September 8, 2024

Minimnya Keterwakilan Perempuan di Lembaga Pengambilan Keputusan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut pemenuhan hak politik perempuan masih belum optimal. Keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan khususnya penyelenggara pemilu di daerah dan pusat semakin minim. Terlebih PKPU No.10 Tahun 2023, khususnya Pasal 8 ayat 2 tentang penghitungan kuota caleg perempuan yang telah diuji materi dan diputus untuk mendukung kuota 30% keterwakilan perempuan, tidak diimplementasikan sehingga berdampak terhadap minimnya jumlah perempuan di institusi pengambilan keputusan.

“Pemenuhan hak politik perempuan merupakan tantangan dalam implementasi CEDAW. Di sisi lain, perspektif kesetaraan dan keadilan gender dan komitmen pemerintah pada jenjang pusat maupun daerah juga penting ditingkatkan agar kebijakan yang berpihak terhadap perempuan semakin kondusif sehingga pelaksanaan prinsip dan norma CEDAW dapat diwujudkan,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang melalui keterangan tertulis, Jakarta (24/7).

Veryanto menjelaskan, Komnas Perempuan bersama organisasi perempuan dan masyarakat sipil turut mengawal implementasi CEDAW. Ia mencatat, sejumlah kemajuan pemberdayaan, pemenuhan hak-hak perempuan termasuk perlindungan dari kekerasan seksual sudah tertuang dalam beberapa undang-undang. Namun  juga masih terdapat perundang-undangan yang belum sejalan dengan prinsip dan norma CEDAW, di antaranya UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang tidak memenuhi hak-hak perempuan terkait cuti maternitas, cuti haid dan menyusui berbayar. Pengesahan UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak juga berpotensi melembagakan peran domestik perempuan, mendiskriminasi perempuan dalam mengakses pekerjaan serta peluang peningkatan karir.

Sementara Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat mengingatkan hasil Pengamatan Akhir Komite CEDAW terkait revisi UU Perkawinan masih mendiskriminasikan perempuan termasuk perempuan disabilitas. Selain itu regulasi Pelukaan dan Pemotongan Genital Perempuan (P2GP)  masih mendua, belum secara penuh melarang apalagi mengkriminalkan pelaku, sebab masih memberi mandat kepada otoritas agama untuk  memberi pedoman pelaksanaan P2GP.

Lebih lanjut, UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam masih mendiskriminasi hak perempuan nelayan karena definisi nelayan terbatas hanya untuk mereka yang pekerjaannya menangkap ikan, sementara ragam pekerjaan banyak perempuan yang terlibat. Demikian juga RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga masih tertunda pengesahannya, sementara jumlah pekerja rumah tangga terbanyak dan rentan dieksploitasi.

“Komnas Perempuan mengingatkan bahwa meski UU TPKS telah mengatur penyiksaan seksual, namun masih banyak terjadi penyiksaan berbasis gender lainnya diantaranya hukuman mati dalam kasus-kasus narkoba,  penyiksaan terhadap perempuan dalam tahanan dan serupa tahanan,” ujar Rainy Hutabarat.

Dalam catatan Komnas Perempuan, setidaknya masih terdapat 305 peraturan diskriminatif yang mengontrol tubuh perempuan, pembatasan kebebasan beragama berkeyakinan, diskriminatif terhadap minoritas seksual dan perempuan pekerja seks. Perempuan dengan HIV/AIDS masih mengalami hambatan dalam mengakses layanan dasar termasuk hak atas kesehatan seksual dan reproduksi. []