Penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi berisiko tinggi bagi penyelenggara, peserta, maupun pemilih. Saat ini tercatat 60 calon kepala daerah, 22 pegawai KPU RI, 3 Komisioner KPU RI dan puluhan penyelenggara pemilu di daerah positif Covid-19. Jika Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu memilih opsi tetap melanjutkan Pilkada di tengah pandemi, diperlukan upaya serius pelembagaan manajemen risiko dalam penyelenggaraan Pilkada.
Berkaca dari penyelenggaraan pemilu 2019 yang menyisahkan catatan merah, 5.175 petugas jatuh sakit dan 894 petugas meninggal dunia. Hasil kajian lintas disiplin UGM atas meninggal dan sakitnya penyelenggara pemilu 2019 menemukan, tak bekerjanya manajemen krisis yang efektif di lapangan.
Pelembagaan Manajemen Risiko
Penyelenggara pemilu diberikan mandat oleh konstitusi untuk memimpin operasi paling kompleks di masyarakat demokratis – penyelenggaraan pemilu. Pemilu tak sekedar bagaimana warga negara yang memiliki hak pilih menggunakan haknya pilihnya di TPS. Proses yang terlihat sederhana tersebut sejatinya penuh dengan kerumitan.
Kompleksitas pemilu terkait dengan teknis penyelenggaraan, potensi kesalahan dan permasalahan penyelenggaraan pemilu adalah keniscayaan. Kerancuan hukum, inkosistensi penyelenggaraan, jadwal yang mepet, kurangnya anggaran, logistik yang kurang atau tertukar, bahkan malpraktik pemilu maupun sengketa hasil pemilu adalah sebagian risiko bagi penyelenggara pemilu. Problem ini terjadi di negara yang demokrasinya mapan maupun yang sedang transisional (Norris, dkk, 2016).
Selama ini term manajemen risiko lebih dikenal di sektor swasta. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu yang penuh dengan tugas-tugas kompleks dan dinamis, konsepsi dan praktik manajemen risiko nampaknya baru secara sporadis dipandang sebagai hal yang penting (IDEA, 2020).
Dalam desain kelembagaan KPU misalnya, belum ada Divisi yang bertanggung jawab penuh sebagai manager risiko. Untuk itu penyelenggara pemilu perlu segera mendesain kelembagaan, salah satu divisi yang fokus sebagai manager risiko, baik di tingkat pusat sampai di tingkat regional.
Ketua KPU sebagai manager umum bertanggung jawab atas organisasi dan koordinasi kegiatan. Para anggota selaku manager tentu terlibat dalam identifikasi risiko yang mungkin terjadi dalam core business KPU (penyelenggaraan pemilu). Manajer risiko memiliki tanggung jawab utama untuk mengidentifikasi, memonitor dan menilai risiko dari tahapan yang sedang dan akan berlangsung. Jika menemukan kerentanan atau faktor risiko baik internal maupun eksternal, manager risiko segera memberitahukan kepada manager lainnya sehingga bisa mengambil tindakan segera dan meminimalisir dampak.
Manajemen Risiko dalam Pandemi
Manajemen risiko didefiniskan sebagai kebijakan, prosedur dan praktik yang terlibat dalam identifikasi, analisis, penilaian, pengendalian dan penghindaran, minimalisasi atau penghilangan risiko yang tidak dapat diterima (Kildow, 2014).
Manajer risiko penyelenggaraan Pilkada dapat melakukan langkah-langkah utama untuk mengelola risiko. Pertama, identifikasi risiko. Proses ini memerlukan pertimbangan yang sistematis mengenai kegiatan yang berpotensi memberikan dampak negatif untuk mencapai target suksesnya penyelenggaraan pemilu. Proses ini dipimpin oleh manajer risiko dengan melibatkan para anggota yang lain dan pemangku kepentingan yang relevan.
Risiko didefinisikan sebagai ancaman kerusakan, pertanggungjawaban, cedera, kehilangan atau kejadian negatif lainnya yang disebabkan oleh kerentanan eksternal atau internal, dan dapat dicegah melalui tindakan pencegahan (Skorna, dkk, 2010).
Dalam konteks Pilkada di tengah pandemi, risiko terkait kerusakan dan kerugian mencakup material pemilu yang sensitif. Hal ini terkait umur virus corona yang menyebar pada material pemilu, diantaranya kertas (1-5 hari) misalnya surat suara, formulir, kartu pengenal, poster; pada karton (24 jam) misalnya kotak dan bilik suara; pada plastik (<5 hari), misalnya pulpen, keyboard, alat bantu braille; dan pada kayu (4 hari) antara lain meja, kursi.
Risiko cedera terkait dengan risiko fisik maupun psikologis bahkan kematian yang dialami para aktor pemilu misalnya risiko tertular Covid-19, kekhawatiran pemilih tertular Covid-19 saat di TPS, maupun risiko kematian karena infeksi virus ataupun tekanan beratnya kerja penyelenggara ditengah wabah.
Aspek kerentanan eksternal terkait dengan konteks lingkungan dan sosial dalam penyelenggaraan Pilkada. Misalnya terkait polarisasi sosial karena pro kontra penyelenggaraan Pilkada saat wabah. Juga penggunaan hoax tentang Covid-19 yang berpotensi minimnya partisipasi pemilih di TPS.
Kerentanan internal diantaranya risiko hukum, misalnya banyak regulasi yang belum tersedia, maupun teknis operasional penyelenggaraan pilkada ditengah pandemi. Selain itu SDM yang belum terlatih menyelenggarakan pemilu di tengah wabah.
Kedua, pengukuran risiko. Proses ini berhubungan dengan pengumpulan data dan analisis yang menunjukkan potensi permasalahan yang akan terjadi. Dalam konteks pemilu, pengukuran risiko memerlukan pembuatan rencana operasional untuk pengumpulan data dan analisis di seluruh siklus pemilu.
Ketiga, pelaporan. Pada tahap ini dilakukan pemberitahuan kepada para manajer mengenai potensi masalah yang memerlukan perhatian dan tindakan segera. Laporan dapat diberikan kepada anggota KPU, manager (deputi) di sekretariat, hingga KPU di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Diperlukan upaya untuk berbagi dengan semua pihak yang memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan pencegahan atau mengurangi dampak.
Keempat, pembuatan keputusan. Hal ini terkait dengan proses diskusi, konsultasi dan koordinasi untuk menghasilkan tindakan kongkrit. Tujuannya jelas melakukan tindakan segera dan memusatkan semua sumber daya pada bidang-bidang yang kritis.
Beberapa Saran untuk KPU
IDEA Internasional dalam buku “Manajemen Risiko dalam Pemilu” memberikan beberapa rekomendasi utama terkait standarisasi manajemen risiko dalam pemilu antara lain:
Pertama, kepemimpinan lembaga penyelenggara Pemilu harus mendukung penerapan manajemen risiko sebagai sarana memperkuat kapasitas kelembagaan yang kredibel. Kesadaran situasional yang penuh dengan risiko dan pemahaman risiko yang baik terkait berbagai pilihan kebijakan lembaga menjadi hal yang penting. Pimpinan KPU perlu menjadi inisiator pelembagaan manajemen risiko dalam struktur organisasi penyelenggara pemilu.
Kedua, penyelenggara pemilu perlu melakukan upaya yang komprehensif untuk internalisasi manajemen risiko ke seluruh tahapan dan program penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu dituntut untuk kreatif untuk identifikasi risiko maupun melakukan tindakan pencegahan dan mitigasi dengan penggunaan sumber daya yang ada baik SDM, teknologi yang dimiliki, maupun jejaring dengan aktor penyelenggara negara maupun aktivis dan NGO pegiat/ pemantau pemilu.
Ketiga, proses dan struktur pelembagaan manajemen risiko perlu dilakukan secara berkelanjutan. Penyelenggara juga perlu menciptakan maupun memelihara forum multi-lembaga untuk bertukar data risiko dan koordinasi upaya-upaya pencegahan dan mitigasi.
Seperti kata William G.T. Shedd “sebuah kapal di pelabuhan itu aman, tetapi bukan untuk itu kapal dibangun” namun untuk mengarungi samudera yang berombak, sebuah kapal harus dipimpin oleh Nahkoda yang mampu mengidentifikasi dan mengantisipasi risiko terburuk. Begitu pula dengan penyelenggaraan pemilu di tengah wabah. []
DODY WIJAYA
Peminat Kajian Kepemiluan dan Pegiat Pemilu
Anggota KPU Kota Jakarta Selatan