August 8, 2024
Sumber: akun Youtube Mahkamah Konstitusi RI

MK Perintahkan Pembentuk UU untuk Ubah Manajemen Pemilu

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021 diharapkan menjadi batu pijakan untuk merevisi UU Pemilu karena ada masalah serius dalam kerangka hukum pemilu yang bisa berdampak pada beban berat penyelenggara pemilu. Dalam pertimbangannya, MK meminta agar ada perubahan manajemen pelaksanaan pemilu sehingga beban berat penyelenggara di Pemilu 2019 tidak terulang.

Putusan MK terkait uji konstitusionalitas pasal keserentakan pemilu lokal dan nasional itu dibacakan pada Rabu (24/11/2021). Mahkamah menolak pokok permohonan ataupun permohonan provisi dari empat panitia penyelenggara pemilu dari Yogyakarta dan Jawa Barat. Mereka meminta MK membatalkan ketentuan pemilu lima kotak (pemilu presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) karena pelaksanaannya memberatkan petugas penyelenggara pemilihan di lapangan.

Alasan MK menolak permohonan itu adalah karena sebelumnya MK telah memberikan enam opsi keserentakan pemilu dalam putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. Kewenangan untuk memilih opsi keserentakan pemilu itu adalah wilayah pembentuk UU atau kebijakan hukum yang terbuka. MK tidak mau menyatakan pemilu serentak lokal dan nasional inkonstitusional meskipun terbukti pada 2019 sebanyak 894 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5.175 penyelenggara sakit.

”Jika Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yang ditawarkan dalam putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional),” kata hakim konstitusi Saldi Isra.

Namun, dalam poin pertimbangan lainnya, mahkamah juga mengamini bahwa dengan pilihan pemilu serentak lima kotak bisa mengakibatkan beban kerja yang berat, tidak rasional, dan tidak manusiawi. Menurut mahkamah, beban kerja berat itu sangat erat dengan manajemen pemilu yang merupakan bagian dari implementasi dari norma UU Pemilu.

Pemerintah dan DPR diminta untuk melakukan evaluasi dan kajian secara berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan pemilu sehingga masalah teknis yang berkaitan dengan beban berat penyelenggara pemilu ad hoc dapat diantisipasi. Mahkamah mencontohkan, misalnya pembentuk UU dan KPU dapat menyepakati jeda waktu antara pemilu anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilu anggota DPR, anggota DPD, dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.

”Semakin dekatnya pelaksanaan tahapan pemilu serentak 2024, maka melalui putusan ini, mahkamah menegaskan agar pembentuk UU dan penyelenggara pemilu segera menindaklanjuti putusan MK a quo (Nomor 55/PUU-XVII/2019),” terang Saldi.

Pemerintah dan DPR diminta untuk melakukan evaluasi dan kajian secara berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan pemilu sehingga masalah teknis yang berkaitan dengan beban berat penyelenggara pemilu ad hoc dapat diantisipasi.

Dalam putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK mengatakan bahwa pemilihan model keserentakan pemilu akan berimplikasi pada perubahan UU Pemilu. Perubahan UU Pemilu harus dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang punya perhatian atas penyelenggaraan pemilu. Partisipasi adalah instrumen yang paling penting dalam pembuatan UU karena pemilu dinilai berdampak besar kepada publik.

Kuasa hukum pemohon, Fadli Ramadhanil, saat dikonfirmasi mengatakan, penjelasan itu secara eksplisit dan tegas memerintahkan kepada DPR dan pemerintah untuk memperbaiki kerangka hukum pemilu dengan merevisi UU Pemilu. Sebab, dalam pertimbangannya pula, MK menyebut bahwa pemilihan opsi keserentakan pemilu harus dilakukan dengan didahului kajian, evaluasi serius Pemilu 2019, dan simulasi. Keserentakan pemilu juga harus memperhitungkan dengan cermat dampak teknis atas pilihan model yang diambil. Dengan demikian, pelaksanaan pemilu tetap berada dalam batas penalaran yang wajar untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas.

”Ada yang menggantung dari putusan ini. MK tidak mau keluar dari rel putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. Namun, dalam pertimbangannya disebutkan contoh bahwa pelaksanaan pemilu lokal bisa diberi jeda waktu dengan pemilu nasional. Ini menjadi pertimbangan serius bahwa penting untuk memisahkan pemilu legislatif daerah dengan pemilu nasional untuk mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu,” papar Fadli.

Dari pertimbangan yang diungkapkan oleh MK itu, Fadli meyakini bahwa sebenarnya mahkamah menangkap semangat gugatan para pemohon. Namun, MK tidak mau beranjak dari putusan sebelumnya sehingga putusannya menjadi tidak tegas.

Pihaknya mendorong putusan MK terbaru ini dapat menjadi batu pijakan bagi pembentuk UU untuk mengevaluasi serius kerangka hukum pemilu saat ini. Sebab, dalam putusannya, MK secara eksplisit menjelaskan bahwa sebelum memilih desain keserentakan pemilu, pembentuk UU dan KPU harus menghitung implikasi teknis desain keserentakan pemilu dengan melibatkan partisipasi seluruh pemangku kepentingan. Desain keserentakan pemilu juga harus memastikan kemudahan bagi para pemilih. Fadli menilai prakondisi inilah yang belum digali oleh pemerintah dan DPR.

”Di dalam persidangan kemarin, pembentuk UU gagal menjawab pertanyaan evaluasi apa saja yang sudah dilakukan berkaitan dengan perbaikan kerangka hukum pemilu tahun 2019 lalu,” terang Fadli.

Oleh karena itu, putusan MK diharapkan disikapi sebagai perintah konstitusional baru oleh pembentuk UU. Pembentuk UU diharapkan menindaklanjuti putusan itu dengan melakukan perbaikan kerangka hukum pemilu yaitu merevisi UU Pemilu. Walaupun sudah ada sikap politik untuk tidak merevisi UU Pemilu, menurut Fadli hal itu masih bisa diubah.

”Di dalam pertimbangannya, MK mengatakan masih ada cukup waktu untuk memperbaiki kerangka hukum Pemilu 2024,” kata Fadli. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/11/24/mk-perintahkan-pembentuk-uu-untuk-ubah-manajemen-pemilu