August 8, 2024

Mengurai Ketidakjelasan Laporan Awal Dana Kampanye

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) melalui Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka). Melalui laporan tersebut, besaran dana awal masing-masing pasangan capres-cawapres dapat diketahui.

Bentuk dana kampanye yang tercatat dalam LADK meliputi uang, barang, dan jasa yang berasal dari pasangan calon, partai politik atau gabungan partai pengusung, perseorangan, kelompok, serta perusahaan dan badan usaha nonpemerintah. Namun Sikadeka masih dinilai tidak menampilkan laporan dana kampanye secara transparan, karena hanya memuat sumber, jumlah penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, dan tidak menampilkan waktu dan identitas pihak pemberi sumbangan.

Berdasarkan laporan LADK di website Sikadeka, Anies-Muhaimin tercatat memiliki dana awal kampanye paling kecil, sebesar Rp 1 miliar. Sementara pasangan Prabowo-Gibran tercatat memiliki dana awal kampanye paling besar, dengan jumlah total mencapai Rp 31.438.800.000, besaran itu berasal dari paslon sebanyak Rp 2 miliar, partai politik atau koalisi pengusung sebesar Rp 600 juta dalam bentuk barang, dan Rp 28,8 miliar dalam bentuk jasa.

Sementara jumlah total dana awal Ganjar-Mahfud sebanyak Rp 23.375.920.999, jumlah itu berasal dari paslon sebanyak Rp 100 juta, partai politik atau gabungan partai sebesar Rp 2,9 miliar, sumbangan dari pihak lain nonpemerintah sebanyak Rp 20,3 miliar, dan perseorangan sebesar 1,6 juta.

Namun, berdasarkan penelusuran Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) ketiga pasangan capres-cawapres diduga belum melaporkan iklan kampanye di media sosial kepada KPU. Padahal desain pelaporan Sikadeka memungkinkan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye diperbarui setiap saat.

Pada rentan waktu 16 November-15 Desember 2023, Perludem dan ICW melakukan penelusuran iklan kampanye di platform media sosial Meta. Penelusuran dengan fitur Ad library dari Meta itu menggunakan kata kunci nama pasangan capres-cawapres yang kemudian menampilkan konten iklan dan besaran biaya yang dikeluarkan oleh pengiklan.

Dalam acara rilis temuan Perludem dan ICW dengan tajuk “(Masih) Basa-Basi Dana Kampanye”, Kahfi Adlan Hafiz, Peneliti Perludem memaparkan iklan kampanye di media sosial Meta pasangan Anies-Muhaimin selama sebulan mencapai 444 juta. Jumlah itu diiklankan oleh 15 akun yang diduga akun pendukung atau simpatisan pasangan calon (paslon) nomor urut 1.

Paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran menghabiskan biaya iklan kampanye sosial media mencapai 778 juta. Iklan tersebut diduga dibayarkan oleh 33 akun pendukung Prabowo-Gibran dengan menggunakan nama-nama yang identik dengan paslon nomor urut 2.

Sementara iklan kampanye di media sosial untuk pasangan Ganjar-Mahfud selama sebulan mencapai Rp 829 juta. Iklan tersebut dibuat oleh 87 akun yang diduga merupakan akun pendukung dan simpatisan Ganjar-Mahfud.

“Iklan kampanye di medsos itu seharusnya dilaporkan sebagai sumbangan pihak ketiga. Sebab, akun pengiklan diduga bukan akun resmi dari pasangan capres-cawapres. Sumbangan itu mestinya dicatatkan sebagai sumbangan dalam bentuk barang atau jasa,” kata Kahfi, (20/12).

Lebih lanjut, Kahfi menyebut penggunaan iklan kampanye di media harus diawasi secara ketat oleh penyelenggara pemilu, khususnya Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu). Keberadaan tools ad library Meta dan platform media sosial lain yang dapat diakses publik perlu dimanfaatkan oleh Bawaslu untuk memantau dan menjadi data pembanding laporan pengeluaran dana kampanye.

Ia juga menegaskan, Bawaslu perlu menelusuri lebih lanjut kebenaran laporan LADK yang disampaikan oleh ketiga pasangan capres-cawapres mengenai sumber pendanaan kampanye politik. Hal itu dipandang penting agar pelaporan LADK tak bersifat formalitas administratif belaka.

“karena bukan hanya iklan kampanye di medsos, tetapi baliho-baliho sangat besar yang menghiasi kota, tapi itu tidak terlihat di dalam LADK,” ujarnya.

Sementara itu, Heroik Pratama Peneliti Perludem menjelaskan, dalam UU 7/2017 (UU Pemilu), sudah secara khusus mengatur kewajiban partai politik peserta Pemilu, pasangan capres-cawapres, beserta calon anggota DPR, DPRD, dan DPD untuk melaporkan dana kampanye meliputi penerimaan maupun pengeluaran. Namun ia masih menyangsikan kebenaran besaran biaya dana kampanye, jika dalam LADK tidak mencantumkan identitas penyumbang dan laporan secara berkala.

Terlebih, lanjutnya, pada 14 Desember lalu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) menyampaikan adanya temuan transaksi janggal mencapai triliunan pada masa kampanye. Temuan itu mengindikasikan adanya dugaan aliran dana kampanye berasal dari tambang ilegal dan pencucian uang hasil tindak pidana lainnya.

“Untuk itu validitas informasi yang disajikan dalam LADK tentu menjadi sangat penting. Karena transparansi dan akuntabilitas menjadi tonggak penting dalam meminimalisir korupsi dan memperkuat pengawasan publik,” kata Heroik.

Heroik juga menerangkan, waktu penyampaian laporan dana kampanye tidak boleh melebihi batas yang diatur dan ditetapkan dalam UU Pemilu. Dalam aturan tersebut LADK dan Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) paslon capres-cawapres dilaporkan 14 hari setelah ditetapkan sebagai paslon. Sementara untuk partai peserta Pemilu, calon anggota DPR, DPRD, dan DPD melaporkan dana awal kampanye 14 hari sebelum kampanye dimulai.

Kemudian, sambung Heroik, Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) disampaikan oleh KPU untuk diaudit kantor akuntan publik paling lama 15 hari setelah pemungutan suara. Aturan-aturan itu menurutnya bertujuan untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu.

“Faktanya sebelum ditetapkan paslon sudah melakukan kampanye melalui banyak pengiklanan, yang harusnya itu juga tercermin apakah sumber pendanaannya berasal dari kantong pribadi pasangan paslon, partai pendukung atau dari pihak lain,” imbuhnya.

Lebih lanjut, jelasnya, sesuai Pasal 339 UU Pemilu, peserta pemilu dan tim kampanye dilarang memperoleh sumbangan dana kampanye dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, hasil tindak pidana, semua unsur pemerintah, serta pemerintah desa. Larangan itu berdasarkan Pasal 330 UU Pemilu dapat berakibat pada pemberian sanksi diskualifikasi dan tidak ditetapkan sebagai calon terpilih jika memenangkan Pemilu.  

“Jadi seharusnya tercatatkan dengan baik di laporan awal dana kampanye. Publikasi dana kampanye penting untuk memberi penjelasan lebih detail, apakah Sikadeka ini data bergerak secara real time, sehingga tidak ambigu dan tidak ada perbedaan data. Kita harus lihat detailnya, identitas penyumbang juga harusnya dibuka untuk publik,” jelas Heroik.

Sementara itu Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha, mengatakan informasi dana kampanye merupakan hak public yang wajib disediakan, untuk itu informasi jelas yang mencerminkan penerimaan dan pengeluaran sebenarnya harus dilaporkan. Hal ini dipandang penting untuk menilai konflik kepentingan dan meminimalisir potensi terjadinya tindak korupsi.

“Korupsi politik itu tidak hanya terjadi ketika kandidat menjabat saja, hal itu bisa terjadi sebelum berkontestasi dalam Pemilu, misalnya melalui politik transaksional yang sudah marak terjadi,” terang Egi.

Selain itu, ia menilai mahalnya biaya politik juga memberi ruang bagi masuknya dana ilegal untuk kampanye. Egi menilai Bawaslu perlu segera menindaklanjuti temuan PPATK mengenai transaksi mencurigakan yang masuk untuk kepentigan kampanye.

“Jadi penegak hukum, termasuk KPU dan Bawaslu harus menganggap transparansi dana kampanye sebagai hal yang serius,” pungkasnya.