August 8, 2024

Mencari Model Kampanye Ideal

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan masa kampanye mulai dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Dalam Peraturan (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018, kampanye berarti kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu. Model kampanye diharapkan bisa mendorong proses yang dialogis dan transparan. Pengertian kampanye menyertai bentuk wujud kampanye harus sesuai dengan komitmen penegakan hukum terhadap pelanggaran kampanye.

“Terbuka maksudnya ya transparan, termaksud juga soal penggunaan dana kampanye. Kemudian dialogis, atau kampanye dua arah dengan menukarkan gagasan para calon dengan masyarakat. Biasanya yang terjadi saat kampanye ya satu arah, masyarakat hanya mendengarkan saja. Sebetulnya, secara ideal harus ada dialog, misalnya, calon ini mempunyai gagasan apa, lalu mendapatkan masukan dari masyarakat kemudian mendiskusikannya,” ungkap Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati dalam diskusi “Demokrasi Gagasan vs Demokrasi Pengkultusan: Mencari Sistem Kampanye yang Ideal” (18/8).

Polarisasi kepesertaan pemilu presiden dan massa masih menjadi suatu hal yang perlu diwaspadai. Pemilu 2019 lalu, erat kaitannya dengan politik identitas. Khoirunnisa menekankan bahwa kampanye sebagai bagian dari pendidikan politik harusnya dilakukan secara jujur, terbuka, dan dialogis.

Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) tersebut, Khoirunnisa juga menyoroti soal dana kampanye. Ia menuturkan, dalam pemilu-pemilu sebelumnya mekanisme pelaporan dana kampanye terdiri dari tiga tahapan. Pertama, Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) yang berisi saldo awal dari peserta pemilu. Kemudian di tengah-tengah masa kampanye ada Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), meskipun belum mencangkup keseluruhan sumbangan selama masa kampanye, tapi publik bisa mengetahui besaran sumbangan dana kampanye dari mana saja. Yang terakhir, Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) yang bisa diketahui setelah pungut hitungnya selesai.

“Di draf peraturan KPU, itu ada usulan dari KPU untuk menghapuskan LPSDK. Sehingga laporan dana kampanye hanya ada dua jenis, di awal (LADK) dan di akhir (LPPDK). Sehingga sebagai pemilih kita tidak punya salah satu indikator penilaian dalam pemberi sumbangan semasa kampanye. Semoga KPU nggak jadi menghapus LPSDK, karena ini signifikan bagi pemilih,” tutur Khoirunnisa.

Khoirunnisa menambahkan, salah satu tantangan pada pemilu 2024 adalah singkatnya masa kampanye, yang hanya 75 hari. Yang kemudian menjadikan laporan dan aduan sulit untuk ditindak, dengan alasan belum masuk masa kampanye dan belum ada nama-nama resmi peserta pemilu, sementara kita tahu ruang-ruang kampanye itu sudah digunakan.

Lebih lanjut, minimnya regulasi kampanye di media sosial juga menjadi tantangan. Dalam undang-undang pemilu tidak ada aturan secara spesifik kampanye di media sosial, hanya disebutkan sebagai salah satu media kampanye.

“Yang bisa dilakukan adalah mendorong ekosistem digital yang lebih demokratis. Jadi bagaimana kita bisa memperkuat, mendeteksi dan menganalisis disinformasi itu,” jelasnya.

Selain itu, kata Khoirunnisa, kita juga bisa memperkuat konsolidasi masyarakat sipil, bersinergi bersama untuk melakukan pencegahan disinformasi pemilu, termaksud juga berelasi dengan akor lainnya, misalnya KPU, Bawaslu, Kominfo, termaksud juga platform media sosial untuk bisa berbagi peran dalam pencegahan disinformasi. Sehingga pemilih bisa kuat ketahanannya terhadap disinformasi pemilu.

Anggota KPU Sulawesi Selatan, Hasrudin Husaiin menilai, masalah disinformasi tidak cukup dengan sosialisasi dari KPU. Harus ada keterlibatan dari pihak-pihak lain yang terintergrasi dengan tahapan-tahapan yang berlangsung. Pelibatan masyarakat sipil menjadi sesuatu yang penting untuk membangun kesepahaman dan pengawasan bersama.

“Bersama dengan pemerintah provinsi, KPU Sulsel telah melakukan pertemuan untuk membahas terkait alat peraga kampanye yang hasilnya akan disampaikan kepada stakeholder lainnya,” ungkapnya.

Hasrudin menambahkan, meski PKPU NO.15 Tahun 2023 telah mengatur sosialisasi dan pendidikan politik di partai masing-masing sebelum masa kampanye. KPU pun melarang melakukan kampanye politik sebelum waktunya. Namun menurutnya, masalah-masalah mengenai kampanye masih saja terjadi, bahkan hampir di seluruh Indonesia.

“Jadi upaya mitigasi dilakukan oleh KPU bersama dengan Bawaslu Sulsel dalam wujud sosialisasi, monitoring dan penindakan secara massif,” jelas Hasrudin.

Dari sudut pandang penyelenggara, imbuh Hasrudin, terkait laporan dana kampanye dan penghapusan LPSDK juga masih menjadi dilema bagi KPU. Sejauh ini hampir semua partai politik tidak taat dalam proses pelaporan LPSDK.

“Sebagai upaya mitigasi, KPU menghimbau Parpol untuk mempersiapkan rekening khusus pengelolaan dana kampanye,” pungkas Hasrudin.

Peneliti dari Institute for Governance and Policy Analysis, The University of Canberra, Owen Main Podger mengungkapkan sejauh ini model kampanye yang dilakukan di Indonesia hanya menempatkan calon dan pemilih dalam posisi jual beli. Ia menganggap kampanye dengan spanduk adalah kampanye yang tidak berguna.

“Spanduk tidak mengajar apapun kepada rakyat. Calon dan partai tidak belajar apapun dari spanduk,” ungkap Owen.

Menurut Owen, seharusnya hal yang disampaikan dalam kampanye menjadi rujukan dalam rencana pembangunan daerah yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hingga Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah.

“Kampanye menjadi suatu yang penting untuk kemajuan suatu daerah. Untuk itu semua calon harusnya dapat lebih representatif dan mengabdi dengan sungguh-sungguh memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat,” imbuhnya.

Menurut Owen, Indonesia memiliki sistem demokrasi alami, yang dibuktikan dengan kesatuan dan keragamaanya. Dengan belajar dari sejarah bangsa sendiri dan konsen dalam rencana pembangunan berkelanjutan, akan dapat mengembangkan demokrasi kita.

“Melalui itu, mari jadikan Indonesia sebagai Negara Trendsetting, agar negara lain dapat belajar dari Indonesia,” tutur Owen. []