Meskipun penundaan pemilu masih sekedar wacana, akan tetapi belum ada kepastian konkret yang menjamin penolakannya. Malahan, terus bergulir semakin kencang kian harinya. Padahal, gagasan ini merupakan gagasan berbahaya yang berpotensi mengangkangi konstitusi dan mengingkari kedaulatan rakyat.
Yang perlu disadari, jalan menuju penundaan pemilu bukanlah perkara mudah. Jalur yang ditempuh untuk merealisasikan wacana ini masih sangatlah panjang dan haruslah melalui pintu amendemen konstitusi. Sekurang-kurangnya butuh 1/3 anggota MPR untuk mengusulkan perubahan konstitusi. Lalu, untuk mengubahnya, butuh sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 anggota MPR, dan mendapatkan persetujuan dari 50+1% anggota MPR.
Meskipun begitu, jika kita berkaca dari konstelasi politik di parlemen hari ini, proses ini sangatlah memungkinkan untuk ditempuh. Setidak-tidaknya untuk sampai ke tahap pengajuan amendemen UUD 1945.
Jika gagasan ini sampai terjadi, maka yang menjadi permasalahan utamanya ialah, nilai etis dan potensi dipinggirkannya azas konstitusionalisme. Tidak sedikit pasal dan ketentuan di dalam UUD 1945 yang akan ditabrak oleh gagasan ini. Di antaranya, pasal 1 ayat (2) dan (3) yang menekankan terhadap azas supremasi konstitusi dan negara hukum. Kedua, pasal 22E yang menyebutkan dengan tegas pemilu dilaksanakan selama 5 tahun sekali.
Jika wacana tersebut terealisasi, maka penundaan pemilu akan menjadi semacam hadiah perpanjangan jabatan yang diberikan secara cuma-cuma tanpa harus bertarung dalam pemilu. Wacana ini tentu saja betul-betul mencederai azas demokrasi konstitusional yang menempatkan pemilu sebagai instrumen bagi pejabat publik untuk mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat.
Gagasan penundaan pemilu saat ini mengingatkan saya atas apa yang dikatakan oleh Susi Dwi Harijanti (2016:xvi) dengan sebutan “Constitution without constitutionalism”. Pernyataan ini dimaksudkan kepada konstitusi yang bukannya menguatkan prinsip konstitusionalisme, tetapi malah menjauhkannya dari prinsip tersebut. Sehingga, konstitusionalisme yang secara harfiah seharusnya membatasi kekuasaan, justru menjadi pondasi bagi berjalannya praktik otoritarian.
Contoh itu terjadi di Rusia. Melalui amendemen konstitusi terbukalah pintu bagi Putin untuk menjabat sebagai presiden seumur hidup. Konstitusi 2008 Myanmar yang memberikan kekuasaan dan keterlibatan politik yang sangat besar kepada militer tatmadaw, dan juga Cina melalui amendemen konstitusinya berhasil menghapus batas waktu jabatan presiden yang memuluskan langkah Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup. Cerita-cerita pelik di belahan dunia lain inilah yang seharusnya dijadikan pelajaran agar tidak dengan mudah memain-mainkan konstitusi.
Amendemen hari ini?
Selain daripada terpinggirkannya azas konstitusionalisme, masuklah kita kepada pertanyaan selanjutnya, seberapa pentingkah kita untuk mengamendemen konstitusi hari ini? Memang betul, konstitusi bukanlah kitab suci yang terlarang untuk diubah. Konstitusi merupakan living document yang secara harfiah dapatlah diubah dan senantiasa berkembang. Hanya saja, alasan yang melatarbelakangi amendemen konstitusi inilah yang tidak bisa sembarangan dan membutuhkan kondisi yang memang betul-betul menghendaki perubahan tersebut atau jika meminjam istilah James Madison (1961:314) dengan sebutan ‘great and extraordinary occasion’.
Hal ini merupakan konsekuensi logis daripada posisi konstitusi sebagai the supreme law of the land. Di dalamnya, terkandung cita-cita dan sejarah bangsa. Pasal 37 UUD 1945 memang memberikan pintu dan mengatur secara rinci hal ihwal tata cara mengamendemen konstitusi. Tetapi, di dalamnya tersirat persyaratan yang menjaga wibawa konstitusi yang membutuhkan syarat-syarat khusus untuk mengubahnya.
Konstitusi tidak semata-mata dapat diamendemen hanya atas dasar kepentingan elite belaka. Hal ini pun selaras jika kita menengok kembali lembaran sejarah bangsa Indonesia, amendemen konstitusi selalu dilatarbelakangi oleh kejadian-kejadian luar biasa. Contohnya di Indonesia, reformasi konstitusi pada 1999-2002 sebagai tindak tanduk daripada gerakan reformasi pada 1998.
Beranjak dari alasan tersebut, maka jika dikaitkan dengan kondisi hari ini dirasa amendemen konstitusi belum perlu untuk dilakukan. Sangat kentara jika amendemen konstitusi dilakukan, maka kepentingan elitelah yang semata-mata menjadi motor penggerak amendemen tersebut.
Hal lain yang perlu kita sadari juga ialah, berhembusnya gagasan penundaan pemilu ini berjalan beiringan dengan wacana-wacana lainnya yang juga membutuhkan amendemen konstitusi sebagai pintu masuknya. Yakni, penghidupan kembali GBHN dan isu penguatan fungsi DPD. Meskipun gaungnya tidak sekuat wacana penundaan pemilu, tetapi kedua isu ini terus menggema hari ini. Sehingga, hal ini berkemungkinan besar menjadikan amendemen konstitusi sebagai “titik pertemuan kepentingan” di antara aktor-aktor politik.
Mengapa saya beranggapan seperti itu? Tentu saja hal ini bukanlah tuduhan yang tidak berdasar. Logikanya sederhana.
Pertama, meskipun kepentingannya berbeda, tetapi yang menjadi kesamaannya ialah, kepentingan-kepentingan tersebut sama-sama terganjal oleh konstitusi. Seperti, penundaan pemilu, penghidupan kembali GBHN, dan penguatan fungsi DPD. Sehingga, amendemen konstitusi seakan menjadi satu pintu penyelesaian yang dapat mengakomodir semua kepentingan-kepentingan tersebut.
Kedua, hukum menurut KC Wheare (1966) merupakan kompromi realitas politik. Hal senada juga dikemukakan oleh Sri Soemantri dalam Susi Dwi Harijanti (2016:205) yang mengatakan, amendemen konstitusi merupakan masalah hukum yang mengandung aspek politik. Berangkat dari pernyataaan KC Wheare dan Sri Soemantri tersebut, maka dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengamendemen konstitusi sebagaimana yang diatur pada pasal 37 UUD 1945, kunci untuk membuka pintu amendemen tersebut sudah pasti akan ditempuh melalui pemufakatan politik di antara kelompok yang berkepentingan, dalam perkara ini adalah: Partai Politik dan Anggota DPD.
Jika amendemen ke-5 UUD 1945 dilakukan pada konteks saat ini, maka amendemen ini hanya akan menjadi pintu masuk dan titik temu bagi kepentingan elite semata. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun kepentingannya berbeda-beda, akan tetapi semuanya sama-sama membutuhkan amendemen konstitusi. Sehingga, jika pintu amendemen ke-5 telah terbuka, potensi masuknya kepentingan-kepentingan tersebut pun semakin membesar.
Analoginya, jika rumah kita kedatangan tamu sebanyak 3 orang, maka apakah mungkin hanya seorang yang kita suruh masuk ke dalam, sementara sisanya diminta untuk menunggu di luar?
Sebagai penutup, saya hendak mengutip perkataan Bung Hatta (1957:82) yang jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwasanya, demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung oleh rasa tanggung jawab. Ketakutan Hatta kala itu, seakan menjadi-jadi hari ini. Gagasan menunda pemilu salah satu contohnya. Dengan dalih keberlanjutan pembangunan dan “mengatasnamakan” kepentingan rakyat, konstitusi pun hendak dipermainkan tanpa peduli. Oleh karenanya, penting bagi kita semua untuk terus mengawal agar gagasan konyol ini jangan sampai terjadi. []
MUHAMMAD NAUFAL
Alumni Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjajaran (Unpad)