Putusan Mahkamah Konstitusi yang menambahkan norma hukum syarat pencalonan presiden-wakil presiden dalam undang-undang pemilu membuat MK semakin jauh dari keadilan konstitusional. Setelah 20 tahun Reformasi, sejumlah putusan menggambarkan MK terbiasa melanggar fungsinya sebagai penjaga konstitusi.
“MK tidak lagi menegakkan konstitusi, tetapi mengakomodasi aspirasi politik aktor-aktor politik. Ia bukan lagi menjadi wasit yang adil,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi dalam diskusi daring bertajuk “MK: Benteng Konstitusi?”, yang digelar Moya Institute (17/10).
Hendardi mengungkapkan, putusan 90/PUU- XXI/2023 mengenai kepala daerah atau pejabat negara yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres meski belum berusia 40 tahun merupakan akumulasi penyimpangan MK. Ini berlaku akumulatif dalam berbagai uji materi ketentuan dalam peraturan perundangan. Ia menyebut salah satunya adalah membentuk norma baru yang seharusnya tidak dilakukan.
“MK benar-benar sedang mempromosikan konstitusional evil atau kejahatan konstitusional,” ungkapnya.
Hendardi menerangkan, MK yang sebelumnya menjadi pembeda antara Rezim Orde Baru dan demokrasi konstitusional saat ini tidak ada bedanya. Jika dahulu otoritarianisme diperagakan secara langsung, saat ini otoritarianisme dimodifikasi melalui badan peradilan menjadi seolah-olah demokratis. Lebih jauh, ia berharap desain ketatanegaraan khususnya, MK harus menjadi agenda dalam amendemen Undang-Undang Dasar. []