August 8, 2024

Menakar Partisipasi Pilkada Calon Tunggal

Pasangan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah menjadi salah satu persoalan baru dalam praktik demokrasi elektoral lokal di Indonesia. Komisi Pemilihan Umum  mencatat, di Pilkada 2020 ada 25 pilkada yang digelar dengan pasangan calon tunggal.  Jumlah ini meningkat jika dibandingkan  Pilkada 2018 yang tercatat ada 13 daerah, di Pilkada 2017 ada di sembilan daerah, dan di Pilkada 2015 hanya tercatat ada di  tiga daerah.

Hasil jajak pendapat Kompas awal November mengungkap mayoritas responden (70,5 persen) sependapat bahwa pasangan calon tunggal berpotensi menurunkan partisipasi pemilih dalam menggunakan hak suaranya. Kehadiran pasangan calon tunggal juga menggerus minat terhadap pilkada, salah satunya karena tak ada ruang kontestasi antar-pasangan calon untuk berebut simpati pemilih.

Kehadiran satu pasangan calon dalam pilkada menjadi salah satu peringatan serius bagi demokrasi di daerah. Terlebih, jika cara itu digunakan sebagai strategi politik untuk membajak proses demokrasi demi memenangkan pasangan calon tertentu. Sebab, menjadi sudah rahasia umum pasangan calon tunggal kerap hadir dengan praktik memborong dukungan pencalonan dari partai politik pemilik kursi di DPRD.

Keresahan terhadap persoalan pasangan calon tunggal juga diungkapkan  separuh lebih responden yang sependapat bahwa kondisi ini merugikan masyarakat sebagai pemilih.

Fenomena calon tunggal pada akhirnya juga menggambarkan kegagalan partai melahirkan kader-kader untuk menjadi calon pemimpin di daerah. Penilaian itu muncul dari 57,6 persen responden.

Sikap responden yang cenderung menghindari pasangan calon tunggal ini juga tidak lepas dari persepsi mereka terhadap nilai kontestasi politik. Untuk itu, mayoritas responden jajak pendapat kali ini lebih memilih pilkada dengan dua pasangan atau lebih dibandingkan  hanya satu pasangan calon.

Dari sisi kelompok responden dari kategori generasi atau usia, sikap lebih memilih jumlah pasangan calon yang lebih dari dua  relatif  lebih banyak dikemukakan di kelompok responden baby boomers (53-71 tahun). Sebanyak 64,6 persen dari responden kategori ini lebih memilih pilkada diikuti lebih dari dua pasangan calon. Jika melihat usianya, responden kelompok ini setidaknya sudah berpengalaman menjadi pemilih, baik di pemilu maupun pilkada.

Sementara responden di kelompok usia milenial, baik Gen Z (kurang dari 22 tahun) maupun Gen Y (22-30 tahun), lebih berimbang antara ingin ada dua pasangan calon atau lebih dari dua pasangan. Namun, dari semua kelompok usia, hanya sedikit responden yang memberi ruang pilkada dengan pasangan calon  tunggal.

Partisipasi

Jajak pendapat juga merekam, 79,6 persen responden  yang mengaku di wilayahnya akan digelar pilkada akan menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember nanti.  Tentu ini memberikan sinyal animo terhadap pilkada tahun ini relatif masih terjaga meskipun digelar di tengah pandemi Covid-19.

Kecenderungan ini sebenarnya juga terbaca di sejumlah hasil jajak pendapat Kompas sebelumnya. Secara umum, masyarakat khawatir terhadap pilkada yang digelar di tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali. Namun, sebagian besar responden juga mengaku akan tetap menggunakan hak pilihnya di pilkada.

Meskipun demikian, jika merujuk pengalaman di pilkada sebelumnya, memang ada kecenderungan pilkada dengan pasangan calon tunggal rata-rata tingkat partisipasinya  belum memenuhi angka partisipasi yang ditargetkan KPU meskipun trennya meningkat. Di Pilkada 2015, misalnya, ada tiga wilayah yang menggelar pilkada dengan pasangan calon tunggal dengan rerata tingkat partisipasi 60,4 persen. Ini lebih rendah dari rata-rata partisipasi pemilih secara nasional yang mencapai 70 persen.

Di Pilkada 2017, rata-rata partisipasi pilkada di daerah berpasangan calon tunggal mencapai 73,2 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional yang 74,5 persen.  Di Pilkada 2018, rata-rata partisipasi pemilih di daerah  berpasangan calon tunggal 75 persen. Ini sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata partisipasi pemilih secara nasional yang 73,2 persen.

Meskipun partisipasi pemilih di daerah dengan pasangan calon tunggal terus naik,  angka itu masih di bawah target KPU, yakni partisipasi 77,5 persen. Memang tingkat partisipasi tak hanya ditentukan  pasangan calon tunggal, tetapi turut ditentukan  aspek sosial, politik, budaya, ekonomi, dan teknis pada hari pencoblosan.

Hal itu dikuatkan data tiga pilkada sebelumnya. Rata-rata perolehan suara kotak kosong cenderung stagnan. Di Pilkada 2015, rata-rata perolehan suara kotak kosong 22,7 persen. Sempat turun di 2017, kemudian rata-rata perolehan suara kotak kosong naik lagi  di Pilkada 2018 ke angka 23,3 persen.

Di luar fenomena pasangan calon tunggal itu, ada pula pemilih yang menggunakan hak pilihnya hanya sekadar untuk menghalangi kemenangan pasangan calon tunggal. Ini, misalnya, terjadi di Pilkada Kota Makassar pada 2018. Pilkada di Makassar sejauh ini menjadi satu-satunya kasus di mana pemilihan dimenangi kotak kosong sebagai  simbol adanya ”perlawanan” pemilih untuk menghalangi kemenangan pasangan calon tunggal.

Kotak kosong

Aturan mengenai penyelenggaraan pemilihan dengan pasangan calon tunggal ini tercantum di Pasal 54C Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pasal itu menyatakan, pemilihan dengan satu pasangan calon dilakukan dengan menggunakan surat suara yang memuat kolom pasangan calon dan kolom kosong tidak bergambar. Di Pasal 54D diatur, pasangan calon terpilih ditetapkan apabila mendapatkan perolehan lebih dari 50 persen suara sah.

Berdasarkan ketentuan itu, kotak kosong kedudukannya sama dengan pasangan calon kepala daerah yang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih, bahkan KPU wajib menyosialisasikan pilihan kotak kosong di luar satu pasangan calon tersebut. Meskipun harus diakui, dominasi pasangan calon tunggal sering kali membuat informasi soal kotak kosong tenggelam dan tak menarik lagi bagi masyarakat. Bahkan, tidak jarang ada pihak yang membelokkan pemahaman bahwa memilih kotak kosong sama dengan bersikap golput.

Kehadiran calon tunggal di tengah situasi pandemi semakin memperbesar kemungkinan penurunan tingkat partisipasi pemilih. Meskipun demikian, kondisi itu semestinya dapat diatasi dengan segala  antisipasi yang telah dipersiapkan. (LITBANG KOMPAS)

Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 November 2020 di halaman 3 dengan judul “Menakar Partisipasi Pilkada Calon Tunggal”. https://www.kompas.id/baca/riset/2020/11/23/menakar-partisipasi-pilkada-calon-tunggal/