August 8, 2024

Larangan Bekas Napi Korupsi Dicabut, Beragam Langkah Bisa Diambil KPU

Beragam langkah masih bisa ditempuh Komisi Pemilihan Umum menyusul pencabutan usulan larangan bekas narapidana korupsi maju di pemilihan kepala daerah. Langkah ini bisa mencegah bekas napi korupsi maju dalam pemilihan. Namun, kalaupun tetap lolos, langkah tersebut memastikan pemilih tahu status bekas napi korupsi itu dan mempertimbangkannya saat memilih.

Seperti diketahui, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota tidak mencantumkan larangan bagi bekas napi korupsi untuk maju dalam pemilihan. Padahal, saat masih berupa rancangan, KPU memasukkan norma larangan itu.

Norma larangan dicabut setelah proses harmonisasi rancangan regulasi tersebut oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Sebagai gantinya, PKPU No 18/2019 melimpahkan kepada partai politik terkait bekas napi korupsi yang ingin maju dalam pilkada. Pada Pasal 3A peraturan itu disebutkan, saat seleksi bakal calon kepala/wakil kepala daerah, bakal calon harus diutamakan bukan terpidana korupsi.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, saat dihubungi, Jumat (6/12/2019), menilai, gagasan dari KPU untuk melarang bekas napi korupsi maju dalam pemilihan tersebut tetap bisa dipertahankan melalui cara-cara administratif.

”Misalnya, jika partai politik memilih mengusung calon kepala/wakil kepala daerah berstatus bekas koruptor dibandingkan calon lain, KPU harus mengembalikan nama calon tersebut dan meminta partai lebih mengutamakan yang tidak pernah menjadi napi kasus korupsi,” katanya.

Ide untuk melarang eks narapidana korupsi juga bisa dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Namun, jalan ini akan lebih sulit karena harus mendapat dukungan partai politik yang mayoritas bersikap berbeda terkait larangan bekas narapidana tersebut.

”Meskipun begitu, tetap harus terus dicoba dan KPU harus memperjelas keinginan itu. Sebab, esensi dari larangan ini adalah untuk menjauhkan demokrasi pemilu dari calon-calon yang menyimpangkan amanah pemilih dengan berlaku korup,” ujarnya.

Jujur dan terbuka

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini melihat, KPU memang tidak punya pilihan lain untuk mencabut usulan larangan di rancangan PKPU Pencalonan karena jika tidak, rancangan tidak bisa diundangkan oleh Kemenkumham. Di sisi lain, tahapan pencalonan di Pilkada 2020 akan segera dimulai dan penyelenggara pemilu di daerah membutuhkan PKPU Pencalonan sebagai acuan teknis.

”Kami sendiri sejak awal sudah menduga ini (pencabutan larangan), makanya kami lalu mengajukan uji materi atas Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU No 10/2016 ini. Semoga putusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas uji materi kami yang rencananya akan dibacakan, 11 Desember 2019, memberi angin segar,” katanya.

Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU No 10/2016 berbunyi, calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Perludem bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar pasal itu diubah agar pencalonan bekas napi kasus apa pun yang dihukum penjara 5 tahun atau lebih dilakukan setelah 10 tahun napi itu bebas. Calon tersebut juga bukan pelaku kejahatan berulang serta bersedia jujur dan terbuka menyatakan dirinya adalah bekas narapidana.

Langkah lain

Meski demikian, Perludem berharap, KPU tetap menyiapkan langkah lain seandainya permohonan tersebut tidak dikabulkan oleh MK.

Langkah lain itu, KPU perlu menerjemahkan syarat ”jujur dan terbuka” bagi bekas napi, termasuk napi koruptor, tidak hanya diimplementasikan untuk keperluan persyaratan pencalonan, tetapi juga terlihat pada tahapan pilkada lain. Tahapan itu seperti kampanye dan pemungutan suara.

Di UU Pilkada dan PKPU No 18/2019 disebutkan, bekas terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya wajib memenuhi syarat secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik. Syarat ini harus dipenuhi saat hendak mendaftar ke KPU.

Bentuknya, bakal calon harus mengumumkan statusnya di media massa dan kemudian menyerahkan surat dari pemimpin redaksi yang menerangkan syarat itu telah dilakukan bakal calon.

”Mestinya syarat jujur dan terbuka benar-benar dimaknai menyeluruh bahwa semua dokumen yang berkaitan sosialisasi profil atau riwayat hidup calon harus menyertakan informasi masalah hukum calon, seperti jenis hukumannya serta kapan calon itu bebas murni,” tuturnya.

Tak sebatas itu, informasi tersebut harus muncul di setiap tempat pemungutan suara (TPS) saat tiba hari pemungutan suara pilkada. Informasi mengenai status bekas napi korupsi harus dipasang KPU di papan pengumuman TPS.

”Dengan demikian, pemilih terpapar dengan maksimal terhadap riwayat hidup dan permasalahan hukum calon serta bisa sadar betul bahwa akan ada konsekuensi untuk setiap pilihan dan keputusan atas calon yang dia pilih di bilik suara,” tambahnya. (KURNIA YUNITA RAHAYU/INSAN ALFAJRI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://bebas.kompas.id/baca/polhuk/2019/12/06/larangan-bekas-napi-korupsi-dicabut-beragam-langkah-bisa-diambil-kpu/