August 8, 2024

MK Tidak Mampu Keluar dari Kerangka Hukum Pro Kekuasaan

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan dengan ditolaknya permohonan PHPU Pilpres membuktikan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mampu keluar dari kerangka hukum yang didesain untuk melanggengkan kekuasaan. Hal itu merupakan imbas dari keputusan tidak melakukan revisi terhadap UU Pemilu pasca Pilpres 2019.

“UU Pemilu biasanya akan direvisi setelah adanya evaluasi dalam proses penyelenggaraan pemilu sebelumnya,” kata Bivitri, dikutip dari video di instagram resminya (25/4).

Bivitri menduga tidak adanya revisi UU Pemilu disebabkan karena kerangka hukumnya menguntungkan, sehingga disepakati untuk tidak diubah. Bukan hanya itu, UU ASN dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pejabat kepala daerah juga berupaya untuk melanggengkan kekuasaan. Sehingga jika MK bergerak hanya mengikuti alur dan kerangka tersebut keadilan substantif tidak akan benar-benar tercapai.

“Mereka harus loncat sedikit ke konstruksi konstitusionalisme yang mana bisa dilakukan oleh MK. Tadinya saya dan juga banyak orang lainnya punya harapan MK bisa keluar dr kerangkeng itu, ternyata nggak bisa,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia khawatir praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang lumrah dilakukan pasca putusan MK 90 soal batas usia capres-cawapres. Menurutnya, Hal itu menjadi ancaman besar bagi demokrasi dan negara hukum seperti Indonesia. Ia juga berharap semua pihak terus mengkritisi kebijakan dan keputusan para pemimpin untuk membangun demokrasi dan negara hukum.

“Karena ini jadi penanda penting bahwa adapersoalan-persoalan kelembagaan yang sedang tidak baik-baik saja, yang tidak bisa didekati dengan pendekataan-pendekatan kelembagaan. Tapi kita juga harus bisa membaca aktor politik serta keterkaitannya untuk mempengaruhi jalannya lembaga-lembaga seperti MK,” tutupnya.