduduk potensial pemilihan (DP4) sebagai acuan. Daftar pemilih tetap (DPT) yang dibuat oleh KPU Sampang dinilai tidak valid, tidak logis, dan janggal dalam penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sampang Tahun 2018.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai adanya persoalan serius masalah DPT. MK melihat ada pengurangan jumlah pemilih dalam DPT yang sebelumnya 803.499 pemilih menjadi 767.032 pemilih dalam DPT yang dipergunakan ketika pemungutan suara ulang. DPT kemudian diperbaiki mengacu pada UU Pilkada yang hasilnya ditetapkan dengan daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP). DPTHP disepakati oleh para pihak termasuk peserta pilkada.

”Dalam perkara Sampang tahun 2018, tahapan penyusunan DPT dilakukan tidak sesuai dengan aturan. Penyusunan DPT itu kemudian harus dikembalikan pada ketentuan yang semestinya sehingga pilkada harus diulang,” kata Enny.

Jika ada tahapan pilkada sudah selesai semua ternyata ada yang bermasalah dalam pelaksanaannya, hanya MK yang bisa memutus. Sebab, jika diputus institusi lain, putusannya pasti akan digugat, misalnya lewat PTUN.

Dalam kasus Pilkada Samosir dan Kabupaten Bandung, menurut Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Violla Reininda, MK berusaha untuk menggali keadilan substantif dalam perhelatan pilkada. MK memandang keduanya merupakan kejadian khusus berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Di Pilkada Samosir, permasalahan yang muncul berkaitan dengan hal mendasar terkait pencalonan kandidat. Pemenang pilkada tidak memenuhi syarat dokumen persyaratan, yaitu dokumen perpajakan tidak sesuai dengan identitas calon bupati. Selain itu, juga ada ketidaksesuaian dokumen ijazah dengan identitas calon wakil bupati yang tidak dilegalisasi oleh pihak berwenang.

Sementara Pilkada Kabupaten Bandung, MK mempertimbangkan adanya miskomunikasi antara KPU dan pasangan calon. KPU menginformasikan bahwa tenggat pendaftaran maksimal 18 Desember dan informasi tersebut menjadi acuan bagi pemohon. Adapun di Kabupaten Bandung, pemohon mendalilkan dugaan adanya politik uang, keterlibatan aparatur sipil negara (ASN), dan kampanye hitam dengan isu SARA dan jender.

Mengacu pada dua kasus di atas, lanjut Violla, MK semestinya mengedepankan keadilan substantif dibandingkan dengan prosedural. Kasus di Sabu Raijua perlu menjadi perhatian karena merupakan persoalan baru dan belum diselesaikan melalui mekanisme pelanggaran pada tahap sebelumnya. (IQBAL BASYARI/DIAN DEWI PURNAMASARI)