March 22, 2025

Menangkal Disinformasi dan Penyalahgunaan AI di Pemilu Asia: Solusi Kritis untuk Demokrasi Digital

Pemilu di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, semakin terancam oleh penyalahgunaan teknologi informasi, terutama kecerdasan buatan (AI). Penyebaran disinformasi melalui alat digital yang semakin canggih—seperti konten deep fake—menjadi senjata ampuh yang digunakan oleh aktor politik untuk mempengaruhi pemilih, merusak reputasi politisi, dan merusak integritas demokrasi. Ini bukan hanya tantangan bagi negara-negara berkembang di Asia, tetapi juga ancaman bagi demokrasi digital yang baru berkembang. 

Polarisasi dan Manipulasi AI: Fenomena Global yang Mewabah

Di seluruh dunia, penggunaan teknologi seperti AI dalam politik semakin menimbulkan ancaman serius terhadap demokrasi, salah satunya melalui manipulasi konten digital. Praktik manipulasi konten digital menggunakan AI terjadi dibanyak negara, utamanya di Asia. Kasus yang terjadi di India pada Pemilu 2024 menjadi contoh nyata bagaimana AI dapat digunakan untuk menyesatkan publik dengan konten yang tidak hanya palsu, tetapi juga menyesatkan dengan cara yang sangat meyakinkan.

Sebagai contoh, pada forum Rightscon 2025 di Taipei, Tarunima Prabhakar, seorang peneliti dan pakar disinformasi, mengungkapkan adanya praktik penyalahgunaan AI dalam bentuk pembuatan konten deep fake yang digunakan untuk mendukung kandidat politik. Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah pembuatan video endorsement dari tokoh politik yang sudah meninggal, yang seolah-olah mendukung salah satu kandidat tertentu. Praktik ini jelas merusak integritas proses pemilu, mengaburkan batas antara informasi yang sah dan propaganda yang terorganisir.

Fenomena serupa tidak hanya terjadi di India. Di Indonesia, muncul video deep fake yang menampilkan sosok Soeharto, mantan presiden Indonesia, yang mengkampanyekan Partai Golkar pada Pemilu 2024. Dalam video tersebut, meskipun wajah Soeharto sudah tidak dapat tampil secara fisik, teknologi AI berhasil memanipulasi gambar dan suara untuk meyakinkan pemilih bahwa tokoh tersebut masih hidup dan mendukung partai tertentu. Keberadaan konten seperti ini sangat meresahkan karena memanfaatkan simbol-simbol sejarah untuk tujuan politik, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hasil pemilu.

Sementara itu, di Pakistan, menurut Nighat Dad, pendiri dan direktur eksekutif Digital Rights Foundation, pemilu di negara tersebut menunjukkan pola disinformasi yang lebih gender-sensitif. Isu terkait disinformasi gender menjadi sangat signifikan, dimana kampanye hitam seringkali menargetkan kandidat perempuan dengan menyerang kehidupan pribadi mereka. Misalnya, pemberitaan yang mengaitkan calon perempuan dengan skandal pribadi atau bahkan skandal seksual yang tidak pernah terjadi, semuanya hasil rekayasa digital.

Hal ini juga terjadi di Indonesia, di mana politisi perempuan menjadi sasaran utama disinformasi dan kampanye hitam berbasis gender. Bentuk serangan pada ranah digital ini semakin menyudutkan politisi perempuan dan juga menghilangkan rasa aman perempuan dalam berpolitik. Pasalnya, serangan-serangan ini berpotensi mengalihkan perhatian publik dari kebijakan dan visi politik yang seharusnya menjadi fokus utama, dan justru mengarah pada penghinaan terhadap integritas pribadi politisi perempuan. 

Penyalahgunaan AI: Deep Fake yang Memecah Kepercayaan Publik

Salah satu bentuk penyalahgunaan AI yang semakin mengkhawatirkan adalah produksi konten deep fake, terutama yang menyasar politisi perempuan. Teknologi deep fake memungkinkan penciptaan video yang sangat realistis namun sepenuhnya palsu. Video-video ini sering digunakan untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan dan merusak reputasi politisi dengan menampilkan skandal seksual yang sepenuhnya rekayasa.

Di Taiwan, ditemukan video-video deep fake yang menyudutkan politisi perempuan dengan menampilkan mereka dalam konteks yang merendahkan atau memalukan, menjadi senjata bagi mereka yang berusaha merusak citra lawan politik. Ini menambah kesulitan bagi kandidat perempuan yang berusaha berkompetisi dalam arena politik yang sudah penuh tantangan. Hal ini perlu menjadi perhatian dan pembelajaran bagi penyelenggaraan Pemilu selanjutnya di tingkat internasional secara luas atau Pemilu di Indonesia khususnya.

Dalam beberapa kasus, politisi perempuan, di Taiwan, menjadi target video deep fake yang memperlihatkan mereka dalam situasi yang tidak pantas, seperti video skandal seksual yang sepenuhnya dimanipulasi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan menambah tantangan dalam upaya menjaga kesetaraan gender di dunia politik. Penyalahgunaan teknologi seperti ini tidak hanya merusak karier politisi perempuan, tetapi juga merusak proses demokrasi dengan menambah ketidakpercayaan terhadap informasi yang beredar.

Upaya Strategis Advokasi Penyebaran Konten Bermasalah di Pemilu

Menghadapi tantangan-tantangan ini, langkah advokasi yang strategis sangat diperlukan. Advokasi harus dilakukan pada dua ranah yang saling berkaitan. Pertama, advokasi terhadap platform sosial media yang menjadi tempat utama disinformasi berkembang. Kedua, advokasi kepada pemerintah untuk mendorong lahirnya regulasi yang lebih spesifik terkait dengan penggunaan AI dalam politik, lebih jauh regulasi terkait penggunaan teknologi dalam pemilu.

Dalam menghadapi tantangan ini, perlu adanya langkah-langkah strategis untuk mengatasi penyalahgunaan teknologi dan disinformasi yang berkembang pesat. Salah satu langkah advokasi yang bisa ditempuh adalah melalui kebijakan pada level regional yang mengatur platform media sosial. Advokasi pada tingkat regional bisa dilakukan dengan menghimpun berbagai permasalahan di negara-negara tetangga yang memiliki kesamaan pola gangguan informasi, ujaran kebencian, maupun penyalahgunaan AI, seperti di Indonesia, India, dan Pakistan. Advokasi ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan yang memaksa platform-platform tersebut untuk bertanggung jawab atas penyebaran disinformasi yang terjadi di platform mereka. Dengan konsolidasi pada tingkat regional, advokasi yang dilakukan bisa menambah kekuatan dan legitimasi untuk mencegah beredarnya konten bermasalah yang dapat merusak proses pemilu dan merusak reputasi politisi.

Pemerintah juga memiliki peran yang sangat penting dalam merespons penyalahgunaan teknologi ini. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah mendorong lahirnya regulasi yang mengatur penggunaan AI dalam konteks pemilu, konten bermasalah, maupun penggunaan teknologi pada Pemilu. Selain itu, regulasi tersebut juga harus memberikan ruang bagi kandidat politik untuk mengajukan permohonan investigasi terhadap konten deep fake atau informasi palsu yang menyerang mereka—baik secara langsung maupun yang berpotensi merusak reputasi mereka meskipun tidak secara eksplisit menyebut nama. Kebijakan ini bisa mengadopsi kebijakan yang telah diterapkan di Taiwan dalam memerangi manipulasi AI dalam Pemilu. Langkah ini akan memberikan perlindungan lebih kepada kandidat dari gangguan informasi yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.