January 17, 2025
Pemilih disabilitas hendak mencoblos di salah satu TPS Kota Bandung, pada Pilkada 27 November 2024 (Nizar/Jabar Ekspres)

Menagih Janji: Hak Disabilitas dan Pemimpin Daerah Terpilih

Indonesia memiliki payung hukum yang kuat untuk melindungi hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. UU ini menjamin hak-hak penyandang disabilitas dalam pendidikan, pekerjaan, aksesibilitas, hingga partisipasi politik. Namun, menurut Dudi Nurdin, Aktivis Cahaya Inklusi Indonesia, implementasi UU ini di lapangan masih jauh dari harapan.

“Kalau isu disabilitas diibaratkan sebuah rumah, ini posisinya di toilet. Sangat terabaikan,” ungkap Dudi kepada Jabar Ekspres, belum lama ini.

Dirinya menekankan pentingnya memahami isi UU 8/2016 untuk menciptakan kebijakan yang tepat. Akan tetapi, pada realitanya pemerintah masih kerap memandang isu disabilitas sebatas urusan Dinas Sosial, tanpa melibatkan lintas sektor yang relevan.

Kenyataan semakin pahit dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat yang mencatat lonjakan jumlah penyandang disabilitas dari 35.953 jiwa pada 2021 menjadi 72.565 jiwa pada 2022. Dengan tren ini, jumlahnya berpotensi meningkat tiga kali lipat pada 2024. Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk tidak lagi menunda langkah konkret.

Dudi mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ketidakseriusan pemerintah dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Dirinya menyoroti bahwa kondisi kelompok disabilitas sering kali tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat umum, bahkan oleh calon pemimpin negara.

“Isu disabilitas ini ibarat toilet di sebuah rumah. Kita tahu ada teras, ruang tamu, dan ruang tengah, tetapi toilet seringkali dilupakan,” ujar Dudi, yang juga menekankan pentingnya pemahaman yang lebih dalam tentang hak-hak penyandang disabilitas di kalangan para pembuat kebijakan.

Dudi pun menegaskan bahwa pemahaman terhadap disabilitas harus diawali dengan pengetahuan mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut adalah dasar hukum yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia, termasuk dalam bidang pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan aksesibilitas.

Meski undang-undang ini sudah ada, Dudi mencatat bahwa pelaksanaannya masih jauh dari harapan. “Pemerintah, daerah, dan masyarakat harus lebih serius dalam menciptakan lingkungan yang inklusif,” tuturnya.

Menurut Dudi, masalah utama yang sering dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah aksesibilitas terhadap fasilitas umum dan transportasi yang tidak ramah disabilitas. Meskipun ada kewajiban untuk menyediakan akses tersebut, banyak lokasi yang belum memenuhi standar yang ditetapkan dalam UU.

Salah satu harapan terbesar yang ia sampaikan adalah pembentukan Komisi Nasional Disabilitas sebagai lembaga independen yang dapat mengawasi implementasi hak-hak penyandang disabilitas. Meskipun lembaga ini telah diamanatkan oleh UU, Dudi merasa komisi tersebut belum cukup efektif dalam menjalankan tugasnya.

Dengan semangat inklusivitas, Dudi berharap pemerintah dapat lebih serius dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, sehingga penyandang disabilitas dapat hidup mandiri dan berkontribusi secara aktif dalam pembangunan nasional. Sebuah harapan besar yang masih harus diperjuangkan.

“Jangan sampai penyandang disabilitas merasa diabaikan. UU 8/2016 mengamanatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka, namun realitasnya masih banyak yang kurang,” tambahnya.

Pendidikan, Pekerjaan, dan Tantangan Inklusi

Salah satu sektor yang mendesak perhatian adalah pendidikan inklusif. Kebijakan pendidikan inklusi telah berjalan sejak 2019, tetapi implementasinya masih menghadapi tantangan besar.

“Kami tidak ingin inklusi hanya berarti kehadiran siswa disabilitas di sekolah umum. Harus ada aksesibilitas, tenaga pengajar yang sensitif, dan kurikulum yang sesuai,” tegas Dudi.

Ketimpangan pendidikan berujung pada rendahnya peluang kerja bagi penyandang disabilitas. Minimnya pelatihan keterampilan, fasilitas ramah disabilitas, dan bias di lapangan kerja membuat kelompok ini rentan menjadi korban kekerasan dan diskriminasi.

Hal serupa disoroti Aden Achmad, Biro Hukum dan Advokasi PPDI Jabar, yang menegaskan pentingnya komunitas disabilitas terlibat langsung dalam pembangunan. “Indonesia bisa inklusif kalau ada kemauan politik (political will). Kalau tidak, UU hanya akan jadi teks kosong,” ujar Aden.

“Tanpa dukungan pemerintah, bagaimana kami bisa berdaya dengan berbagai keterbatasan, meskipun sudah ada hukum yang memayungi hak-hak kami?” imbuhnya.

Aden menegaskan bahwa meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas, implementasi hukum tersebut masih jauh dari harapan. Ia menyatakan bahwa meskipun penghormatan terhadap hak-hak disabilitas telah tertulis, masih minim upaya nyata dari pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkannya.

Dalam konteks pemilihan calon pemimpin, Aden berharap bahwa mereka yang maju dalam kontestasi politik harus lebih peka terhadap kebutuhan dan hak-hak penyandang disabilitas. Salah satu langkah konkret yang perlu diambil adalah melibatkan penyandang disabilitas dalam berbagai sektor, baik di pemerintahan maupun dalam proses pembangunan.

“Seharusnya, jika ada unit pelayanan disabilitas, maka unit tersebut harus melibatkan anggota dari komunitas disabilitas itu sendiri. Kami tidak hanya ingin dilibatkan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan,” jelasnya.

Saat ini, menurut Aden, meskipun ada wacana mengenai inklusivitas dan hak-hak penyandang disabilitas, perubahan yang signifikan masih belum terlihat. Hal ini membuat penyandang disabilitas merasa terpinggirkan dan terlupakan dalam proses pembangunan negara.

Harapan besar penyandang disabilitas adalah agar pemimpin masa depan benar-benar memperhatikan dan melibatkan mereka dalam setiap aspek pembangunan, dengan komitmen untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif dan setara bagi semua warganya.

“Jika tidak ada perubahan nyata, maka cita-cita untuk mencapai Indonesia Emas 2045 akan semakin sulit tercapai. Sebaliknya, yang ada justru Indonesia Cemas, di mana banyak kelompok, termasuk disabilitas, masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam pembangunan nasional,” ungkap Aden.

Janji Kampanye, Antara Empati dan Pencitraan

Isu disabilitas menjadi salah satu sorotan dalam kampanye para kandidat gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat 2024. Beberapa pasangan calon menawarkan program-program yang dianggap ramah disabilitas.

Seperti halnya pasangan nomor urut 1, Aceng dan Gita menekankan pembangunan infrastruktur ramah disabilitas serta ruang kreatif. Sementara pasangan nomor urut 2, Jeje dan Ronal mengusulkan “Psikolog Mingguan” dan sekolah berbasis latihan kerja.

Lalu pasangan nomor urut 3, Syaikhu dan Ilham berkomitmen menciptakan lapangan kerja melalui program “Satu Desa Satu Industri”. Terakhir, pasangan nomor urut 4, Dedi dan Erwan mengusung pendidikan inklusif dengan pendekatan religius dan pembangunan sekolah yang ramah disabilitas.

Namun, menurut Arlan Sidha, Pengamat Politik Universitas Jenderal Ahmad Yani, janji-janji ini sering kali hanya menjadi komoditas politik. “Masyarakat melihat calon ini peduli, tetapi sering kali realisasinya nol. Isu ini harus menjadi prioritas, bukan sekadar alat pencitraan,” katanya.

“Pandangan masyarakat, bahwa (calon) tersebut ada aware dan peduli terhadap disabilitas. Biasanya itu menjadi strategi politik untuk kemudian mempertontonkan calon ini memiliki empati luar biasa,” ungkap Arlan.

“Sehingga isu disabilitas juga dapat sedikit membawa pamor bagi bakal calon. Walaupun pada akhirnya isu disabilitas ini hanya dijadikan arena pencari suara saja. Bahkan ada beberapa hal yang sulit direalisasikan. Lantas isu ini akan terus muncul,” tambahnya.

Namun dirinya mengingatkan, isu tersebut jangan dianggap sepele oleh para calon pemimpin. Janji-janji atas program berkaitan yang memberi hal positif bagi para penyandang disabilitas, semestinya turut direalisasikan menjadi program yang nyata. Bukan sekadar janji manis politik belaka.

“Isu ini tidak boleh dianggap main-main. Harus diangkat. Isu yang harus benar-benar menjadi prioritas dan komitmen. Itu yang pentingnya,” tukasnya.

Mewujudkan Komitmen Inklusivitas

Pemilu 2024 menjadi momentum untuk menagih komitmen para calon pemimpin daerah. Hak penyandang disabilitas bukanlah isu pinggiran, melainkan indikator sejauh mana sebuah daerah benar-benar inklusif. Kini, bola berada di tangan para pemimpin terpilih untuk menjadikan janji-janji mereka lebih dari sekadar kampanye. Waktunya membuktikan.

Pemenuhan hak disabilitas tidak cukup hanya dengan peraturan. Diperlukan langkah nyata, seperti revisi Perda Nomor 7 Tahun 2013 yang sudah usang, dan pengawalan implementasinya. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan unit layanan disabilitas yang diisi oleh penyandang disabilitas sendiri agar kebijakan lebih relevan dan inklusif.

Penyandang disabilitas, sebagai bagian dari masyarakat, berhak atas kehidupan yang setara. “Kami hanya meminta pemerintah menjalankan amanat konstitusi untuk mencerdaskan dan mensejahterakan,” tegas Dudi.[]

Muhammad Nizar, Jurnalis Jabarekspres.com

Liputan ini telah terbit di Jabarekspres.com merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.