Think Policy melalui Bijakmemilih.id bekerjasama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mempunyai Rekamjejak.net. Kedua platform ini memuat bermacam informasi, seperti riwayat korupsi, yang penting dijadikan pertimbangan pemilih di Pemilu 2024.
Bijakmemilih.id menyediakan pendidikan politik dengan bahasa yang ringan. Bijak Memilih adalah sebuah gerakan independent berbasis digital yang menyuguhkan alternatif ruang informasi politik yang berkualitas agar pemilih muda dapat menentukan pilihannya dengan bijak. Direktur Think Policy, Andhyta Firselly Utami menjelaskan, fitur yang telah dirilis dalam platform tersebut memuat bermacam informasi penting yang bersifat mendasar tetapi belum banyak pemilih muda yang mengetahuinya. Seperti seluk-beluk isu strategis berkaitan dengan kebijakan. Setidaknya, platform Bijak Memilih dapat membantu pemilih muda untuk berpikir panjang sebelum menentukan pilihan serta menghindarkan mereka dari pengambilan keputusan yang keliru.
Rekamjejak.net ICW dapat menjadi rujukan database yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan di tengah banjirnya informasi yang hendak menghanyutkan pemilih muda. Peneliti ICW, Kurnia Ramadan menjelaskan bahwa, para politisi menyertakan latar belakang partai politiknya bisa kita lihat rekam jejaknya berkaitan dengan kasus hukum serta harta kekayaannya. Ini penting dijadikan dasar untuk memilih calon.
Merujuk data Komisi Pemilihan Umum, 56% atau 113.622.550 jiwa dari tota pemilih, merupakan kelompok pemilih muda yang berasal dari Generasi Z dan Generasi Milenial dalam rentang usia 17-40 tahun. Menariknya, separuh dari kategori pemilih muda tersebut adalah kelompok pemilih pemula atau first time voters yang berusia antara 17-21 tahun, yaitu adalah mereka yang telah memenuhi syarat dalam menggunakan hak pilih untuk pertama kalinya pada Pemilu 2024 mendatang.
Salah satu alasan Think Policy membuat Bijakmemilih.id karena pemilih muda tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam menghadapi tahun politik. Ketika mereka harus menentukan pilihan politiknya, mereka cenderung bimbang, mudah terombang-ambing, dan kewalahan karena dipengaruhi oleh beragam informasi yang diterimanya dalam dinamika ruang kehidupan sehari-hari. Terutama pengaruh dari keluarga, pergaulan teman sebaya, lingkungan pendidikan, tempat bekerja, komunitas, dan beragam echo-chamber lainnya.
Ruang lingkup itu memiliki pengaruh besar dalam menentukan keputusan politik yang akan dipilih seseorang dan berpotensi menggiring arus preferensi politik para pemilih muda yang pada gilirannya akan terjadi kemunduran demokrasi. Salah satu indikatornya, ditandai dengan menyusutnya kebebasan sipil dalam berpendapat dan berekspresi.
Bias sosial
Apa yang ditekankan oleh Think Policy itu menurut studi psikologi, dikenal dengan istilah groupthink. Fenomena bias sosial ini terjadi dalam pengambilan keputusan, di mana seorang individu terjebak oleh tuntutan untuk menghasilkan suara bulat dalam kelompok. Penyesuaian diri atau konsensus palsu terpaksa dilakukan. Hal ini biasanya didorong oleh perasaan tidak enakan yang kerap dilakukan atas nama menjaga kekompakan dan menghindari konflik.
Penyesuaian diri tersebut seringkali membajak proses refleksi berpikir kritis yang seharusnya lebih didahulukan sebelum menentukan keputusan. Adanya kemelekatan yang kuat untuk menjadi bagian dari suatu kelompok kerap membutakan seseorang dalam mengambil keputusan yang tepat. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh ketimpangan relasi kuasa yang rentan membuat seseorang terbawa arus dalam suara mayoritas.
Biasanya, seseorang yang berbeda suara dari mayoritas akan “ditolak” oleh kelompoknya. Dengan kata lain, demi memperoleh penerimaan maka seseorang harus bersedia untuk memiliki suara yang sama dalam kelompok. Pada situasi tertentu, fenomena bias sosial juga bisa menjangkiti seseorang yang tidak memiliki suara yang tegas terhadap suatu hal, sehingga orang ini memiliki kecenderung untuk mengadopsi apa yang dipilih oleh orang lain.
Contoh pengaruh bias sosial yang beroperasi di dalam kelompok, dapat dilihat dari tindakan Slank pada Pemilu 2014 lalu, Slank adalah sebuah entitas grup band senior yang sudah berkiprah di industri musik selama hampir 40 tahun. Mereka menyatakan secara resmi mendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Jokowi-JK, bahkan mereka gencar mengampanyekan kepada para Slankers agar memilih Jokowi-JK dan memperkirakan bahwa para Slankers yang dikenal loyal tentunya akan mengikuti pilihan anggota personil Band Slank. Tidak lama berselang, 133 cabang Slankers se-Indonesia mendeklarasikan pilihan politik mereka pada pasangan Jokowi-JK. Dalam konteks ini, sindrom bias sosial dapat dikatakan telah berhasil dimainkan.
Melihat konteks saat ini, pemilih muda cenderung masih gagap dalam menentukan pilihan politiknya menjelang Pemilu 2024, sehingga rentan terjerat dalam bias sosial. Hal ini ditengarai oleh sulitnya menemukan sumber informasi yang sistematis, mudah dipahami, dan dapat diandalkan oleh pemilih muda. Perlu diakui bahwa pemerintah nampaknya belum mampu menyediakan pusat informasi politik yang terpadu dan friendly bagi pemilih muda. Maka, pemilih muda perlu membekali diri sendiri dengan survival kits yang dapat menyelamatkannya dari terpaan badai bias sosial.
Bagaimana kiat menghadapi sindrom bias sosial menjelang Pemilu 2024? Empati adalah kata kunci utama. Demi membangun iklim demokrasi yang sehat, pemilih muda perlu empati terhadap pilihan orang lain dalam kelompoknya, tanpa perlu berniat untuk mengubah preferensi pilihan diri sendiri maupun orang lain. Guna menentukan keputusan pribadi dengan penuh kesadaran mengenai siapa yang akan kita pilih dalam agenda Pemilu 2024, kita perlu mengulur waktu sambil memusatkan perhatian untuk mencari berbagai informasi. []
BRIGITTA NOVIA LUMAKSO