December 9, 2024
Ilustrasi Rumahpemilu.org/ Haura Ihsani

Menakar Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024

Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (PUSaKO UNAND), Sucy Delyarahmi menganggap partisipasi perempuan dalam pemilu sangat penting untuk memperkuat representasi dan kebijakan yang lebih inklusif. Dampak keterwakilan perempuan di parlemen dapat menghadirkan perspektif dan isu-isu yang relevan dengan perempuan dan peningkatan kualitas kebijakan publik. Namun ia menilai Pemilu 2024 masih belum menunjukkan keterwakilan perempuan yang bermakna.

“Tingkat keterwakilan perempuan 30 persen saja masih susah sekali. Tantangan budaya dan sosial seperti stereotip gender yang masih membatasi peran perempuan di ranah publik. Selain juga ketidaksetaraan akses pendidikan dan informasi,” kata Sucy dalam diskusi daring “Partisipasi Perempuan dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024” (19/7).

Padahal Sucy menilai mayoritas pemilih pada Pemilu 2024 adalah perempuan. Ia memandang perempuan memiliki peran sangat penting karena perempuan mempunyai kecenderungan membicarakan kandidat dalam pemilu. Namun disisi lain, menurutnya keterwakilan perempuan perlu didorong agar bukan sekedar angka saja, namun juga soal kualitas perempuan.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Violla Reininda mengatakan ada beberapa tantangan untuk meningkatkan perwakilan perempuan. Pertama, paradoks dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Meskipun hak konstitusional perempuan sudah terjamin sejak 1945, namun representasi di parlemen masih kurang. Kedua, tantangan strategis dalam pemilu, seperti biaya politik yang tinggi dan rekomendasi partai politik yang sering menjadi masalah.

“Pada tahun 2019, kami mendampingi calon legislatif perempuan dari Papua yang mengalami keterbatasan dana dan problem internal partai politik. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengakomodasi pihak terkait yang tidak mendapatkan izin dari partai politik. Di tahun 2024, ada progresivitas dari MK yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif lain bisa menjadi pihak dalam sengketa PHPU,” ujar Violla.

Violla merekomendasikan beberapa hal untuk meningkatkan keterwakilan perempuan yang bermakna. Diantaranya, kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada untuk menyelaraskan pengaturannya, kaderisasi dan regenerasi di partai politik untuk menghasilkan calon pemimpin perempuan yang berkualitas. Selain itu, ia juga menilai media perlu memberikan sorotan yang lebih kepada perempuan-perempuan progresif.

“Terakhir, membentuk sistem pendukung seperti di Amerika Serikat yang merekrut dan mendukung perempuan muda progresif untuk menjadi pejabat publik. Tidak hanya memberikan endorsement, tetapi juga membentuk tim yang mendukung dari proses pendaftaran hingga penyelesaian sengketa,” pungkasnya. []