August 8, 2024

Mimpi Museum Pemilu

Di ujung masa baktinya sebagai Kepala Negara RI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan kado istimewa berupa peresmian Museum Kepresidenan Balai Kirti di Istana Negara dan Museum Kepresidenan di Gedung Agung Yogyakarta dan Museum. Museum Balai Kitri memiliki arsitektur modern dengan luas 3.211,6 meter persegi dan menyatu dengan Museum Istana Bogor.

Peresmian museum dilakukan pada Sabtu (18/10/2014) dan dihadiri antara lain mantan Presiden BJ. Habibie, istri mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, Ny. Sinta Nuriyah Wahid, dan putri Presiden RI kedua Soeharto, Siti Hediati Hariyadi. Selain untuk menghormati pahlawan, pemimpin dan pendahulu, SBY beralasan pendirian Museum Kepresidenan agar dipetik pelajaran masa lalu untuk generasi masa depan.

Mengapa Pak Beye, demikian kadang SBY disapa, tidak membangun Museum Pemilu sebagai salah satu program yang juga harus diwujudkan di era kepemimpinannya? Padahal, Museum Pemilu tidak kalah strategisnya dibandingkan dengan Museum Kepresidenan. Di dalam Museum Pemilu akan disimpan warisan sejarah perjalanan bangsa, terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, baik Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden beserta hasil-hasilnya.

Sejak Indonesia merdeka, Pemilu sudah digelar sebanyak 11 (sebelas) kali, yakni: 1955 (masa Orde Lama), 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 (Orde Baru) dan empat kali di era reformasi (1999, 2004, 2009 dan 2014).  Bahkan, melalui Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pak Beye sendiri berkesempatan 2 (kali) periode menduduki kursi kepresidenan RI, yakni periode 1999-2004 dan 2004-2014.  Dari sisi khasanah intelektual kepemiluan, tentu  banyak warisan Pak Beye yang patut dimuseumkan.

Pendidikan dan Kesadaran Sejarah

Secara etimologis, museum berasal dari kata Yunani, Μουσεῖον atau mouseion, merujuk kepada nama kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak Dewa Zeus yang melambangkan ilmu dan kesenian. Bangunan lain yang diketahui berhubungan dengan sejarah museum adalah bagian kompleks perpustakaan yang dibangun khusus untuk seni dan sains, terutama filsafat dan riset di Alexandria oleh Ptolemy I Soterpada tahun 280 SM.

Di Indonesia, museum pertama kali dibangun adalah Museum Radya Pustaka. Selain itu dikenal pula  Museum Gajah, Museum Wayang, Persada Soekarno, Museum Tekstil serta Galeri Nasional Indonesia yang khusus menyajikan koleksi seni rupa modern Indonesia. Pada awalnya, museum sebagai tempat untuk menyimpan koleksi milik individu, keluarga atau institusi kaya. Benda-benda yang disimpan biasanya merupakan karya seni dan benda-benda yang langka, atau kumpulan benda alam dan artefak arkeologi.

Sering dengan dinamika zaman, fungsi museum makin luas dan beragam, yakni: usaha pengoleksian, konservasi, riset, dan pameran benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan. Karena itu museum bisa menjadi bahan studi oleh kalangan akademis, dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan pemikiran imajinatif pada masa depan.

Sejak tahun 1977, setiap tanggal 18 Mei diperingati sebagai Hari Museum Internasional. Di negara-negara maju yang sadar sejarah dan haus pengetahuan, museum menjadi salah satu tujuan (destinasi) wisata yang ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai lapisan.

Di Museum Pemilu, masyarakat dapat mempelajari disertai dengan dokumen otentik, data dan fakta terkait dengan sejarah Pemilu 1955-2014. Termasuk contoh kotak dan bilik suara, surat suara, bendera partai,  UU Pemilu, Peraturan KPU (PKPU) atau Peraturan Bawaslu, Pedoman Teknis, Surat Edaran yang dikeluarkan Penyelenggara Pemilu, data hasil rekapitilasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), data hasil rekapitulasi perolehan suara untuk Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, buku-buku terkait sistem dan sejarah Pemilu, sejarah kepartaian, sejarah pergantian kekuasaan di legislatif (Pemilu Legislatif) maupun eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan lain sebagainya. Selain disimpan dan dipampang foto dan kegiatan Pimpinan, Ketua dan Anggota Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu RI).

Sementara yang ada sekarang adalah lebih banyak dalam wujud perpustakaan yang dikelola oleh universitas terutama universitas negeri, lembaga riset atau penelitian baik pemerintah (LIPI, DPR, MPR, ANRI) maupun swadaya yang dikelola oleh civil society. Dan koleksi buku atau karya ilmiahnya bersifat umum dan bukan koleksi khusus terkait dengan kepemiluan.

Jangan tanya perpustakaan dan Pusat Data serta Informasi yang ada di KPU baik nausinal maupun provinsi, sangat jauh dari harapan. Akibat buruk selanjutnya, tak jarang para mahasiswa atau peneliti yang ingin serius mendalami Pemilu di Indonesia harus take of dan tentu saja dengan biaya tidak sedikit ke Leiden University di Belanda, Harvard University di Amerika Serikat, atau Monash University di Australia hanya untuk melakukan rsiet dan memperoleh dokumen Pemilu di Indonesia yang lengkap dan otentik.

Kesulitan tersebut pernah dikeluhkan oleh Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo terkait dengan dokumen Daftar Pemilih Tetap (DPT) 2009, yang dilengkapi nama dan alamat pemilih (by name and by addres). Sehingga untuk itu ia terpaksa harus mencari dan memperoleh data DPT ke Luar Negeri, yang tentunya harus mengeluarkan biaya besar. Ini baru soal DPT Pemilu 2009 yang sebenarnya tenggang waktunya belum lama waktunya.

Bagaimana pula dengan DPT Pemilu 1999, DPT Pemilu 1955, bendera Partai Politik, perlengkapan Pemungutan Suara seperti kotak suara, bilik, Surat Suara, tinta, alat penanda pemberian suara dan lain sebagainya,  yang digunakan  pada Pemilu sebelum Pemilu 2014? Tentu tidak mudah mendapat dokumen dan sample otentik semacam ini.

Manajemen Profesional

Agar tidak kembali kepada kebiasaan lama yang hanya bisa membangun namun kurang bisa mengisi dan memeliharanya, maka efektivitas Museum Pemilu hanya akan mewujud manakala dikelola dengan manajemen modern dan didukung oleh tenaga-tenaga profesional,  kreatif, dan inovatif sehingga nantinya Museum Pemilu tersebut selalu ramai dikunjungi, khususnya oleh mereka yang ingin mengetahui sejarah dan perjalanan Pemilu di Indonesia.

Diidealisasi, di gedung ini secara berkala menggelar pameran Pemilu, atau diskusi dengan mengundang pelaku sejarah Pemilu 1955,  politisi atau eksekutif sukses dalam Pemilu melalui kampanye Pemilu bersih, dan lain sebagainya. Kegiatan terakhir sekaligus bisa dijadikan wahana transformasi intelektual, pengalaman dan spiritual.

Pembangunan Museum Pemilu seyogianya tidak hanya dilakukan di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat daerah. Idealnya, setiap provinsi di Indonesia mempunyai Museum Pemilu, ataupun apapun namanya. Misalnya, Museum Pemilu dibangun di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Papua, Maluku Utara dan seterusnya. Menyadari pentingnya hal tersebut, Walikota Progressif Bogor Bima Arya mewacanakan pendirian Museum Pemilu di Bogor.

Sebaliknya, KPU Pusat lebih memilih mengajukan anggaran Rp 450 miliar untuk kepentingan Gedung Baru KPU yang berintegrasi dengan gedung Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Badan Pengawas Pemilu. Jadi, bukan Museum Pemilu. Padahal jika gedung Museum Pemilu yang diperioritaskan pembangunannya, nantinya masyarakat atau peneliti kepemiluan yang ingin mendalami Pemilu di tingkal lokal/daerah dapat berkunjung ke Museum Pemilu.

Gagasan, atau mimpi semacam ini bukanlah halunisasi, melainkan sesuatu yang logis dan sangat mungkin diwujudkan, manakala ada political will dan political act dari semua pihak terkait. Dari perspektif makro politik, atmosfir pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, tampaknya mendukung. Tinggal bagaimana KPU dan Bawaslu mampu meyakinkan para pihak akan pentingnya pembangunan Museum Pemilu.

Di sisi lain, partisipasi masyrakat dalam berbagai bentuknya, termasuknya menyerahkan dalam bentuk asli atau foto copy terkait dengan khasanah intelektual yang dimilikinya ke Museum Pemilu akan memperkaya koleksi museum dan menjadi daya tarik orang untuk mengunjungi Museum Pemilu. Meskipun masih harus dikaji korelasinya, bukan tak mungkin sulitnya Indonesia memperbaiki kualitas proses Pemilu dan acapkali terjebak kepada problem Pemilu yang bersifat laten (akut), terkait pula dengan rendahnya pengetahuan akan kepemiluan dan kesadaran sejarah kepemiluan. []

ACHMAD FACHRUDIN
Anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta