August 8, 2024

Modifikasi Sistem Pemilu untuk Cita 30% Keterwakilan Perempuan

Representasi adalah urusan yang sangat penting jika berbicara tentang parlemen dan sistem pemilu. Dari sekian banyak model pemilu, Indonesia memilih menerapkan sistem proporsional untuk menciptakan parlemen yang lebih berimbang. Di sistem ini persentase kursi di parlemen yang dibagikan kepada partai politik disesuaikan dengan jumlah suara yang didapatkan waktu pemilu.

Ada tiga model sistem proporsional yang pernah diterapkan untuk Pemilu DPR dan DPRD. Pertama, sistem proporsional tertutup. Kedua, proporsional semi terbuka. Ketiga, proporsional terbuka.

Sistem pemilu proporsional tertutup dilaksanakan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999. Sistem proporsional semi terbuka diterapkan pada Pemilu 2004. Barulah Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2009 hingga (setidaknya) pada Pemilu 2024.

Tiga model sistem proporsional tersebut memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Sayangnya ada masalah yang masih belum dapat terjawab yaitu terkait keterwakilan perempuan. Ada urusan-urusan khusus perempuan yang tidak tersentuh jika kebijakan hanya dibuat oleh laki-laki, oleh karena itu maka partisipasi perempuan di parlemen perlu ditingkatkan. Setidaknya dibutuhkan 30% keterwakilan perempuan di parlemen agar suara dan kepentingan perempuan bisa menjadi perhatian.

Demi mencapai angka keterwakilan perempuan 30%, dibutuhkan sebuah affirmative action sebagai bentuk diskriminasi positif untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen. Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, mensyaratkan daftar bakal calon yang ditetapkan oleh partai politik memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa affirmative action belum berhasil mewujudkan komposisi parlemen yang lebih ideal?

Masalah Tersembunyi

Ada masalah tidak terlihat dalam desain pemilu di Indonesia yang menyebabkan affirmative action yang diterapkan masih belum bisa mendorong keterwakilan perempuan di parlemen. Partai politik memang diwajibkan untuk mengajukan sekurang-kurangnya 30% kandidat perempuan dalam daftar pencalonan. Namun, melalui sistem proporsional terbuka maka wewenang untuk memilih calon anggota dewan ada di tangan pemilih. Masyarakat bisa memilih langsung kandidat yang dikehendaki, entah itu perempuan atau laki-laki.

Sayannya, di tengah kultur masyarakat yang masih patriarkis, kandidat perempuan akan sulit untuk bersaing dengan kandidat laki-laki. Pemilih masih akan cenderung memilih kandidat laki-laki yang dipandang lebih unggul untuk memimpin dan mengambil keputusan. Pandangan bahwa perempuan tidak layak untuk terjun ke politik juga mempengaruhi keputusan pemilih dalam memilih kandidat.

Selain bersaing dengan partai lain, kandidat juga bersaing dengan kandidat lain di dalam partai. Dalam konteks kandidat perempuan, partai akan condong mengajukan artis atau kandidat dengan modal ekonomi yang kuat. Mengingat ketimpangan ekonomi yang tinggi di Indonesia, kandidat perempuan yang berasal dari akar rumput tentunya akan semakin kesulitan untuk mengikut kontestasi dengan biaya yang tinggi ini.

Tawaran Solusi

Adapun tawaran yang dapat diimplementasikan untuk mendorong keterwakilan perempuan di parlemen adalah melalui sistem proporsional tertutup. Sistem pemilu proporsional tertutup memiliki keunggulan dibanding sistem proporsional terbuka. Partai politik dapat lebih leluasa untuk menentukan nama-nama yang nantinya akan duduk di parlemen.

Aturan yang saat ini mewajibkan minimal 30% kandidat perempuan dalam daftar calon tetap bisa diubah menjadi minimal 30% anggota dewan perempuan untuk masing-masing partai politik yang lolos ke parlemen. Ada perbedaan yang besar antara mengirim kandidat calon dengan mengirim perwakilan partai di parlemen. Jika sistem proporsional terbuka hanya bisa mengatur calon yang akan diajukan, sistem proporsional tertutup memungkinkan parpol untuk langsung mengatur proporsi keterwakilan perempuan di parlemen. Sistem ini akan lebih adil bagi kandidat perempuan potensial yang kesulitan bersaing di sistem proporsional terbuka karena nama mereka kurang dikenal dan tidak memiliki modal kampanye yang besar.

Solusi lain yang bisa coba dilakukan adalah dengan menerapkan sistem zipper murni dalam pencalonan anggota dewan. Saat ini sistem pemilu di Indonesia memang sudah menerapkan sistem zipper, namun bukan sistem zipper murni yang mana dalam urutan nomor 1,2, dan 3 sampai dengan seterusnya diisi oleh 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Seharusnya penerapan sistem zipper murni dalam penerapannya dapat mendorong proporsi 2 orang perempuan banding 1 orang laki-laki.

Penerapan sistem zipper saat ini diatur Pasal 246 UU 7/2017. Pasal ini mengatur bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon maka terdapat paling sedikit 1 orang bakal calon perempuan.  Dengan menerapkan sistem zipper murni maka potensi kandidat perempuan untuk dipilih akan meningkat karena namanya berada di urutan yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi partai politik perlu didorong untuk menempatkan kandidat perempuan di nomor urut 1 pada minimal 30% dari daerah pilihan.

Terakhir perlu edukasi secara masif kepada masyarakat tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam politik. Peran ini bukan hanya dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu tapi juga perlu adanya peran aktif dari partai politik termasuk untuk melaksanakan literasi politik terkait signifikansi keterwakilan perempuan di parlemen. Jika kesadaran sudah terbangun maka masyarakat bisa memberikan sanksi kepada partai politik yang tidak memiliki itikad baik untuk mendorong keterwakilan perempuan dengan cara tidak memilih partai politik tersebut. []

ANNISA ALFATH

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)