August 8, 2024

Melawan Pembajakan Pemilu

Hari-hari ini semakin riuh terdengar kritik terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilu, khususnya mengenai pemilihan anggota Bawaslu kabupaten/kota. Pada saat pemilu semakin mendekat, Bawaslu daerah justru dihiasi oleh beberapa anggota terpilih baru yang sebelumnya tidak terlibat secara langsung dalam proses pengawasan pemilu. Kondisi ini menyiratkan adanya harga mahal yang dipertaruhkan dalam pemilu kali ini.

Dalam sebuah kesempatan berdialog dengan mantan penyelenggara pemilu, muncul beberapa isu terkait proses pemilihan ini. Pertama, dominasi partai politik dalam menentukan siapa yang terpilih sebagai penyelenggara pemilu. Kedua, meski sulit dibuktikan, namun ditengarai proses pemilihan banyak bersentuhan dengan praktik politik uang. Ketiga, adanya kooptasi yang dilakukan oleh rezim secara terstruktur, massif dan terencana terhadap berbagai sumberdaya politik, secara khusus melalui pembajakan pemilu.

Tiga isu di atas memang perlu dibuktikan secara empiris, meskipun kita tetap bisa bersepakat bahwa kritik terhadap kinerja penyelenggara pemilu bukanlah hal baru. Sebelumnya, integritas Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga dipertanyakan secara luas. Berbagai kritik terhadap penyelenggara pemilu menunjukkan adanya ketakutan bahwa pemilu kembali dibajak, pemilu kembali menjadi ritus politik yang telah kehilangan marwahnya.

Pembajakan atas nama pemilu memang telah jamak ditemukan dalam sejarah bangsa ini. Seringkali pemilu hanya dipahami berdasarkan aspek prosedural, bukan representasional. Pascapemilu, jarang kita mengetahui siapa merepresentasikan siapa dan apa. Akibatnya pemilu hanya menjadi mekanisme prosedural dalam menegaskan dominasi kelompok elite politik tertentu. Pemilu pada akhirnya hanya menghasilkan kelompok elite predatoris yang berjalan berlawanan dengan kepentingan rakyat.

Dominasi elite sejatinya menunjukkan absennya rakyat dalam ruang politik. Kondisi ini berimplikasi pada homogenisasi pola dan struktur kekuasaan, sehingga akan tercipta dominasi struktur politik yang kian menjemukan. Kejemuan ini terlihat ketika banyak dari kita sudah lelah melihat wajah-wajah politisi yang tidak pernah hilang dari panggung kekuasaan. Mereka bahkan seringkali berperan sebagai wasit, yang menentukan siapa yang berhak berkuasa dan siapa yang tidak.

Para elite tersebut menjadi semakin dominan akibat budaya patronase yang juga terdapat di internal partai politik. Setiap anggota partai merupakan klien yang mencoba mendekat kepada sumber kuasa agar dapat menjadi elite dalam spektrum kuasa lainnya. Akibatnya, demokrasi kita tidak bisa mengandalkan partai politik dalam memperjuangkan suara rakyat. Fungsi partai politik justru dijalankan oleh individu elite dan partai politik kehilangan fungsi utamanya sebagai aktor intermediari. Dari sini kita bisa skeptis dengan fungsi agregasi, artikulasi, dan representasi yang selama ini dilekatkan kepada partai politik.

Oleh sebab itu, secara lebih luas, saya rasa, dominasi elite ini setidaknya dapat berpengaruh terhadap dua hal terkait demokrasi Indonesia. Pertama, hilangnya nuansa konfrontatif politis dalam demokrasi Indonesia. Kedua, hilangnya akses rakyat atas politik.

Hilangnya nuansa konfrontatif politis dalam demokrasi Indonesia digambarkan dengan dominasi elite yang 4L (lo lagi lo lagi). Aktor ini berpengaruh negatif terhadap kualitas demokrasi kita. Demokrasi seringkali dipahami sebagai sebuah bentuk prosedural atau metode pembuatan keputusan yang bebas nilai berdasarkan konsensus rasional. Padahal, lebih dari itu demokrasi sejatinya merupakan mekanisme politis yang konfrontatif, yang memungkinkan adanya konsensus konfliktual sebagai sebuah kondisi yang menyediakan ruang bagi beragam model interpretasi politis. Kondisi ini dibutuhkan untuk menampung berbagai suara minoritas yang selama ini tereksklusi dari pusat kuasa.

Memahami bahwa demokrasi sebagai ruang konfrontatif berimplikasi pada ruang politis yang inklusif. Artinya, politik tidak lagi menjadi hidangan bagi mereka yang selama ini diuntungkan oleh adanya akses terhadap sumberdaya politik. Demokrasi menjadi hak bagi setiap kelompok dan tidak alergi terhadap berbagai artikulasi suara dan kepentingan.  Oleh sebab itu, jika pembajakan pemilu terus berhasil hingga membentuk ruang politik demokrasi yang kian homogen dan tersentralisasi, maka kondisi ini justru akan mengarah pada dekonsolidasi demokrasi Indonesia.

Mengenai hilangnya akses rakyat atas politik, demokrasi tidak selalu terkait politik formal atau prosedural. Meskipun aspek prosedural ini penting, termasuk melalui perhelatan pemilu, namun aspek substantif demokrasi lebih esensial. Aspek substantif ini tercermin melalui terciptanya kondisi yang menempatkan rakyat sebagai aktor utama dalam politik. Artinya, rakyat memiliki kesempatan dalam mengekspresikan dan mengartikulasikan kepentingannya. Rakyat juga memiliki ruang dalam menggugat setiap dominasi dan hegemoni yang terus meniadakan perbedaan yang bersifat politis.

Hilangnya akses rakyat atas politik berimplikasi pada hilangnya “kuasa” rakyat dalam berdemokrasi. Rakyat terus ditempatkan sebagai objek kepentingan elite dalam ritual demokrasi seperti pemilu. Akibatnya rakyat kehilangan fungsinya, terutama fungsi kontrol atas jalannya kekuasaan. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka dominasi elite ini telah ikut mengkerdilkan esensi rakyat. Selain itu, kondisi ini juga gagal untuk mendewasakan politik demokrasi kita dalam menghargai setiap hak politis warga negara.

Sebagai akhiran, ketakutan bahwa pemilu kembali dibajak memang perlu kita lawan dengan menegaskan kembali esensi demokrasi. Hal ini merupakan perjuangan bersama dan tidak bisa hanya mengandalkan aktor atau institusi lama yang kian dikooptasi lingkaran kekuasaan. Perjuangan ini merupakan upaya mengembalikan marwah demokrasi dan menempatkan rakyat sebagai aktor yang aktif dalam ruang politis yang inklusif. Perjuangan ini merupakan perjuangan melawan upaya dominasi elite politik yang terus mengkerdilkan makna rakyat dalam demokrasi. []

FAIZ KASYFILHAM

Peneliti di Research Centre for Politics and Government (PolGov) dan Election Corner Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM)