October 28, 2024

Lonjakan Hoaks Memperkeruh Disinformasi Pemilu

Sepanjang tahun 2023 Litbang Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menemukan 2330 hoaks dengan hoaks politik sebanyak 1292. Angka tersebut juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejak tahun 2018. Sementara pada tahun 2024 angka temuan hoaks pada semester pertama, sejak Januari-Juni sudah mencapai 2.119 mendekati seluruh temuan sepanjang tahun 2023.

“Peningkatan drastis itu kemungkinan besar dipicu oleh momentum politik seputar Pilpres dan Pilkada 2024, yang menjadi periode rawan disinformasi,” jelas Partnership Tular Nalar Mafindo Jakarta, Erie Heriyah dalam Diskusi bertajuk “Potensi Gangguan Informasi di Pilkada dan Pentingnya Kolaborasi di Tingkat Lokal” di Cikini, Jakarta Pusat (27/9).

Erie juga menyebut lonjakan temuan itu juga berarti adanya indikasi pemantauan dan deteksi hoaks semakin baik, dengan lebih banyaknya hoaks yang teridentifikasi lebih cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun juga dapat berarti adanya potensi resiko yang lebih tinggi terhadap stabilitas sosial dan proses demokrasi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Lebih lanjut Erie menjelaskan, proses pemilu yang paling banyak diangkat menjadi hoaks adalah masa kampanye (19,9%), sengketa pemilu (8,8%), dan penghitungan suara (7,8%). Namun sebenarnya angka hoaks tertinggi cenderung membahas pemilu secara umum (26,6%) dan lain-lain sebanyak (15,8%).

“Hoaks yang membahas pemilu secara umum menunjukkan bahwa disinformasi tidak hanya terbatas pada tahapan spesifik, tetapi mencangkup narasi luas yang berupaya mempengaruhi presepsi publik terhadap keseluruhan proses pemilu,” terangnya.

Sementara saluran penyebaran hoaks pemilu secara umum beredar di Facebook, namun hoaks pemilu sepanjang semester 1 2024 paling banyak ditemukan di TikTok (26,7%), diikuti oleh YouTube (25,4%), Facebook (23,7%), Twitter (12,8%), dan WhatsApp (5,2%). Erie menyebut peralihan hoaks ke platform berbasis video, dominasi TikTok dan YouTube dalam penyebaran hoaks pemilu menunjukkan semakin populernya platform berbasis video sebagai saluran penyebar informasi politik.

“Popularitas TikTok di kalangan Gen Z dan milenial, yang merupakan pemilih pemula dengan porsi terbesar dalam Pemilu 2024, menjadikan saluran kunci untuk penyebaran hoaks, menyoroti kebutuhan untuk fokus pada platform ini dalam strategi mitigasi disinformasi,” jelas Erie.

Kemudian Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Annisa Alfath menjelaskan, sejauh ini langkah baik yang dilakukan Koalisi Lawan Disinformasi yang terdiri dari 19 organisasi masyarakat sipil. Koalisi itu melakukan berbagai upaya, seperti edukasi kepada pemilih agar tidak mudah terjebak hoaks, pre-bunking dan debunking serta cek fakta.

Selain itu, ada juga moderasi konten yang dilakukan oleh masyarakat sipil bekerja sama dengan platform media sosial. Platform memberikan kanal khusus kepada koalisi untuk melaporkan konten yang diduga disinformasi, untuk kemudian platform akan merespons dengan tindakan seperti men-take down konten atau akun yang menyebarkan hoaks.

“Koalisi Lawan Disinformasi juga sering melakukan diskusi dengan penyelenggara pemilu dan platform media sosial untuk merumuskan kolaborasi dalam melawan disinformasi. Kolaborasi ini penting karena jika berjalan sendiri-sendiri, upaya melawan disinformasi akan lebih berat,” ucap Annisa.

Selain itu Perludem juga melakukan pelatihan pemantauan kepada mahasiswa di daerah-daerah, karena dinilai lebih paham teknologi digital. Melalui itu diharapkan mahasiswa dapat berperan aktif dalam pelaporan disinformasi serta edukasi politik dan berkontribusi mengurangi penyebaran hoaks. []