August 8, 2024

Menguji Partisipasi Pemilih di Pilkada 2020

Partisipasi pemilih menjadi tantangan dalam pelaksanaan Pilkada 2020 di 270 daerah pada 9 Desember mendatang. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) 21 September 2020, Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu menyepakati pemungutan suara pilkada tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Salah satu poin kesepakatan dalam RDP tersebut adalah mengantisipasi penyebaran pandemi Covid-19 dan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan dengan merevisi PKPU No.10/2020.

Dalam Pilkada 2020 ini, salah satu tahapan terpenting adalah pemungutan suara atau coblosan. Pada tahapan inilah, masyarakat akan diberi kedaulatan secara penuh, untuk menentukan dan memilih calon kepala daerah sebagai perwujudan dari demokrasi, serta sebagai bentuk dari partisipasi masyarakat.

Komisi Pemilihan Umum sendiri memiliki tugas yang tidak ringan, yaitu mewujudkan target partisipasi sebesar 77,5 persen. KPU harus terus mendorong masyarakat, untuk selalu berpartisipasi dalam pilkada, agar apa yang diklasifikasikan dalam budaya politik atau partisipasi politik ala Gabriel Almond, bisa mencapai klasifikasi budaya politik partisipan. Budaya partisipan ini ditandai dengan kesadaran politik masyarakat yang sangat tinggi.

Tidak hanya sekadar menggunakan hak pilih pada hari pemutungan suara, tetapi betul-betul terlibat dalam seluruh tahapan pemilu. Misalnya, terlibat aktif dalam proses penyusunan daftar pemilih, saat dilakukan coklit, ketika tahapan pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS), mereka ngecek namanya, sudah tercantumkah sebagai pemilih atau belum?

Di setiap tahapan, masyarakat terlibat, bahkan juga melakukan sosialisasi dan melakukan pendidikan pemilih, seperti yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Perilaku inilah yang menurut Almond sebagai perilaku dalam budaya politik partisipan.

Selain faktor keamanan, selama ini salah satu faktor utama pemilih mau ke TPS adalah ketertarikan pada kandidat. Ketertarikan itu muncul setelah calon pemilih menghadiri sosialisasi atau kampanye langsung yang dilakukan oleh kandidat. Sedangkan, di tengah pandemi pertemuan semacam itu tak bisa dilakukan secara maksimal. Rencana KPU untuk membuat kampanye secara daring demi menghindari kontak fisik, tak akan bisa sepenuhnya mengembalikan euphoria kampanye langsung atau tatap muka. Terlebih tak semua daerah memiliki akses internet sama dan akan menjadi kendala dalam pelaksanaannya. Dengan begitu, visi-misi kandidat tak akan bisa sepenuhnya tersampaikan. Sehingga, pengetahuan pemilih terhadap kandidat berkurang dan turut berpeluang mengurangi minat datang ke TPS.

Oleh karena itu, KPU dan pemerintah sebagai penyelenggara mesti segera merampungkan protokol kesehatan untuk Pilkada 2020 dan melakukan sosialisasi yang lebih massif. Jika dua hal itu tak dilakukan dalam waktu dekat, maka partisipasi pemilih akan jauh dari pilkada di masa normal.

Strategi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih

Target tingkat partisipasi pemilih yang digariskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mungkin dianggap berlebihan. Pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah masa pandemi belum reda sampai saat ini. Bahkan, tiap hari grafiknya terus merangkak naik dan bertambah jumlahnya. Tentu ini menjadi tantangan besar buat KPU dan jajaran penyelenggara di bawah. KPU juga harus mengutamakan aspek kesehatan dan keselamatan bagi semua pihak, mulai dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih.

Harus ada upaya dan langkah yang meski ditempuh, untuk mewujudkan target partisipasi. Pertama, menggenjot pelaksanaan pendidikan pemilih dan sosialisasi pilkada kepada masyarakat. Saat pandemi ini tidak ada alasan untuk tidak melalukan sosialisasi dan melakukan pendidikan pemilih kepada masyarakat. Pendidikan pada pemilih itu justru harus digencarkan, tentu dengan media online, media sosial, facebook, twitter, WA, Instagram, zoom dan media lainnya, dengan sistem daring. Tentu kesiapan penggunaaan teknologi digital sangat penting, dan membuat komunitas atau kelompok-kelompok pemilih serta membentuk agent of democracy, dan merekrut relawan demokrasi sebanyak mungkin.

Kedua, konten dari sosialisasi dan pendidikan pemilih ini harus diperhatikan. Tidak hanya memperkenalkan tanggal pelaksanaan pilkada saja, tetapi juga menyampaikan materi seluruh tahapan, keterlibatan masyarakat dalam penyususunan daftar pemilih, tentang calon, misi, visi calon, program calon, makna demokrasi, melawan politik uang, dan memahami perbedaan. Masyarakat juga penting memahami konsekuensi dari demokrasi, bahwa dalam kompetisi pemilihan itu, ada yang kalah dan ada yang menang.

Ketiga, membuat program dan jadwal sosialisasi dan pendidikan pemilih pada Pilkada 2020, agar tidak salah sasaran. Pilkada 2020 ini berbeda dengan Pilkada sebelumnya. Maka program dan jadwal dari sosialisasi dan pendidikan pemilih dalam pandemic harus ada terobosan baru dalam hal metode sosialisasi.

Volumenya pun juga harus diatur sedemikan rupa, agar kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih terprogram dan terarah. Ini dilakukan untuk menghindari penumpukan kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih pada tahapan tertentu, tidak hanya jelang pemungatan suara saja.

Sesuai PKPU 5/2020 tentang Tahapan Pilkada, bahwa tahapan sosialisasi kepada masyarakat dimulai sejak tanggal 1 November 2019, sampai dengan satu hari menjelang pemungutan suara, atau sampai dengan tanggal 8 Desember 2020. Sehingga KPU memiliki waktu yang cukup panjang, untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih.

Inilah kesempatan yang tepat dan harus dipergunakan untuk melakukan pendidikan pemilih dan sosialisasi. KPU tentu perlu melibatkan banyak elemen masyarakat termasuk dengan para netizen.

Selain itu, memastikan pelaksanaan seluruh tahapan pilkada berjalan dengan baik. Tak ada lagi kendala teknis yang muncul, serta menginformasikan bahwa pelaksanaan seluruh tahapan pilkada sesuai dengan protokol kesehatan. Penyelenggara juga harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan untuk seluruh peserta pemilu. Sehingga pelaksanakan pilkada dengan protokol kesehatan harus benar-benar dilaksanakan.

Penerapan protokol kesehatan tidak hanya pada saat pemungutan suara di TPS saja, melainkan juga dengan cara mengurangi jumlah pemilih dalam TPS, yang semula 800 menjadi maksimal 500. Penyelenggara juga harus menyediakan tempat cuci tangan, hand sanitizer, penggunaan sarung tangan dan alat pelindung diri untuk para penyelenggara, tempat duduk yang berjarak dan menggunakan masker. Juga pengaturan jadwal kehadiran para pemilih, untuk menghindari kerumunan. Hal ini pastinya akan menambah keyakinan pemilih untuk datang ke TPS.

Sekali lagi, kehadiran, kesadaran dan komitmen serta partisipasi masyarakat yang daerahnya melaksanakan Pilkada 2020 ini, akan benar-benar diuji. Kehadiran mereka di TPS semata-mata untuk menyatakan hak politiknya, dan hak untuk memilih tanpa tekanan atau iming-iming memperoleh imbalan uang atau materi lainnya. Hal ini merupakan salah satu bagian dari mewujudkan demokrasi.

Mewujudkan ruh demokrasi lokal melalui pilkada serta melaksanakan seluruh tahapan dengan protokol kesehatan, adalah dua hal yang sama-sama penting. Pelaksanaan demokrasi tak boleh berhenti dan terhenti karena suatu hal, tetapi pelaksanaan hajatan demokrasi lokal ini harus tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan. []

SAPARUDDIN

Panitia Pemilihan Kecamatan Rao Utara Kabupaten Pasaman