November 4, 2024

Menyoal Pemungutan Suara Ulang

“Apakah menurutmu adil jika pemungutan suara yang sudah digelar di hari H kembali diulang hanya karena kesalahan satu orang,” tanya seorang senior kepada saya di suatu kesempatan. Pertanyaan ini membuat saya kembali merenungkan arti keadilan dalam konteks pemilu, khususnya pada aspek pemberian suara.

Seorang senior lain yang duduk di samping saya lebih dulu merespon pertanyaan itu. Saya lantas diam menyimak penuh perhatian. “Sistem pemilu di Indonesia memiliki banyak kelemahan, terutama pada aspek budaya politik. Budaya politik kita sangat buruk. Banyak politisi memandang Pemungutan Suara Ulang (PSU) sebagai peluang untuk memperbaiki ketidakpuasan pada hasil pemungutan suara di hari H,” tuturnya.

Kendati saat itu tak sempat merespon, tapi saya sadar bahwa percakapan ini tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja mengingat pemungutan suara adalah salah satu tahapan terpenting dalam rantai tahapan penyelenggaraan pemilu. Saya lantas bertanya dalam hati apa saja syarat dilakukannya PSU dan apakah para pemilih mengingatnya. Saya pribadi kerap lupa apa syarat kondisional PSU wajib digelar.

Penyebab

Berdasarkan UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 372 Ayat (1), kita tahu bahwa pemungutan suara di TPS dapat diulang jika terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

Selain itu, pada ayat berikutnya disebutkan bahwa pemungutan suara di TPS wajib diulang jika dari hasil penelitian dan pemeriksaan pengawas TPS terbukti terdapat keadaan yang tidak patut, misalnya, pembukaan kotak dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak sesuai tata cara yang semestinya.

Apabila terbukti petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat pada surat suara yang sudah digunakan; petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik serta tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan turut memilih, maka wajib digelar PSU.

Sebelum tulisan ini dibuat, saya sempatkan waktu untuk bertanya kepada beberapa penyelenggara pemilu yang saya kenal perihal keadaan yang paling sering muncul menjadi alasan dilakukannya PSU. Warga yang tidak punya kartu tanda penduduk setempat dan tidak terdaftar dalam daftar pemilih, memilih menggunakan identitas orang lain dan/atau memilih lebih dari satu kali adalah jawaban yang saya terima.

Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa ketidakpatuhan warga merupakan penyebab utama digelarnya PSU. Pada titik ini, saya bisa menjawab pertanyaan apakah adil jika PSU digelar hanya karena kesalahan satu orang. Ya, tentu saja itu tidak adil, bahkan sangat tidak adil.

Sangatlah tidak adil apabila mereka yang tidak punya kartu tanda penduduk setempat dan tidak terdaftar dalam daftar pemilih namun tetap dibiarkan ikut memberikan suara. Pun tidaklah adil jika ada pemilih yang memilih dua kali sementara yang lain hanya sekali. Praktik ini mencederai prinsip kesetaraan suara.

Namun, pertanyaan selanjutnya adalah apakah PSU adalah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut? Menurut saya, tidak. Ada cara lain yang lebih tepat, yaitu meminta keterangan dari orang bersangkutan mengenai siapa yang dipilih lalu dicatat untuk kemudian anggota KPPS bertindak memutihkan suara tersebut.

Kendati demikian, tindakan pembersihan dirty votes atau ‘suara kotor’ tersebut harus disetujui dan disaksikan oleh pengawas pemilu dan para saksi peserta pemilu yang hadir di PTS pada saat akan dilakukan pembukaan kotak suara untuk dihitung. Dengan begitu, dirty votes itu tidak sampai mencederai suara yang sudah diberikan oleh ratusan pemilih secara baik dan benar sesuai aturan yang berlaku.

Sayangnya, mekanisme semacam itu tidak tersedia, atau paling tidak belum disediakan. Meskipun tidak tepat, PSU adalah satu-satunya jalan keluar yang disediakan oleh pembuat peraturan perundang-undangan dan pembuat aturan teknis (KPU) untuk mengatasi kondisi problematis sebagaimana dimaksud.

Dampak

Jika para pembuat undang-undang dan pembuat aturan teknis penyelenggaraan pemilu bersepakat menyediakan alternatif lain untuk mengatasi kondisi tersebut, maka dampak dari diadakannya PSU tidak akan menjadi pil pahit yang harus kita semua telan. Kebutuhan anggaran ekstra adalah salah satu dampak PSU yang pahit rasanya namun harus kita telan.

Berdasarkan penyampaian Hamdan Kurniawan anggota KPU DIY periode 2018-2023 dalam papernya berjudul “Pemungutan Suara Ulang: Menyoal Batas Waktu dan Faktor Penyebab”, setidaknya dibutuhkan anggaran sekitar enam juta rupiah di setiap TPS untuk meng-cover honorarium KPPS beserta dua petugas keamanan, serta biaya pembuatan TPS dan konsumsi.

Kedua, penyediaan logistik harus dilakukan serba cepat. Hamdan dalam tulisannya menuturan bahwa waktu maksimal sepuluh hari untuk menyelenggarakan PSU memaksa KPU Kabupaten menyediakan logistik PSU serba terburu-buru. Jenis logistik yang paling mendesak untuk dihadirkan ke TPSU adalah surat suara dan formulir.

Ketiga, tingkat kehadiran pemilih di TPS menurun. Hampir semua TPS yang menyelenggarakan PSU berpotensi mengalami penurunan angka kehadiran pemilih karena adanya PSU membuat pemilih merasa waktunya terbuang sia-sia pada pemungutan suara di hari H pemungutan suara diselenggarakan.

Keempat, meningkatnya suhu politik dan potensi konflik akibat menyebarnya isu bahwa akan terjadi pergeseran suara atau dukungan pemilih. Hal ini membuat banyak peserta pemilu dan timsesnya was-was sehingga petugas keamanan harus berjaga ektra siaga. Akibatnya, suasana PSU digelar dalam suasana menegangkan.

Upaya Meminimalisir

Adanya PSU terbukti membuat pemilu tak lagi menjadi pesta yang menggemberikan. Adanya PSU dapat menjadi salah satu indikator untuk mengukur kualitas penyelenggaraan pemilu yang kita gelar dari tahun ke tahun apakah semakin baik atau sebaliknya. Bila PSU lebih banyak digelar di pemilu tahun ini daripada di pemilu sebelumnya, itu artinya kita gagal membuat pemilu kali ini lebih baik daripada pemilu  sebelumnya.

Bila ingin meminimalisir kehadirkan PSU di pemilu yang akan datang maka, menurut saya, selain intens mensosialisasikan syarat PSU, upaya lain yang harus dilakukan adalah memperbaiki kualitas daftar pemilih. Proses pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih harus dilakukan semakin lebih cermat. Hasil dari proses coklit data pemilih berdampak sangat besar terhadap kualitas proses pemungutan suara. Kecermatan pada tahapan ini harus berlanjut sampai ke tahap penyusunan DPT dan DPTb.

Anggota KPPS juga harus diseleksi secara ketat dan didikan bertindak profesional. Profil para calon harus dicermati dengan serius, bahkan bila perlu segala aktivitas sosiopolitik mereka ditelusuri untuk memastikan bahwa mereka bukan figur partisan dari kelompok politik tertentu yang kelak bisa bertugas secara profesional dan berintegritas. Dalam konteks ini, partisipasi warga sangat diperlukan.

Pendidikan pemilih juga harus digelar masif dan berkesinambungan di berbagai lapisan masyarakat. Terkait ini, di setiap kampanye terbuka yang digelar para calon, pengawas pemilu atau pakar kepemiluan seharusnya wajib dihadirkan untuk menyampaikan hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh semua pihak dalam rangka mewujudkan pemilu yang lebih damai, jujur, adil, dan berintegritas.

Kemudian, penegak hukum harus berani bertindak tegas untuk memberikan sanksi berat kepada para pelanggar aturan, sembari terus mendorong penyediaan alternatif lain (jika syarat-syarat PSU tidak ditinjau kembali) yang lebih tepat untuk menyingkirkan dirty votes yang sudah terlanjur masuk dalam kotak suara tanpa perlu menganulir suara sah ratus pemilih lalu menguras anggaran dan tenaga ekstra semua pihak untuk menggelar PSU.

Terakhir, sangat diharapkan agar semua anak bangsa Indonesia terus berkomitmen dan optimis menjadikan negara ini lebih baik dan demokratis. Pemilu harus diingat bukan hanya sekadar tentang sehari memberikan suara, tetapi tentang masa depan yang kita ciptakan sebagai bangsa yang besar, berdaulat, dan bermartabat. []

ARDAN MARUA

Warga NKRI Pemerhati Pemilu