September 13, 2024

Nasib RUU Pemilu Setelah Dua Fraksi Menolak

Nasib kelanjutan Rancangan Undang-undang Pemilu kini menemui ketidakpastian setelah dua fraksi di DPR menyatakan menolak pembahasan RUU Pemilu diteruskan. Dinamika ini menimbulkan kerancuan di internal Komisi II DPR selaku pengusul RUU Pemilu, sebab draf RUU telah masuk ke Badan Legislasi DPR untuk diharmonisasi, dan dalam proses pengusulan untuk menjadi RUU inisiatif DPR.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa menegaskan, saat ini di dalam internal Komisi II belum ada pembahasan mengenai RUU Pemilu. Oleh karena itu, target penyelesaian RUU Pemilu pada 2021 akan tetap berusaha dipenuhi. Lagipula, draf RUU Pemilu itu telah sampai di Baleg DPR dan dalam proses harmonisasi dan sinkronisasi, serta pemantapan konsep.

”Ini kan sedang berproses di Baleg DPR dan nanti kita akan lihat dinamikanya. Ini justru merupakan momentum untuk membuat UU Pemilu yang sedang kita susun sekarang ini sebagai regulasi yang bukan untuk kepentingan sesaat. Justru kesadaran itu yang harus muncul,” ujarnya, Rabu (27/1/2021), saat dihubungi di Jakarta.

Soal sikap kedua fraksi, yakni PAN dan PPP, yang menolak pembahasan RUU Pemilu, Saan menegaskan, kedua fraksi di dalam tahap pembahasan telah ikut memberikan masukan. Draf yang kini ada di Baleg DPR pun adalah hasil masukan dari kedua fraksi. ”Ketika draf itu kami susun, itu semua fraksi terlibat, dan semua memberikan pandangan masing-masing ke dalam draf itu. Jadi, saya tidak tahu kalau ada perubahan sikap fraksi karena belum ada pembahasan di internal komisi,” katanya.

”Ini kan sedang berproses di Baleg DPR dan nanti kita akan lihat dinamikanya. Ini justru merupakan momentum untuk membuat UU Pemilu yang sedang kita susun sekarang ini sebagai regulasi yang bukan untuk kepentingan sesaat. Justru kesadaran itu yang harus muncul.”

Saan mengatakan, targetnya pada masa sidang ini Baleg DPR menuntaskan proses harmonisasi dan sinkronisasi. Selanjutnya, pada masa sidang berikutnya, pembahasan dengan pemerintah sudah bisa dimulai. Ia menegaskan, substansi dari draf RUU Pemilu itu pun belum final karena masih akan terbuka pada masukan fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah di dalam daftar isian masalah (DIM).

”Draf itu kan baru kompromi dari fraksi-fraksi sehingga draf RUU itu memenuhi syarat pembentukan UU. Sebab, sebelumnya, kami kan mengajukan draf kepada Baleg dalam bentuk alternatif, tetapi hampir tidak diterima karena tidak sesuai dengan ketentuan pembuatan draf RUU,” ucapnya.

Anggota Komisi II dari Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin mengatakan, opini sejumlah fraksi yang berbeda tentang pembahasan RUU Pemilu itu muncul dalam wacana publik. Hal itu juga belum disampaikan resmi sebagai sikap fraksi di internal Komisi II. ”Ini memang menjadi dinamika baru karena ada sejumlah fraksi yang menyatakan tidak ingin ada revisi UU Pemilu,” ujarnya.

Tidak mau diubah

Pada Senin (25/1) lalu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menyatakan fraksinya menolak perubahan Undang-undang Pemilu dilakukan. UU yang berlaku saat ini, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017, dipandang masih layak untuk diterapkan, dan selama ini dinilai tidak ada persoalan dalam penerapan UU tersebut.

Pendirian Fraksi PAN itu kemudian diikuti oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menginginkan agar UU Pemilu itu tidak diubah. Ketua Fraksi PPP Amir Uskara, yang dihubungi, Selasa (26/1), menilai perubahan UU Pemilu tidak perlu dilakukan setiap kali mau pemilu. UU yang ada saat ini masih layak diterapkan untuk 3-4 kali pemilu ke depan.

”UU Pemilu itu jangan dibuat seakan-akan setiap lima tahun sekali harus diubah. Kesannya, UU Pemilu dibuat untuk kepentingan pemilu sesaat. Pikiran kita harus untuk jangka panjang, dan dapat dipakai 3-4 kali pemilu barulah dievaluasi,” ucapnya.

”UU Pemilu itu jangan dibuat seakan-akan setiap lima tahun sekali harus diubah. Kesannya, UU Pemilu dibuat untuk kepentingan pemilu sesaat. Pikiran kita harus untuk jangka panjang dan dapat dipakai 3-4 kali pemilu barulah dievaluasi.”

Amir mengatakan, perubahan UU Pemilu yang dilakukan setiap lima tahun sekali berpotensi memicu hubungan antarpartai yang tidak harmonis. Pasalnya, setiap pembahasan RUU Pemilu pasti diwarnai tarikan kepentingan antarpartai. Setiap partai memiliki kepentingan yang berbeda-beda. PPP juga beralasan. dalam kondisi pandemi Covid-19, energi bangsa sebaiknya difokuskan untuk mengatasi persoalan pandemi.

Anggota Komisi II dari Fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, sikap fraksinya itu mengemuka setelah menghadiri dan melakukan diskusi terbatas dengan tokoh, pemerhati dan elemen masyarakat. Banyak hal yang amat fundamental, menurut Guspardi, yang dijadikan alasan agar RUU Pemilu ini ditunda atau dibatalkan untuk dibahas, terutama setelah melihat pandemi Covid-19 yang makin mengganas. ”Jadi lebih baik fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan mengutamakan keselamatan masyarakat,” ujarnya.

Menurut Guspardi, UU Pemilu dan UU Pilkada yang ada saat ini masih sangat relevan dijadikan dasar untuk melaksanakan pilpres, pileg dan pilkada. Apalagi, sejumlah ketentuan yang diatur di dalam kedua UU itu juga ada yang baru diterapkan satu kali pemilu. Di samping membuang energi, perubahan UU Pemilu juga menimbulkan kesan adanya kepentingan politik sesaat yang terselip, terutama dari partai-partai besar yang berkuasa.

Sikap Fraksi PAN itu sejalan dengan pandangan dari Fraksi PPP. Salah satunya yang secara fundamental ingin dikonstruksikan dalam revisi UU Pemilu kali ini ialah mengenai pengaturan UU Pemilu yang disatukan dengan UU Pilkada. Keduanya diatur di dalam satu UU, yakni UU Pemilu. Draf RUU Pemilu menyebutkan berlakunya normalisasi pilkada sehingga dalam waktu dekat pilkada yang akan digelar ialah Pilkada 2022 dan 2023. Dengan adanya dua pilkada dalam waktu dekat itu, mau tidak mau RUU Pemilu harus tuntas 2021.

Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi mengatakan, apa yang sudah diatur di dalam UU Pilkada telah melalui diskusi panjang dan kajian mendalam. Pelaksanaan pilkada serentak  2024, bulan November, yang diatur di dalam Pasal 201 Ayat (1) UU No 10/2016 tentang Pilkada bahkan belum dilakukan. ”Ketentuan itu juga dibuat melalui proses diskusi yang panjang dan mendalam dengan semangat hiruk pikuk politik itu selesai dalam satu tahun saja, tidak seperti saat ini. Ketentuan tersebut belum pernah diterapkan sama sekali, sehingga mubazir jika diubah,” katanya.

Baidowi beralasan, ada jeda waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk menyiapkan pilkada dan pemilu serentak. ”Jeda waktu dari pemilu legislatif dengan pilkada, tahun 2024, ada tujuh  bulan. Oleh karena itu,  tidak mengganggu teknis persiapan di lapangan,” ujarnya.

Konsistensi dipertanyakan

Peneliti Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, sikap penolakan dari dua fraksi itu terlambat. Sebab, saat ini proses penyusunan draf itu sudah masuk ke Baleg untuk proses harmonisasi. Artinya, dua partai itu sudah berada dalam satu semangat untuk ikut membahas RUU Pemilu itu. ”Tampaknya setelah melihat sikap sebagian fraksi, PPP dan PAN sudah mulai keder,” ujarnya.

”Mestinya sekarang PAN dan PPP memikirkan bagaimana caranya memberi masukan ke dalam RUU Pemilu itu. Sehingga RUU Pemilu itu nantinya bisa berlaku untuk jangka waktu yang lama. Saya kira, ketakutan parliamentary threshold akan dinaikkan lagi boleh jadi merupakan alasan sesungguhnya di belakang niat mereka menolak pembahasan RUU Pemilu.”

Konsistensi kedua fraksi itu pun dipertanyakan. Pasalnya, kedua fraksi tidak bersuara saat RUU Pemilu itu ditetapkan sebagai salah program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.  Alasan pandemi Covid-19 pun dinilai terlalu mengada-ada, sebab publik pun sudah mengetahui bahwa legislasi di DPR jalan terus sejak awal pandemi. Adapun dorongan untuk tidak mengubah UU Pemilu lima tahun sekali adalah pemikiran yang benar. Namun, sejak awal disepakati UU Pemilu akan direvisi.

”Mestinya sekarang PAN dan PPP memikirkan bagaimana caranya memberi masukan ke dalam RUU Pemilu itu. Sehingga RUU Pemilu itu nantinya bisa berlaku untuk jangka waktu yang lama. Saya kira, ketakutan parliamentary threshold akan dinaikkan lagi boleh jadi merupakan alasan sesungguhnya di belakang niat mereka menolak pembahasan RUU Pemilu,” ujarnya.

Dari sisi kalangan masyarakat sipil, Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz berpendapat, revisi UU Pemilu mendesak dilakukan saat ini. Revisi ini menjadi bagian dari komitmen bersama untuk membangun sistem politik yang lebih ajek dan berjangka panjang. Pasalnya, sejumlah persoalan memerlukan tindak lanjut berupa payung hukum.

”Soal keserentakan pemilu, putusan MK, penyelenggaraan pilkada, kelembagaan penyelenggara, dan proses pemilu, semuanya itu membutuhkan satu kerangka hukum. Tentu ini mendesak dan pada 2021 hendaknya tuntas. Jika tidak, berbagai masalah mau tidak mau harus kita terima, termasuk persiapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara,” kata August. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/27/nasib-ruu-pemilu-ditentukan-dinamika-politik-antarfraksi/