September 13, 2024

Larangan Bekas Napi Korupsi Maju Pilkada, KPU Ingin Lindungi Pemilih

Komisi Pemilihan Umum  mencoba menghadirkan calon kepala/wakil kepala daerah yang berintegritas untuk dipilih oleh publik dalam pemilihan kepala daerah dengan memasukkan syarat larangan bagi mantan narapidana korupsi maju dalam pemilihan.

Tujuan ini hendaknya ditangkap oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan tidak menggugurkan larangan itu saat proses harmonisasi Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

”KPU berhak membuat peraturan yang bertujuan untuk melindungi proses penyelenggaraan pemilu dan terutama pemilih,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi Kompas, Kamis (21/11/2019).

Seperti diberitakan sebelumnya, KPU memasukkan syarat larangan tersebut dalam Rancangan PKPU tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

Aturan itu berbunyi, warga negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.

Setelah rancangan PKPU itu dikonsultasikan ke DPR dan pemerintah, KPU memasukkan rancangan PKPU ke Kemenkumham untuk diundangkan. Saat ini, proses harmonisasi aturan di rancangan PKPU dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi masih berlangsung di Kemenkumham.

Selain KPU dinilai berhak mengeluarkan aturan yang tujuannya melindungi pemilu, menurut Feri, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada telah memberikan otoritas kepada KPU untuk membuat peraturan teknis terkait pilkada. Dengan demikian, KPU memiliki independensi dalam menyusunnya.

”Sebagai penyelenggara pemilu, KPU punya kewenangan yang independen,” ujarnya.

Dia optimistis Kemenkumham memahami hal-hal tersebut sehingga aturan larangan tak akan digugurkan saat proses harmonisasi. Ini seperti yang terjadi saat KPU mengatur larangan mantan napi korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019. Saat itu, Kemenkumham tak menghalangi syarat larangan yang dihadirkan KPU tersebut.

”Kalau konsisten dengan sikapnya, saya pikir Kemenkumham tak akan lama melakukan harmonisasi,” katanya.

Ditolak 

Untuk diketahui, saat rapat konsultasi Rancangan PKPU Pencalonan ke Komisi II DPR dan pemerintah, Senin (11/11/2019), baik pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) maupun Komisi II sama-sama menolak syarat larangan tersebut.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik mengatakan, larangan telah melampaui persyaratan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 7 Huruf g telah menetapkan bahwa bekas napi tetap dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah asal telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik rekam jejaknya.

”(UU) tidak melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sepanjang mengungkapkan secara terbuka dan jujur kepada publik,” katanya.

Dalam kesimpulan rapat, Komisi II juga meminta KPU untuk tidak menciptakan norma aturan yang tidak diamanatkan UU Pilkada. Komisi II juga meminta KPU merancang PKPU yang sesuai dengan putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015.

Putusan MK itu menyatakan bahwa seorang bekas napi korupsi dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah setelah periode adaptasi ke dalam masyarakat selama lima tahun dan mengumumkan secara terbuka rekam jejaknya sebagai bekas napi korupsi.

Pertimbangan KPU

Namun, KPU bergeming dengan penolakan itu dan tetap memasukkan syarat larangan dalam draf rancangan PKPU Pencalonan. Salah satu dasarnya, bukan sekali pimpinan daerah mantan napi korupsi kembali korupsi saat menjabat kepala/wakil kepala daerah.

Kasus terakhir adalah Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Akhir Juli 2019, dia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menerima uang suap jabatan kepala dinas. Padahal, pada 2014, Tamzil divonis bersalah dalam kasus korupsi APBD Kabupaten Kudus. Setelah bebas seusai menjalani hukuman pidana pada 2015, yang bersangkutan maju menjadi calon bupati Kudus pada Pilkada 2018 dan terpilih.

Menurut Ketua KPU Arief Budiman, dalam proses harmonisasi rancangan PKPU Pencalonan, KPU mendengarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk masukan dari partai politik yang meminta KPU menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai sendiri calon kepala daerah yang mereka pilih.

Selain itu, KPU telah memperhatikan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan larangan mantan napi korupsi bagi caleg di Pemilu 2019.

”Semua itu menjadi pertimbangan kami, termasuk hasil rapat dengar pendapat dengan DPR dan pemerintah yang terakhir. Nanti kami putuskan setelah harmonisasi selesai,” katanya.

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/polhuk/2019/11/22/lima-anggota-kpu-kota-batam-akan-diganti/