JAKARTA, KOMPAS – Dalam menghadapi Pemilu 2019, partai politik di Indonesia bisa memetik pelajaran dari pemilu Malaysia, 9 Mei lalu. Materi kampanye berbau politik identitas berkurang drastis, berganti dengan materi kampanye yang lebih substantif berupa tawaran kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil warga, terutama generasi muda.
Kemenangan koalisi oposisi Pakatan Harapan atas koalisi Barisan Nasional yang sudah berkuasa di Malaysia selama lebih kurang 60 tahun juga disumbang oleh tingginya partisipasi pemilih, terutama anak muda.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang juga Ketua Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Alfitra Salamm dalam diskusi ”Analisis Pemilu Malaysia dan Pelajaran untuk Indonesia”, Rabu (16/5/ 2018), di Jakarta, mengatakan, pada masa kampanye pemilu Malaysia, politik identitas bisa dikatakan hilang, hanya tersisa sangat sedikit. Padahal, dalam pemilu-pemilu sebelumnya, isu identitas selalu mencuat. Dia berharap perubahan ini juga bisa berdampak ke negara-negara di kawasan.
Selain itu, menurut dia, pemilu Malaysia lalu juga menunjukkan bahwa kunci penting merebut suara generasi muda adalah dengan mengusung tema-tema yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka. Misalnya, isu ekonomi, pajak, serta jaminan sosial berupa pendidikan dan kesehatan. Berkebalikan dengan kebijakan pemerintahan koalisi Barisan Nasional yang menaikkan pajak, kata Alfitra, koalisi Pakatan Harapan menjanjikan penurunan pajak rumah serta memberi tunjangan kepada warga. Pemilih muda di Malaysia kemudian aktif menggunakan hak pilihnya karena mereka ingin negara berubah.
Partisipasi
Dalam catatan Harun Husein, wartawan senior dan penulis buku Pemilu Indonesia, partisipasi pemilih di Malaysia sejak 1978- 2008 berada di kisaran 70-an persen. Pada Pemilu 2008, misalnya, partisipasi pemilih 74,98 persen. Namun, pada 2013, partisipasi pemilih melonjak jadi 84,84 persen, lalu pada 2018 ada di angka 82,32 persen. Menurut dia, ini menunjukkan suara pemilih mengambang sangat menentukan. Tingginya partisipasi ini menjadi salah satu faktor yang membuat ”akal-akalan” penyusunan daerah pemilihan yang bisa menguntungkan partai penguasa pada akhirnya tak bisa membuat Barisan Nasional mempertahankan kekuasaan.
Hanya saja, dia juga mengatakan, strategi kampanye berbasis substansi kebijakan belum tentu sepenuhnya bisa memberi dampak yang sama di Indonesia. Partisipasi pemilih di Malaysia relatif lebih berkualitas dibandingkan dengan di Indonesia. Ini karena dampak politik uang terhadap partisipasi pemilih di Indonesia juga masih menjadi tanda tanya. Hal berbeda berlangsung di Malaysia yang masyarakatnya relatif lebih sejahtera.
Dari sisi strategi kampanye, ada pelajaran yang bisa dipetik dari Malaysia. Namun, dalam hal independensi penyelenggara, Malaysia, dinilai Alfitra dan Harun, masih harus belajar ke Indonesia. Menurut Alfitra, posisi badan penyelenggara pemilu di Malaysia bisa dikatakan tidak netral, berpihak pada partai penguasa.
”Masih lebih netral Komisi Pemilihan Umum di Indonesia. Di sana, juga tidak ada Badan Pengawas Pemilu ataupun DKPP. Dalam hal ini, mereka bisa meniru Indonesia,” kata Alfitra. (ANTONY LEE)