Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (Perppu Pilkada) memang sudah dinanti-nanti oleh publik. Hampir tidak ada perbedaan isi dengan apa yang dibicarakan antara KPU, Pemerintah, dan DPR beberapa waktu yang lalu. Pada intinya, Pilkada Serentak 2020 yang semula direncanakan pada September 2020 diundur pelaksanaannya menjadi Desember 2020 karena adanya pandemi COVID-19. Kemudian, pelaksanaan pilkada dapat diundur kembali lagi dengan melihat kondisi.
Sekilas terbitnya Perppu ini menjadi solusi untuk menegakkan konstitusi di tengah pandemi. Dalam hal administratif mungkin betul, karena KPU mempunyai dasar untuk menunda Pilkada Serentak 2020 untuk beberapa bulan mendatang atau bahkan berganti tahun. Namun, dalam tataran teknis pelaksanaan sesungguhnya ada banyak hal yang masih dipertanyakan dan perlu dikaji lebih dalam, apalagi jika diadakan pada bulan Desember 2020 yang mungkin saja masih dalam suasana darurat.
Physical Distancing vs Tahapan Pilkada
Dalam kondisi pandemi COVID-19, physical distancing wajib dilakukan untuk memutus rantai penularan virus. Bertentangan dengan itu, tahapan dan kegiatan pemilu sangat erat kaitannya dengan pengumpulan massa ataupun membutuhkan interaksi tatap muka secara langsung. Sesuatu hal yang riskan dilakukan di tengah atau bahkan sesaat pandemi ini berakhir.
Berkaitan dengan tahapan pemilu, menurut Wall, Allan et al (2006) dalam International IDEA, siklus atau tahapan pemilu dapat dibagi dalam beberapa tahap diantaranya adalah: 1. Pembuatan peraturan; 2. Perencanaan; 3. Pelatihan, pendidikan dan sosialisasi; 4. Pendaftaran pemilih 5. Kampanye; 6. Pemungutan dan penghitungan suara; 7. Sengketa dan Penetapan; 8. Tahapan setelah pemilu/evaluasi. Dari 8 tahapan yang ada dalam siklus tahapan pemilu tersebut, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan teknis pelaksanaan.
Pertama, berkaitan dengan pelatihan, pendidikan dan sosialisasi. Metode yang umum selama ini dilakukan adalah tatap muka, baik itu pelatihan, pendidikan dan sosialisasi pemilu. Hal yang sama juga terjadi dalam tahapan kampanye. Jika nantinya pelaksanaan pilkada ini masih dalam suasana pandemi, apakah tahapan-tahapan tersebut bisa diminimalisir pertemuan tatap mukanya?
Kedua, pendaftaran pemilih. Metode pendaftaran pemilih yang dilakukan di Indonesia saat ini menggunakan metode sensus, door to door. Dengan metode seperti itu, mau tidak mau kontak antar orang lebih intens dilakukan.
Ketiga, pada puncaknya tahapan pemilu yaitu pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan dengan melibatkan banyak orang tentu sangat mengkhawatirkan kita semua. Pemilih harus datang ke TPS ketika waktu pemungutan suara, kemudian penghitungan suara juga terbuka untuk disaksikan oleh saksi peserta dan masyarakat secara umum agar terjamin asas transparansinya.
Bahkan jika ditarik satu tahapan sebelumnya, KPU harus menyiapkan logistik pemilu dengan melibatkan hingga ratusan orang dalam suatu tempat untuk menyortir, melipat, dan mengepak surat suara. Artinya semua tahapan tersebut sangat rentan dengan penularan COVID-19.
Prosedur Darurat
Lantas, apa yang harus KPU lakukan apabila pilkada serentak tetap dilakukan pada Desember 2020? Taruhlah pandemi ini segera berakhir, dan kita memasuki kondisi pascapandemi. Protokol kesehatan tetap harus dijalankan agar virus tidak lagi berkembang.
Belajar dari pemilu di Korea Selatan yang dilaksanakan pada waktu pandemi, harus ada prosedur dan pengaturan sedemikian rupa agar pemilu dapat berjalan dengan lancar. Menurut Spinelli (2020) beberapa langkah dilakukan oleh NEC (KPU-nya Korsel) untuk melindungi petugas dan pemilih yang datang di TPS agar terhindar dari virus.
Di antaranya adalah: Pertama, mendorong metode early voting; Kedua, memastikan lingkungan TPS yang aman untuk memilih, termasuk memberikan fasilitas tambahan kesehatan di TPS; Ketiga, sosialisasi peraturan; Keempat, kampanye daring; Kelima tetap mengutamakan transparansi proses pemungutan dan penghitungan suara.
Kiranya beberapa langkah di atas sudah atau dapat dilakukan. Namun, permasalahannya dalam aturan kepemiluan kita, hal antisipatif ataupun contingency plan sangat minim. Early voting dan pemungutan suara lewat pos saja hanya berlaku untuk WNI di luar negeri. Padahal metode pemungutan suara alternative ini sangat dimungkinkan apabila kita dalam kondisi darurat. Belum lagi perubahan metode tatap muka menjadi daring di beberapa tahapan seperti kampanye perlu ada landasan hukumnya.
Oleh karena itu jika benar-benar pilkada serentak ini aman untuk dilakukan maka perlu ada langkah-langkah yang extraordinary dalam hal pembuatan aturan dan tentu saja perencanaan anggaran yang matang. KPU harus bisa memilah mana langkah-langkah teknis yang bisa dilakukan dengan aturan yang ada, serta berkonsultasi dengan stakeholder terkait mengenai langkah-langkah teknis darurat yang harus diberi payung hukum yang jelas. Terakhir, publik mengharapkan pilkada “dalam masa pandemi” ini berjalan dengan aman, resiko yang minim, dan bebas dari penyelewengan kekuasaan. []
DIWANGKARA NAFI AL MUFTI
Alumni Mahasiswa Pasca-Sarjana, Konsentrasi Tata Kelola Pemilu, Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
Staf Sekretariat KPU Kabupaten Bantul