Tetap digunakannya sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2019 cukup memastikan kedaulatan rakyat dalam menentukan wakilnya di lembaga legislatif. Namun, efek negatif yang mungkin timbul dari sistem itu tak cukup ditangkal dengan regulasi pemilu yang pekan lalu disetujui DPR untuk jadi UU.
Pada pemilu legislatif tahun 2014, saat sistem yang diterapkan juga proporsional terbuka, tidak sedikit calon anggota legislatif (caleg) mengeluhkan sikap partai politik (parpol) yang lebih memprioritaskan caleg bermodal banyak atau populer daripada kader partainya sendiri. Ada pula caleg yang mengeluhkan sengitnya pertarungan yang terjadi. Pertarungan tak hanya antarcaleg antarparpol, tetapi juga antarcaleg di satu parpol.
Sengitnya kompetisi ini membuat sebagian caleg terpancing untuk berkompetisi dengan berbagai cara. Sebagian dari mereka lalu memilih jalan pintas agar terpilih dengan menggelontorkan banyak uang kepada calon pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka.
Kondisi ini akhirnya membuat biaya politik makin mahal. Caleg untuk kursi DPR, misalnya, harus mengeluarkan sekitar Rp 3 miliar dalam Pemilu 2014 (Kompas, 18/7).
Mahalnya biaya politik ini terkadang menjerat caleg pada kasus korupsi saat sudah terpilih dan menjabat.
Efek-efek negatif ini bisa muncul karena dalam sistem pemilu terbuka, keterpilihan/kemenangan caleg ditentukan oleh banyaknya suara yang mereka peroleh. Keadaan ini juga membuat parpol cenderung memilih orang yang populer atau bermodal banyak untuk menjadi caleg sekalipun mereka bukan kader partai.
Melepas kesempatan
Saat membahas RUU Pemilu beberapa waktu lalu, DPR dan pemerintah sebetulnya punya kesempatan mencegah dampak negatif dari sistem proporsional terbuka itu terulang pada pemilu selanjutnya. Meski demikian, kesempatan itu tidak dioptimalkan.
Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu yang terdiri dari akademisi dan pemerhati pemilu dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, misalnya, pernah mengusulkan adanya aturan, untuk menjadi caleg, seseorang harus menjadi anggota parpol peserta pemilu minimal satu tahun.
Usulan lain, penetapan caleg harus melalui rapat pengurus parpol yang terbuka dan demokratis, tidak hanya rapat pengurus parpol tingkat pusat, tetapi juga pengurus provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, nama caleg diusulkan diajukan oleh pengurus parpol di daerah.
Kedua usulan ini setidaknya bisa meminimalkan lahirnya caleg yang semata mengandalkan popularitas dan uang serta terpinggirkannya kader parpol.
Sementara terkait pencegahan politik uang, aturan yang sudah baik dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah diusulkan diadopsi seluruhnya ke dalam RUU Pemilu.
Hal lain, batasan sumbangan perorangan ataupun korporasi kepada calon dikurangi besarannya. Jadi, caleg didorong kreatif dalam meyakinkan hati pemilih, tidak semata mengandalkan uang.
Namun, sebagian besar dari usulan itu tak tertampung dalam UU Pemilu yang telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU. Sebaliknya, UU itu justru makin membuka lebar pintu untuk semakin besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan caleg dengan memperbesar batasan sumbangan kampanye.
Selain itu, ancaman pidana kepada penerima politik uang yang ada dalam UU No 10/2016 tidak diadopsi dalam UU Pemilu. Padahal, adanya ancaman ini bisa membuat masyarakat takut dan mendorong mereka melaporkan politik uang yang terjadi.
Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, August Mellaz, yang menjadi bagian tim ahli pemerintah saat pembahasan RUU mengatakan, selama sembilan bulan pembahasan, pembahasan sistem pemilu memang tidak memperoleh porsi waktu yang memadai.
“Seandainya ada waktu cukup, setiap kubu bisa memaparkan keunggulan dari sistem yang diusungnya berikut cara menimimalkan kelemahannya. Sebab, sistem apa pun mengandung kelemahan. Namun, yang terjadi saat pembahasan RUU cenderung retoris,” ujarnya.
Menutup kelemahan
Ketika saat ini sistem proporsional terbuka telah disepakati sebagai sistem yang akan diterapkan dalam pemilu selanjutnya, kunci untuk menutup kelemahan dari sistem itu kini berada pada parpol peserta Pemilu 2019.
“Parpol ditantang melahirkan caleg melalui proses yang demokratis, transparan, dan partisipatif. Dengan demikian, akan lahir caleg berkualitas. Jika tidak, parpol yang rugi karena masyarakat tidak akan memilihnya. Politik uang pun bisa tumbuh subur karena caleg tak berkualitas cenderung meyakinkan pemilih dengan politik uang,” tutur mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay.
Proses yang demokratis dan transparan, antara lain, mensyaratkan adanya ukuran yang obyektif seseorang diusulkan menjadi caleg. Ukuran itu bukan karena dia populer atau bermodal banyak, melainkan lebih karena orang itu memiliki kapasitas dan integritas. Kemudian, proses rekrutmen hingga penetapan caleg harus transparan sehingga publik yakin dengan kualitas caleg yang diusung parpol.
Tak berhenti di sini, parpol juga perlu melibatkan publik atau setidaknya kader parpolnya untuk memberi masukan kepada orang-orang yang akan menjadi caleg. “Jadi, kalau ada masukan yang faktual dan terlewatkan oleh tim seleksi caleg, hal itu bisa mengoreksi caleg yang akan diusung,” kata Hadar.
Selain itu, parpol juga memegang kunci untuk mencegah adanya persaingan tidak sehat yang mungkin terjadi antarcaleg di satu parpol. Untuk itu, parpol dituntut membangun mekanisme kontrol atas para calegnya.
Di luar parpol, elemen lain, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga berkontribusi untuk mencegah terulangnya dampak negatif dari sistem proporsional terbuka dalam pemilu mendatang.
Untuk KPU, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan, selain pentingnya memperkuat sumber daya manusia, juga perlu dibangun sistem pengawasan internal. Hal itu untuk memastikan bahwa jajaran KPU hingga di level terbawah, di tempat pemungutan suara, tidak mudah tergiur politik uang untuk mengubah hasil penghitungan suara.
Transparansi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan juga harus terus didorong. Caranya, dengan membuat sistem agar semua orang bisa mengawasi penghitungan suara dan menutup setiap ruang yang hendak mencurangi hasil pemilu.
Sementara bagi Bawaslu, penting untuk membuat peraturan pelaksana dari undang-undang yang mudah diterapkan di lapangan oleh jajarannya, tidak justru menimbulkan kebingungan sehingga membuat politik uang sulit ditindak.
Terobosan lain dari Bawaslu pun dibutuhkan supaya potensi tumbuh suburnya politik uang dalam sistem terbuka bisa dicegah. Penting pula bagi Bawaslu untuk memperkuat sumber daya manusianya supaya mereka memiliki kapasitas dan integritas sehingga bisa optimal dalam mencegah ataupun menindak setiap pelanggaran politik uang yang mungkin terjadi.
Akhirnya, sekalipun kedaulatan rakyat dalam memilih wakilnya di legislatif tetap terjamin, hal itu belumlah cukup. Dibutuhkan kemauan kuat dari partai. Dibutuhkan kemauan kuat pula dari penyelenggara pemilu. Ini semua demi lahirnya legislatif yang betul-betul mewakili dan memperjuangkan rakyat, yang berkualitas, dan tentunya berintegritas.
(A PONCO ANGGORO/AGNES THEODORA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juli 2017, di halaman 5 dengan judul “Menangkal Efek Negatif Sistem Terbuka”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/07/29/Menangkal-Efek-Negatif-Sistem-Terbuka