August 8, 2024

Menyoal Daftar Pemilih Pemilu 2019

Masalah daftar pemilih selalu menjadi isu sensitif yang kerap mempengaruhi kredibilitas penyelenggaraan Pemilu maupun Pilkada. Persoalan akurasi serta kepastian terakomodasinya seluruh warga negara yang sudah memenuhi syarat menjadi pemilih telah masuk ke dalam daftar pemilih tetap (DPT) adalah dua isu utama yang mesti dipastikan oleh seluruh elemen dalam penyelenggaraan Pemilu.

Dalam proses rekapitulasi daftar pemilih tetap hasil perbaikan I (satu) yang dilakukan oleh KPU pada Minggu (16/9) lalu, telah diambil kesimpulan bahwa akan dilakukan pencermatan kembali terhadap DPT hasil perbaikan selama dua bulan kedepan. Pencermatan tersebut mencakup beberapa ruang lingkup. Pertama, mengakomodir pemilih yang sudah memenuhi syarat sebagaimana yang ada di dalam daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4). Kedua, penyelenggara Pemilu akan terus melakukan pencermatan terhadap pemilih yang ganda dan membersihkan semua pemilih yang tercatat ganda. Ketiga, Kemendagri mesti menyelesaikan perekaman KTP-el terhadap 8 juta warga negara yang belum melakukan perekaman, dan keempat, mesti dicarikan solusi bagi pemilih yang baru akan berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara dan masyarakat adat yang legalitas domisilinya bermasalah.

Keputusan untuk mencermati kembali daftar pemilih adalah langkah yang tepat. Penyelenggara Pemilu tidak perlu terburu-buru menetapkan daftar pemilih, jika memang masih ditemukan persoalan akurasi data dan belum terakomodirnya warga negara ke dalam DPT karena terhambat mengurus KTP-el.

Sengkarut Hak Pilih

Undang-Undang Pemilu No 7/2017 mensyaratkan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk Elektornik (KTP-el) sebagai syarat mutlak untuk dapat memilih pada gelaran Pemilu 2019. Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan bagi keterpenuhan hak pilih warga negara. Sebab, belum seluruh warga negara yang berusia 17 tahun keatas (pemilih) memiliki KTP-el. Hingga saat ini, terdapat sekitar 8 juta penduduk yang belum merekam data KTP-el, dari jumlah itu, sekitar 6 juta adalah penduduk dewasa. Adapun sisanya merupakan penduduk yang akan berusia 17 tahun pada April 2019 mendatang (Kemendagri, 2018).

Di komunitas masyarakat adat, kepemilikan KTP-el bukan sesuatu yang mudah. Setidaknya ada tiga penyebab masyarakat adat kesulitan memiliki KTP-el. Pertama, secara geografis, komunitas masyarakat adat menempati wilayah yang sulit dijangkau oleh pelayanan administrasi. Kedua, ada alasan politis yang menyebabkan komunitas masyarakat adat terhambat mengurus KTP-el. Menurut Kemendagri, masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan tidak diberikan identitas kependudukan baik Kartu Keluarga (KK) maupun KTP-el, kecuali jika ada izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau diharuskan terlebih dahulu untuk pindah ke desa sekitar kawasan hutan yang memiliki legalitas domisili. Kondisi ini berujung pada terhambatnya pemenuhan kepemilikan identitas seperti KTP-el karena enggan mengakui keberadaan komunitas masyarakat adat yang bermukim dalam wilayah adatnya dimana secara sepihak oleh pemerintah sebagai kawasan hutan milik Negara.

Ketiga, konflik lahan yang berimplikasi terhadap tidak adanya pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat. Komunitas masyarakat adat juga kerap berkonflik lahan dengan perusahaan akibat izin-izin konsesi yang menyerobot wilayah adat. Secara politis, beberapa oknum kemudian mempersulit pelayanan administrasi komunitas masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adatnya dari gerusan perusahaan.

Syarat kepemilikan KTP-el untuk memilih di Pemilu 2019 tentu mengancam hak pilih masyarakat adat. Pada Pilkada 2018 lalu, AMAN mencatat sebanyak 51.750 KK masyarakat adat teridentifikasi kehilangan hak pilihnya. Untuk Pemilu 2019, ada 1,6 juta masyarakat adat yang sampai hari ini belum memiliki KTP-el dan tidak terdaftar di DPT Pemilu 2019 karena berada di kawasan hutan negara dan wilayahnya sedang berkonflik.

Membedah Solusi Kartu Pemilih

Untuk mengatasi persoalan pemilih yang belum memiliki KTP-el dan belum masuk di daftar pemilih, KPU sedang mempertimbangkan opsi penggunaan kartu pemilih pada Pemilu 2019. Kartu pemilih bukanlah kebijakan yang baru, pada Pemilu 2004 kebijakan ini pernah diterapkan dan dinilai cukup efektif dalam mengakomodir hak memilih warga negara.

Selain itu, syarat memilih pada Pemilu 2004 tidak berdasarkan pendekatan berbasis domisili, selama pemilih memiliki kartu pemilih dan masih dalam satu kabupaten yang sama, maka yang bersangkutan masih dapat memilih di TPS lain. Jika dia mencoblos di TPS yang berbeda kabupaten, maka yang bersangkutan hanya mendapatkan surat suara DPR dan DPRD Provinsi dan masih diperkenankan untuk memilih. Terbukti dengan mudahnya pemilih untuk menggunakan haknya dalam memilih berimplikasi terhadap tingginya tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 yang mencapai 84,1 persen.

Namun, opsi penggunaan kartu pemilih pada Pemilu 2019 masih perlu memastikan beberapa hal. Pertama, memastikan penggunaan basis data pemilih yang akan menjadi acuan dalam mendistribusikan kartu pemilih. Sebab, data pemilih Pemilu 2014 dandata penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang digunakan sebagai rujukan DPT Pemilu 2019 belum mengakomodir masyarakat dalam kawasan hutan dan wilayah konflik. Kedua, selama dua bulan kedepan, KPU perlu melibatkan kepala desa setempat untuk bersama-sama mengidentifikasi warganya yang belum atau terhambat untuk terdaftar sebagai pemilih karena tidak memiliki KTP-el. Hasil identifikasi tersebut dapat menjadi basis data KPU untuk mendistribusikan kartu pemilih nantinya.

Sengkarut jaminan hak pilih muncul karena syarat memilih dalam Pemilu dicampuradukkan dengan persoalan legalitas domisili warga negara. Penyelenggara Pemilu perlu mengubah perspektif dan pendekatan dalam mengidentifikasi hambatan hak pilih warga negara dengan memisahkan syarat memilih  dengan legalitas domisili warga Negara. Pemilu yang demokratis adalah yang memberi kesempatan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara untuk dapat berpartisipasi, karena warga negara adalah sumber legitimasi bagi eksistensi negara.

YAYAN HIDAYAT, Pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)