August 8, 2024
Diskusi “Proporsionalitas dan Sistem Kepartaian Hasil Pemilu 2024”, di Menteng, Jakarta Pusat (24/5). Rumahpemilu.org/Rikky MF

Menakar Proporsionalitas Hasil Pemilu 2024

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil Pemilu 2024 pada 20 Maret lalu, namun masih menyisakan disproporsionalitas kursi hasil pemilu. Setidaknya terdapat 17,3 juta suara terbuang dari 18 partai politik peserta pemilu, hal disebabkan karena hanya 8 partai yang lolos ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) sebesar 4 persen. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai angka ambang batas parlemen harus diatur ulang agar tidak banyak suara yang terbuang pada Pemilu 2029 mendatang.

“Sistem pemilu legislatif proposional adalah keberimbangan antara perolehan kursi partai dengan suara yang dimiliki. Jadi sederhananya kalau partainya dapat 4 persen, maka kalau dikonversi menjadi kursi harus setara dengan 4 persen di level parlemen,” kata Peneliti Perludem Heroik Pratama dalam diskusi bertajuk “Proporsionalitas dan Sistem Kepartaian Hasil Pemilu 2024”, di Menteng Jakarta Pusat (24/3).

Ambang batas parlemen merupakan syarat minimal perolehan suara partai politik untuk diikutkan dalam penentuan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di Indonesia ambang batas parlemen mulai diterapkan pada Pemilu 2009 dengan angka 2,5 persen, dari 38 partai politik hanya 9 partai yang lolos ambang batas parlemen. Pada Pemilu 2014 angka tersebut dinaikkan menjadi 3,5 persen, akibatnya dari 12 partai hanya 10 partai yang lolos, sementara pada Pemilu 2019 dengan ambang batas 4 persen dari 12 partai hanya 9 partai yang memenuhi ambang batas. Dengan angka yang sama, hasil Pemilu 2024 meloloskan 8 partai dari 18 partai peserta pemilu.

Menurut Heroik, sejatinya model ambang batas terdapat dua jenis yakni legal threshold dan efektif threshold. Menurutnya, model Legal threshold seperti yang diterapkan saat ini, sistem penentuan besarnya terdapat banyak kepentingan politik untuk menghambat masuknya partai kecil di parlemen. Sementara efektif threshold menurut Heroik, memiliki tujuan utama meminimalisir disproporsionalitas hasil pemilu.

“Adapun rumus ambang batas efektif yang dikemukakan oleh Laakso Taagepera adalah 75 persen dibagi dengan rata-rata besaran daerah pemilihan, dikali dengan akar dari jumlah kursi parlemen. Melalui penghitungan itu ambang batas parlemen efektif adalah 1 persen,” jelas Heroik.

Lebih lanjut, ambang batas efektif bisa diterapkan secara nasional maupun berdasarkan daerah pemilihan (dapil) di level provinsi dan kabupaten/kota dengan menghitung besaran dapil, jumlah alokasi kursi, dan rata-rata dapil. Heroik menilai, Pasal 414 (1) UU 7/2017 yang menyebutkan penerapan ambang batas parlemen sebesar 4%, tidak ada alasan rasional dalam menentukan angka tersebut.

“Artinya opsi-opsi metodologis yang rasional itu bisa digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan besaran ambang batas parlemen di Pemilu 2029,” ungkapnya.

Sebagai informasi Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan perkara 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan Perludem, menyatakan bahwa besaran ambang batas parlemen perlu direvisi. MK dalam putusannya menitipkan, perbaikan harus didesain untuk berkelanjutan, menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, tetap ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik, melibatkan semua pihak, dan perubahan dilakukan sebelum Pemilu 2029.

Proyeksi Konversi Hasil Pemilu 2024

Setelah pengumuman resmi hasil pemilu oleh KPU, Perludem melakukan konversi perolehan suara partai politik untuk mengukur perolehan kursi masing-masing partai. Metode yang digunakan adalah data perolehan suara yang digunakan berdasarkan formulir rekapitulasi perolehan suara model D. Hasil melalui Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).

“Ini merupakan proyeksi hasil konversi sebelum keluarnya keputusan KPU mengenai perolehan kursi partai politik. Hasil ini sebelum dikeluarkan putusan MK soal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU),” jelas Heroik.

Berdasarkan penghitungan Perludem, yang dilakukan dengan metode Sainte lague dengan membagi perolehan suara partai dengan angka ganjil kemudian diurutkan dari suara tertinggi sesuai jumlah kursi yang tersedia. Heroik mengatakan, karena ada tiga partai yang seharusnya mendapat kursi namun tidak lolos ambang batas parlemen, maka terjadi pergeseran 12 kursi PPP, 5 kursi PSI, dan 1 kursi Perindo yang akhirnya didapatkan partai lain yang memenuhi ambang batas parlemen 4 persen.

Hasilnya, dari total 580 kursi DPR, Partai PDIP menjadi partai dengan perolehan kursi terbanyak dengan 110 kursi (19%). Disusul Partai Golkar dengan 102 kursi (17,6%), Partai Gerindra 86 kursi (14,8%), PKB 68 kursi (11,7%), Partai Nasdem 69 kursi (11,9%), PKS dengan 53 kursi (9,1%), Partai Demokrat 44 kursi (7,6%) dan PAN 48 kursi (8,3%).

“PDIP mendapatkan 110 kursi dari 580 kursi dengan 19% kursi di DPR. Dari situ sudah kita lihat proporsionalitas hasil pemilu tidak sebanding dengan persentase perolehan kursinya. Padahal jika menggunakan pileg proporsional maka prinsip dasar yang harus dipenuhi adalah proporsionalitas antara perolehan suara dengan kursi yang didapatkan partai,” jelasnya.

Heroik menegaskan meskipun angka ambang batas parlemen mengalami kenaikan tiap pemilu, namun sama sekali tidak berdampak pada penyederhanaan partai. Hal itu karena semua partai dengan kursinya mempunyai komposisinya yang kuat. Karena itulah menurutnya, pemerintahan terpilih seringkali mengajak partai-partai lain untuk membentuk mayoritas dukungan di parlemen.

“Bahwa pasca pemilu 2024 ini penting untuk segera melakukan revisi UU pemilu, salah satunya adalah reformulasi ulang untuk menuju pemilu 2029,” tegasnya.

Sementara menurut Program Manager Perludem, Fadli Ramadhanil, Pemilu 2024 dinilai gagal karena tidak mampu melakukan penyederhanaan sistem kepartaian. Meskipun jumlah partai berkurang, namun kursi DPR tersebar hampir semua partai politik, dengan kata lain semua partai bisa mempengaruhi pengambilan keputusan DPR.

“Bisa dibayangkan betapa tidak efektifnya nanti. Ini akan memberikan resiko yang sangat besar pada jalannya pengambilan keputusan dan pemerintahan,” jelasnya.

Jika demikian yang terjadi, menurut Fadli proses pengambilan keputusan akan saling kunci dan membelenggu. Ia mengkhawatirkan terjadinya politik “dagang sapi” (transaksi pembagian kekuasaan di antara para elite politik) sehingga tidak adanya proses kontrol maupun pengawasan di DPR. Menurutnya upaya membangun paradigma baru terhadap ketentuan sistem pemilu harus terus dilakukan dengan menghitung ulang besaran ambang batas dan menata kembali besaran dapil.

“Justru terus menerus menaikan angka Parliamentary Threshold atau mempertahankannya sebesar 4 persen dampaknya adalah naiknya jumlah suara yang terbuang yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi,” jelas Fadli. []