November 15, 2024

Mengapa Indonesia Butuh E-Rekapitulasi (Bukan E-Voting)?

Sebagai bangsa, kita harus bangga atas kemajuan kemampuan kita untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Kualitas Pemilu 2014 meningkat secara signifikan dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya,  khususnya  dengan  diterapkannya  sistem  pendaftaran  pemilu  baru  Indonesia: SIDALIH. Daftar pemilih Indonesia telah berubah dari daftar manual yang terdesentralisir dan berserakan menjadi basisdata terkomputerisasi, terpusat, dan dapat diakses oleh banyak pihak.

Akan tetapi, Pemilu 2014 belum berhasil menerapkan sistem hasil elektronik (biasanya disebut e- recapitulation atau e-rekap) yang resmi. Melalui e-rekap, hasil resmi yang transparan dan kredibel dapat  diperoleh  dalam  beberapa  hari  saja.  Dalam  Pemilu  2014,  metode  rekapitulasi  yang digunakan adalah metode rekapitulasi manual yang sudah digunakan sejak lama, sehingga kembali muncul kecurigaan dan tudingan terjadinya kecurangan.

Persaingan politik Pemilu 2014 sangatlah ketat. Margin kemenangan pemilu tersebut sangat tipis, khususnya di Pemilu Presiden. Banyak pemangku kepentingan kepemiluan seringkali mendorong KPU untuk menyediakan transparansi dan akuntabilitas. Merespon dorongan tersebut, KPU melaksanakan sebuah prakarsa yang luar biasa besar: pemindaian (scan) dan pengunggahan (upload)  formulir  C1  dari  500.000  TPS  agar  dapat  dilihat  oleh  seluruh  lapisan  masyarakat.

Unggahan hasil scan C1 ini mendorong munculnya prakarsa berbasis masyarakat, Kawal Pemilu, untuk melakukan crowdsourcing terhadap hasil pemilu tak resmi yang kelengkapannya mendekati 100 persen. Hasil scan C1 dan crowdsourcing-nya membantu memvalidasi hasil rekapitulasi resmi yang muncul kemudian. Gabungan dari hasil resmi, hasil scan C1, dan crowdsourcing oleh Kawal Pemilu sangatlah penting dalam meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa Pemilu 2014 menghasilkan hasil yang kredibel walaupun terdapat tuntutan serius dari yang kalah.

Masih terdapat banyak permasalahan dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Empat masalah utama yang kita hadapi adalah:
1. Pemilihan  umum  proporsional  dengan  daftar  calon  terbuka  yang  digunakan  dalam pemilihan umum anggota DPR dan DPRD merupakan sistem yang kompleks dan terdapat banyak pelanggaran pemilu;
2. Kalender pemilihan umum tidak mendukung pemerintah presidential dan pemerintahan daerah yang efektif;
3. Proses rekapitulasi hasil penghitungan suara masih melalui banyak tingkatan;
4. Masyarakat sebagai pemberi suara belum dapat menentukan pilihan secara cerdas.

Solusi terhadap permasalah tersebut niscaya bukan pada penggunaan elektronik dalam pemungutan dan/penghitungan suara. Permasalahan pemilihan umum yang kompleks dapat diselesaikan dengan mengubah sistem pemilihan umum DPR dan DPRD menjadi proposional divisior  Sainte-Lague.

Permasalahan mengenai  kalender  pemilihan  umum  dan  pencerdasan pemilih dapat diselesaikan dengan mengadakan pemilihan presiden dengan anggota DPR secara konkuren terpisah dari pemilihan kepala daerah dan DPRD. Sementara solusi untuk masalah ketiga adalah dengan menghapuskan dua tingkat rekapitulasi, tetapi penghitungan suara pada tingkat TPS harus tetap terbuka sebagaimana dijalankan selama ini.

Menuju Pemilu 2019, Indonesia harus terus meningkatkan manajemen hasil pemilu yang sudah dikembangkan berpijak pada pengalaman yang diperoleh selama ini. Indonesia harus terus melakukan upload hasil scan C1 dari tiap TPS sehingga masyarakat dapat melihat dan memeriksa hasil tersebut. Upload hasil scan C1 adalah contoh yang ditunjukkan Indonesia kepada negara lain di dunia terkait pemenuhan transparansi.

Kemudian, transparansi ini harus dikembangkan lebih jauh dengan mempercepat proses rekapitulasi hasil melalui penerapan sistem manajemen hasil elektronik: e-rekap. E-rekap adalah sistem di mana penghitungan, pengiriman, dan penayangan hasil pemilu resmi akan dikomputerisasi, aman, akurat, transparan, dan cepat. Hasil resmi yang kredibel dapat dihasilkan beberapa hari setelah pemilu, selayaknya di negara-negara lain yang demokrasinya sudah maju.

Terdapat argumen bahwa untuk meningkatkan penggunaan teknologi kepemiluan, kita juga harus menerapkan alat pemungutan suara elektronik (electronic voting machines, e-voting atau EVM) atau mesin penghitungan suara elektronik (e-counting) di TPS. Beberapa merespon pernyataan ini dengan menyatakan bahwa Indonesia belum siap untuk mengimplementasikan teknologi kepemiluan yang sedemikian dalam pemilu lima tahun ke depan.

Kendati demikian, seharusnya pembahasannya bukan tentang kesiapan. Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah penggunaan e-voting atau e-counting akan meningkatkan kualitas kepemiluan Indonesia secara mendasar. Saya yakin bahwa kedua teknologi tersebut tidak akan meningkatkan kualitas pemilu Indonesia. Alih-alih, kedua teknologi tersebut berisiko melemahkan peningkatan kualitas yang sudah kita capai sejauh ini.

Hari pemilu di Indonesia patut kita banggakan. Masyarakat berkumpul di TPS di lingkungan mereka untuk merayakan hak demokratis mereka. Mereka memberikan suara di dekat rumah bersama teman-teman, keluarga, dan tetangga. Hanya di Indonesia-lah penghitungan suara dimulai pada jam 1 siang melalui salah satu metode yang paling partisipatif dan transparan di dunia.

Tiap surat suara diperlihatkan dan dihitung saat hari masih terang benderang, di hadapan saksi partai, pengawas pemilu, pemantau, dan seluruh anggota masyarakat yang ingin menyaksikan. Ini adalah tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dan harus kita banggakan. Penghitungan surat suara yang transparan dan membangun kepercayaan di TPS adalah salah satu yang selalu disebutkan tamu internasional sebagai sesuatu yang mereka inginkan juga agar terjadi di negara mereka.

Mari bersama lihat lima faktor utama saat mempertimbangkan alat pemungutan suara dan penghitungan suara:
1. Menerapkan  e-voting  dan  e-counting  dapat  menghapus  rasa  kepemilikan  masyarakat terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara:
a) perasaan’ sebagai rakyat yang berdaulat diambil-alih oleh perangkat teknologi;
b) penggunaan  elektronik  niscaya  membawa  serta  efisiensi:  satu  TPS/satu  mesin  mampu melayani ribuan pemilih. Akibatnya banyak pemilih akan harus berjalan jauh ke TPS. Penggunaan elektronik ini akan bertentangan dengan upaya menciptakan adequade polling arrangement (pengaturan pemungutan suara yang nyaman dan aman);
c) penggunaan  elektronik  dalam  pemungutan  dan/atau  penghitungan  suara  secara  potensial tidak bersahabat pada pemilih yang difabel. Penggunaan elektronik dalam pemungutan dan/atau penghitungan suara menjadi tidak sejalan dengan upaya menjamin equitable polling arrangement (pengaturan pemberian suara yang memperhatikan kebutuhan khusus berbagai kelompok pemilih, menjamin Pemilu inklusif);
d) mengurangi partisipasi warga masyarakat dalam proses pemungutan dan penghitungan suara karena yang berpartisipasi hanya mereka yang menguasai perangkat elektronik tersebut (participation by expert).

Terdapat argumen bahwa e-voting atau e-counting dapat digunakan di pemilu-pemilu tingkat bawah dan bukan pemilu skala nasional, misalnya di beberapa pemilihan kepala daerah. Saya yakin bahwa implementasi parsial malah akan menambah kebingungan, celah tuduhan, sekaligus biaya dan tekanan yang lebih besar bagi KPU yang kemudian harus menangani dua metode pemungutan suara yang sangat berbeda. Ini bukanlah solusi yang baik

2. Kompleksitas dan kelemahan mesin pemungutan dan penghitungan suara dapat mengurangi kepercayaan sosial terhadap proses kepemiluan kita.

Salah satu aspek fundamental yang membuat masyarakat Indonesia percaya terhadap proses pemilu kita adalah kemampuan masyarakat untuk melihat dan memahami proses dan hasil pemilu di tingkat TPS. E-voting dan e-counting adalah teknologi kompleks yang mungkin sulit digunakan dan dipahami, sehingga juga sulit untuk mendapatkan kepercayaan.

Dengan hampir setiap hari mendengar berita mengenai peretasan (hacking) dan manipulasi sistem komputer, teknologi pemungutan ataupun penghitungan suara tidak membangun kepercayaan dan malah berpotensi meningkatkan kecurigaan. Manipulasi alat tersebut, ataupun munculnya persepsi bahwa alat tersebut dimanipulasi, dapat menghancurkan pemilu di masa depan dan mungkin stabilitas politik di Indonesia.

3. Menerapkan mesin pemungutan atau penghitungan suara bukanlah tanda bahwa Indonesia lebih modern atau menjadi lebih maju.

Implementasi e-voting atau e-counting tidak membuat pemilu kita lebih “maju”. Kita sebaiknya belajar dari pengalaman dan kegagalan negara-negara lain. Hanya beberapa demokrasi di dunia yang masih menerapkan alat tersebut sementara sebagian besar telah kembali ke penggunaan surat suara kertas dan penghitungan manual. Tidak ada tren internasional terkait meningkatnya penggunaan alat kepemiluan yang kemudian harus diikuti oleh Indonesia.

Pada kenyataannya, banyak negara-negara yang high-tech, kaya, dan sudah lebih lama usianya telah pada akhirnya menghentikan penggunaan mesin-mesin tersebut dan kembali ke sistem kertas; beberapa negara lainnya mempertimbangkan penggunaan mesin tersebut dan kemudian memutuskan untuk tidak menggunakannya. Alasannya banyak, namun utamanya adalah untuk mencegah manipulasi dan kurangnya pemahaman/kepercayaan publik.

4. E-voting dan e-counting dapat meningkatkan biaya pemilu

Beberapa berargumen bahwa e-voting dan e-counting akan secara signifikan mengurangi biaya pemilu dibandingkan penggunaan surat suara kertas dan penghitungan manual saat ini. Ini seringkali dinyatakan sebagai nilai plus oleh produsen atau  vendor mesin-mesin tersebut saat melakukan promosi secara agresif. Saya belum melihat bukti bahwa penggunaan mesin tersebut akan memungkinkan menurunan biaya pemilu.

Jika vendor menyatakan bahwa penggunaan mesin tersebut akan mengurangi biaya pemilu, pengalaman menunjukkan bahwa biaya untuk mengelola mesin tersebut secara mandiri justru berkali-lipat lebih tinggi daripada biaya pembelian mesin itu sendiri. Menghitung biaya mesin harus mencakup biaya pelatihan staf, pendidikan pemilih, pengelolaan, dan penyimpanan.

Yang juga dapat meningkatkan biaya beberapa kali lipat adalah fakta  bahwa  teknologi  berevolusi  semakin  cepat.  Mesin  yang  dibeli  hari  ini  dapat  kemudian menjadi usang dan harus diremajakan hanya dalam beberapa siklus pemilu. Sehingga, umur teknologi kepemiluan saat ini bisa saja sangatlah singkat.

5. Dukungan  politik  akan  berkurang  seiring  waktu  saat  peserta  pemilu  yang  kalah  mulai menyalahkan teknologi tersebut.

Saat banyak politisi dari berbagai parpol mendorong penggunaan teknologi kepemiluan saat ini, pengalaman menunjukkan bahwa dukungan tersebut tidak akan bertahan lama. Ketika diterapkan dan digunakan di pemilu, kegagalan teknologi sering menjadi alasan favorit para politisi untuk menjelaskan kekalahan mereka.

Mereka yang sebelumnya mendukung penerapannya akan kemudian berbalik dan menyerang KPU terkait penggunaan teknologi yang salah, pengadaan yang mencurigakan,  implementasi  yang  buruk,  manipulasi  hasil,  dsb.  Alat  tersebut,  yang  awalnya terlihat sebagai harapan, malah akan menjadi mimpi buruk. Dukungan politik penggunaan pemilu elektronik seringkali lemah dan didorong oleh kepentingan jangka pendek para politisi.

Lima alasan tersebut adalah lima alasan utama untuk tetap menggunakan sistem surat suara kertas  di Indonesia.   Seperti   dinyatakan   di   awal   presentasi,   saya   sangat   yakin   bahwa pengembangan teknologi kepemiluan Indonesia harus difokuskan pada pengembangan e-rekap, sistem manajemen hasil pemilu elektronik yang menghasilkan hasil resmi secara cepat, kredibel, dan transparan.

Inilah yang kita butuhkan untuk pemilukada dan pemilu nasional 2019. Ini adalah pengembangan  teknologi  skala  besar  yang  efektif  dari  segi  biaya  dan  dapat  dilakukan  untuk pemilu kita.

Pada   akhirnya,   apa   yang   saya   sampaikan   bukanlah   satu-satunya   hal   yang   menjadi pertimbangan dalam hal ini. Mari berikan ruang bagi KPU untuk melaksanakan uji kelayakan sebagaimana telah direncanakan. Beberapa pertanyaan yang sepatutnya di dalami sebelum menerapkan e-voting atau e-counting adalah:

a) Apakah E-Voting Rentan terhadap Serangan Hacker?
b) Apakah E-Voting Ramah bagi Pemilih yang Difabel?
c) Apakah E-Voting Memberikan Kesempatan bagi Pemilih untuk memverifikasi Paper Audit Traits?
d) Apakah E-Voting Mampu secara Akurat mengakomodasi Intensi Pemilih?
e) Apakah  betul  manufaktur  mesin  E-Voting  Terikat  pada  Partai  Politik  tertentu,  atau, Kandidat berasal dari Partai Politik tertentu?
f) Apakah E-Voting dapat mengamankan suara secara aman?
g) Apakah betul Software machine E-Voting dapat diprogram untuk mengubah hasil Pemilu?
h) Apakah   E-Voting   memiliki   prosedur   yang   memadai   untuk   melindungi   diri   dari kemungkinan Serangan Pisik terhadap mesin voting elektronik?
i) Apakah mesin voting elektronik lebih rentan terhadap Election Fraud daripada tipe mesin voting lainnya?

Mari jaga agar uji kelayakan ini bersifat transparan dan inklusif, mempertimbangkan seluruh pemangku kepentingan yang tertarik agar kesimpulan yang dicapai dapat disepakati dan dimiliki oleh bersama. Sebagai bangsa, mari bermusyawarah dan pertimbangkan pilihan-pilihan yang kita miliki. Mari sama-sama menentukan solusi yang betul-betul sesuai dengan pemilu kita. []

RAMLAN SURBAKTI
Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga
*Makalah ini disampaikan dalam “Diskusi Pengalaman Internasional dalam Teknologi Kepemiluan”, Hotel Morrissey, Jakarta Pusat, 5 Februari 2015