November 27, 2024

Legitimasi Aturan Bisa Dipersoalkan: Kode Etik Penyelenggara Pemilu Belum Disahkan

JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tentang kode etik penyelenggara pemilu belum bisa diundangkan karena menunggu konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Akibatnya, legitimasi formal peraturan DKPP dipertanyakan.

Dalam Pasal 157 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, DKPP diberikan amanat untuk menetapkan kode etik penyelenggara pemilu dalam peraturan DKPP paling lambat tiga bulan terhitung sejak anggota DKPP mengucapkan sumpah. Tenggat itu jatuh pada Selasa (12/9) karena anggota DKPP dilantik 12 Juni 2017.

Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Teguh Prasetyo, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa kemarin, menuturkan, draf peraturan DKPP terkait dengan kode etik penyelenggara pemilu itu sudah diserahkan ke Komisi II DPR untuk dikonsultasikan pada 12 September. Namun, Komisi II baru bisa menjadwalkan konsultasi pada Senin pekan depan karena kepadatan agenda kerja mereka.

Adapun rapat konsultasi tersebut diatur dalam Pasal 161 Ayat (2) UU No 7/2017 yang berbunyi: “dalam hal DKPP membentuk peraturan DKPP, DKPP wajib berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah melalui rapat dengar pendapat”.

Teguh mengaku DKPP sudah mempersiapkan draf peraturan DKPP itu secara cepat. Namun, ia juga menyampaikan bahwa kendati anggota DKPP dilantik pada 12 Juni, UU No 7/2017 tentang Pemilu baru disahkan pada 16 Agustus 2017.

“Kode etik itu harus sesuai dengan asas dan prinsip UU Pemilu. Penjabaran UU Pemilu. Walaupun begitu, akhir Agustus DKPP bekerja keras menyiapkan draf kode etik, mengadakan pertemuan tripartit dengan KPU dan Bawaslu, setelah ada kesepahaman draf lalu diajukan ke DPR,” kata Teguh.

Koalisi Kawal UU Pemilu menyampaikan kekhawatiran bahwa keterlambatan pengesahan ini dari tenggat yang disebutkan dalam UU No 7/2017 bisa mengakibatkan legitimasi formal peraturan DKPP dipertanyakan. Jika konsultasi tidak bisa segera dilakukan, Koalisi Kawal Pemilu mendorong DKPP segera menetapkan peraturan DKPP.

Hadar Nafis Gumay, mantan komisioner KPU yang juga pendiri Constitutional and Electoral Reform Center (Correct), meminta Komisi II tidak mempersulit DKPP terkait kewajiban konsultasi. DKPP punya kewajiban untuk melaksanakan UU No 7/2017 yang dibuat DPR dan pemerintah.

“Kalau tidak segera disahkan dan DKPP masih menggunakan peraturan lama, legitimasi kerja penyelenggara pemilu, khususnya penegakan kode etik oleh DKPP, dapat dipertanyakan legalitas dan kredibilitasnya,” kata Hadar.

Uji petik

Komisi Pemilihan Umum sudah mengirimkan draf Peraturan KPU terkait tahapan, program, dan jadwal serta pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diundangkan.

Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, menuturkan dalam draf PKPU terkait pendaftaran dan verifikasi parpol, KPU berpegangan pada draf awal. Terkait verifikasi faktual, KPU memilih menggunakan sensus dan uji petik sederhana. Hal ini berbeda dari keinginan DPR yang menginginkan verifikasi faktual dilakukan sepenuhnya dengan sensus.

“Pertimbangan kami faktor waktu, kemudian sumber daya dan sumber dana. Selain itu, uji petik ini secara metodologis bisa dipertanggungjawabkan dan bisa mewakili populasi,” katanya.

Namun, Kementerian Dalam Negeri mengingatkan KPU agar dalam membuat PKPU tidak melebihi UU No 7/2017.

“KPU tidak boleh membuat aturan main melebihi undang-undang. Tegas-tegas saja kami menyatakan hal ini supaya tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari,” kata Direktur Politik Dalam Negeri Bahtiar. (GAL/MHD)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2017, di halaman 4 dengan judul “Legitimasi Aturan Bisa Dipersoalkan”.

http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/09/13/Legitimasi-Aturan-Bisa-Dipersoalkan