Pada tanggal 9 Desember tahun 2020 mendatang, Indonesia akan melaksanakan agenda pemilihan kepala daerah serentak yang akan dihelat di 270 daerah. Ini merupakan agenda pemilu besar sesudah Pemilu dan Pilpres 2019 lalu dan juga yang paling beresiko, karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Meski ini bukan pelaksanaan pilkada yang pertama, tetapi sama seperti pemilihan umum sebelumnya, kita masih menghadapi persoalan klasik seputar data pemilih.
Data pemilih merupakan satu dari sepuluh kriteria keberlangsungan pemilu (Indonesia’s 2009 election: Performmance Challenges and Negative Precedent). Keakuratan data sangat menentukan dalam tahapan penyelenggaraan pemilu, sejak tahapan pemutakhiran hingga penghitungan suara. Dua dari tujuan terpenting dari penyelenggaraan pemilihan terkait dengan pendataan pemilih, yaitu untuk mendaftarkan kembali warga negara yang memenuhi syarat dan untuk menghitung suara secara tidak memihak, efisien, dan akurat. (Cain, Mac Donald, and Murakami 2008). Salah satu variabel pendukung terlaksananya pemilu yang jujur dan adil adalah tersedianya data pemilih yang akurat dan mutakhir. Meskipun demikian persoalan data pemilih masih menjadi problem pada setiap perhelatan pemilu, baik nasional maupun lokal.
Tiga masalah krusial
Pendataan pemilih menetapkan kelayakan individu untuk memilih. Sebagai salah satu aspek proses pemilihan yang lebih mahal, memakan waktu, dan kompleks, seringkali hal itu menyumbang sebagian besar dari anggaran, waktu staf, dan sumber daya dari otoritas manajemen pemilu. Jika dilakukan dengan baik, pendaftaran pemilih memberikan legitimasi pada proses tersebut. Seluruh proses pemilihan dapat dianggap sebagai tidak sah jika sistem pendataan pemilih juga cacat.
Pendataan pemilih juga merupakan aspek yang paling sentral dan paling mahal dari proses pemilihan. Tugas mendaftarkan pemilih dan membuat daftar pemilih sering kali menguras lebih dari 50 persen dari keseluruhan biaya penyelenggaraan pemilu. Berbagai faktor memengaruhi biaya ini, termasuk jenis sistem yang digunakan untuk mendaftarkan pemilih, kapasitas administratif otoritas manajemen pemilu, dan karakteristik sosial, ekonomi, dan demografis.
Beberapa masalah terutama terkait penyediaan data pemilih, terutama pencocokan dengan data kependudukan. Data ini terutama diperlukan untuk mengalokasikan kursi DPR dan DPRD, serta sebagai syarat untuk menentukan syarat dukungan perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Sementara itu, data pemilih juga penting untuk menghitung jumlah logistik pemilu hingga menetapkan jumlah tempat pemungutan suara, yang pada akhirnya berujung pada pengalokasian anggaran.
Setidaknya ada 3 persoalan terkait data pemilih; pertama dari segi sumber data, kedua dalam hal pemutakhiran data dan ketiga, terkait hasil akhir berupa daftar pemilih tetap (DPT) yang nantinya akan dijadikan rujukan berapa besar jumlah pemilih yang akan ikut dalam pilkada 2020.
Terkait sumber data, dalam pelaksanaan Pilkada 2020 KPU menggunakan data pemilu 2019 sebagai dasar dalam pemutakhiran data pemilih, yang telah diserahkan dalam bentuk DP4 kepada KPU sebagai dasar penetapan daftar pemilih untuk pilkada 2020. Data yang diperoleh KPU sebagai penyelenggara berasal dari Kemendagri atau Dinas Pencatatan Sipil daerah. Sumber data ini akan menjadi masalah, karena jumlah pemilih terus bertambah setiap saat. Sehingga proses pemutakhiran perlu dilakukan secara berkala untuk mengantisipasi data ganda, pindah memilih, pemilih baru ataupun pemilih yang berasalah dari luar daerah. Selain itu, pemutakhiran data dari capil sering terkendala serta tidak ada data akurat dari pihak terkait.
Masalah kedua terkait pemutakhiran data. Hal ini sering disebabkan persoalan teknis pada petugas yang mendata pemilih. Beberapa masalah yang sering muncul misalnya, Pada saat coklit, pantarlih terlewatkan karena tidak ada orang di rumah (misalnya, karena profesi petani dan nelayan), atau Saat pemutakhiran, ada nama tempat lahir yang sama sehingga petugas pps menghapus salah satunya dengan alasan ganda tetapi sudah tidak meneliti dengan cermat.
Persoalan ketiga berkaitan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT), hasil akhir yang sering menjadi biang permasalahan dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Pemilih ganda, pemilih tambahan hingga pemilih yang tidak terdaftar menjadi permsalahan yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu.
Bawaslu masih menemukan 2,9 juta data pemilih ganda dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. Temuan itu merupakan hasil analisis di 492 kabupaten/kota di Indonesia, dari total 514 kabupaten/kota. Dari 176.988.126 orang pemilih (492 kabupaten/kota), ada ditemukan kegandaan yang berdasar tiga elemen, yakni: Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, dan tanggal lahir, itu di 2.905.116 pemilih. Jumlah itu meningkat dari analisis Bawaslu sebelumnya, yang menemukan adanya 1 juta data pemilih ganda. Namun demikian, angka tersebut merupakan hasil pencermatan Bawaslu terhadap 285 kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Menurut Bawaslu, salah satu persoalah DPT disebabkan karena pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pemilu yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak maksimal. Hasil kajian yang pernah dilakukan Bawaslu menemukan dari 10 rumah yang didatangi langsung petugas coklit KPU, terdapat 1 hingga 2 rumah yang tak didatangi.
Pada pemilu 2019 misalnya, KPU mencoret 370 data WNA yang masuk dalam DPT Pemilu 2019. 370 WNA ini tersebar di 19 provinsi di Indonesia. Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Bali menjadi tiga provinsi tertinggi dengan data WNA pemilik e-KTP yang masuk DPT. Jumlah ini merupakan akumulasi dari temuan KPU, Bawaslu dan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Mengurai benang kusut
Semua masalah di atas bermuara pada satu persoalan tunggal, yaitu tidak terintegrasinya data kependudukan kita. Sehingga, terjadi ketimpangan dan kekeliruan data antara dukcapil sebagai sumber data induk, KPU sebagai penyelenggara yang mengambil data DP4 dari kemendagri serta instansi lain seperti BPS misalnya, yang juga memiliki data kependudukan.
Pendataan pemilih adalah pintu gerbang untuk berpartisipasi dalam demokrasi kita, tetapi sistem kuno berbasis kertas (paper based system) ini terganggu dengan kesalahan tenaga dilapangan (petugas coklit) dan persoalan efisiensi. Masalah-masalah ini memboroskan anggaran untuk pemilu, merusak kepercayaan terhadap pemilih dan memicu perselisihan partisan atas integritas pilkada kita. Setidaknya ada solusi untuk menyelesaikan masalah pendaftaran pemilih: pendataan pemilih online dan pencocokan daftar pemilih/penduduk antar Lembaga dengan membuat satu sistem pendaataan tunggal.
Pendataan pemilih secara daring mengharuskan sebuah sistem kependudukan yang terintegrasi, dimana data dari Kemendagri, KPU, BPS dan Lembaga negara lainnya mengakses dan melakukan pembaharuan data kependudukan yang sama. Sehingga Ketika terjadi perubahan data, misalnya penduduk yang berusia 17 tahun, penduduk yang telah meninggal, bisa langsung di input dalam sistem pendataan tersebut, dan secara otomatis semua data yang ada pada penyelenggara pemilih. Ini juga memungkinkan pemerintah maupun penyelenggara menggunakan sistem identitas tunggal penduduk, yang nanti dijadikan dasar bagi penetapan data pemilih.
Selama ini, salah satu persoalan pendataan dan pemutakhiran data pemilih terkendala perbedaan data antara DP4 dan DPT KPU. Oleh sebab itu, sistem integrasi data penduduk dan data pemilih ini diharapkan dapat meminimalisir persoalan data pemilih. Dengan membangun sebuah sistem data tunggal yang terintegrasi, KPU dapat menekan angka kesalahan di lapangan saat pencocokan data pemilih, karena data penduduk dapat diperbaharui setiap saat. Ini juga menuntut kinerja dari dinas pendudukan dan catatan sipil untuk melakukan pembaharuan data penduduk secara real time. Strategi ini memiliki banyak keuntungan; efisiensi biaya untuk pendataan pemiilh yang dilakukan beberapa bulan menjelang pemilu serta mengurangi potensi kesalahan dalam data pemilih.
Solusi ini menyisakan pertanyaan; apakah Lembaga negara seperti Kemandagri, KPU atau pun BPS mau bersepakat untuk membangun sistem yang menyediakan satu sumber data penduduk yang tunggal, yang memungkinkan setiap Lembaga negara melakukan pembaharuan dan sinkronisasi data penduduk. Yang kedua, sistem ini harus dibangun dengan biaya yang mahal pada awalnya. Meski demikian, biaya membangun sistem data tunggal berbasis teknologi ini tidak murah, tetap hal ini dapat memperbaiki kualitas pemilu kita di masa mendatang terutama terkait persoalan data pemilih.
Terlepas dari semua persoalan di atas, data pemilih merupakan sumber persoalan dalam setiap pemilu, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh Indonesia. oleh sebab itu, kualitas pemilu harus ditingkatkan dengan terlebih dahulu membereskan persoalan data pemilih. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan kita akan memasuki era pemilu yang lebih berkualitas dengan data pemilih yang lebih terintegrasi dan lebih valid. []
MUHAMMAD IQBAL SUMA
Tenaga Ahli KPU Provinsi Sulawesi Utara