August 8, 2024

Netralitas ASN Kunci Pemilu Demokratis

Penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melalui revisi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) berpotensi meningkatnya pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu 2024. Pasalnya tidak ada lagi komisi independen yang mengawasi netralitas ASN dalam Pemilihan Umum (Pemilu).

“Kalau 2024 tanpa adanya KASN potensi pelanggaran netralitas itu akan tinggi, ditambah banyak penjabat (pj) kepala daerah yang tidak dipilih melalui Pemilu, yang hanya bertanggung jawab pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Presiden. Sementara DPR sibuk kampanye,” kata Ade Reza Hariyadi, Dosen Universitas Krisnadwipayana di Kantor Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta, (26/12).

Ade Reza mengatakan, berdasarkan temuan KASN, pada tahun 2022 terdapat sekitar 2.073 kasus netralitas ASN dan 77,5% terbukti melakukan pelanggaran. Bentuknya berupa memanfaatkan sumber daya negara melalui kebijakan dan anggaran untuk kepentingan politik.

“Jadi bisa dibayangkan tanpa supervisi yang efektif maka potensi tidak netral itu dapat terjadi. Bansos ini akan berlangsung sampai bulan Juni, sepanjang itu bansos bisa digunakan sebagai alat politik,” tuturnya.

Hal senada juga disampaikan Titi Anggraini, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia menyanyangkan penghapusan peran KASN, padahal kontribusi KASN dalam upaya menjaga netralitas ASN sangat baik.

“Netralitas ASN ini sangat krusial sekali. Karena pada Pemilu 2014 dan 2019 beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) perlu dilakukan pemilihan ulang karena ketidaknetralan,” kata Titi.

Menurutnya ketidaknetralan ASN dapat merusak prinsip adil dan setara dalam Pemilu, yang berujung ketidakpuasan pada proses Pemilu. Dampak buruknya pembangkangan terhadap pemerintahan yang terbentuk melalui proses Pemilu.

“Hasilnya pemerintah sulit untuk bekerja efektif, karena terus diganggu isu legitimasi Pemilu,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Titi menjelaskan, terdapat perbedaan kerangka hukum pengaturan netralitas ASN dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam UU Pemilu ASN hanya dapat diproses jika terlibat sebagai pelaksana dan tim kampanye resmi yang didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara pada Pilkada, menyebutkan kampanye pasangan calon dilarang melibatkan ASN.

“Jadi dalam Pilkada ASN dilarang menunjukkan keberpihakan dalam bentuk apapun,” jelasnya.

Dari jumlah putusan pengadilan untuk tindak pidana Pemilu dan Pilkada angka pelanggaran netralitas ASN dari tahun ke tahun kian meningkat. Pada Pilkada 2018 terdapat 33 putusan terkait netralitas ASN, di Pilkada 2020 meningkat menjadi 73 putusan. Sementara pada Pemilu 2019 dari 361 putusan, terdapat 31 putusan netralitas kepala desa.

“Ketidaknetralan ASN itu nyata. Itu bukan barang baru, wajar kalau publik bersuara keras soal itu,” imbuhnya.

Menurutnya, pencegahan yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat konsolidasi masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok masyarakat berpengaruh untuk mengawal serta pelaporan pelanggaran netralitas ASN. Hal itu bisa dimulai dengan memperkuat kemampuan pemilih mendeteksi, menganalisis, dan mengungkap pelanggaran netralitas ASN.

“Apa yang boleh, apa yang tidak boleh, seperti apa yang disebut tidak netral. Ini pemilih kita perlu diedukasi, lebih banyak lagi konten media sosial yang perlu menampilkan boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh aparat kita,” pungkas Titi.

Sementara itu Sidratahta Mukhtar, penulis buku “Polri di bawah Presiden” mengatakan, meski sudah didukung reformasi kepolisian pada tahun 2002, kepolisian merupakan salah satu institusi yang sangat sulit dikontrol. Ia menuturkan sistem kepolisian di Indonesia sangat sentralistik, 400 ribu polisi hanya dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).

“Meskipun di dalam konstitusi polisi tunduk pada hukum, namun di Indonesia ini unik, juga menganut sistem komando, bahwa netralitas itu dikaitkan dengan mandat” jelasnya.

Menurutnya, netralitas kepolisian erat kaitannya dengan konsistensi polisi dalam menegakkan hukum dalam pra Pemilu dan pasca Pemilu. Namun dalam struktur ketatanegaraan polisi adalah unsur pemerintah di bidang keamanan dan hukum.

“Saya melihat kerentanan polisi dalam netralitas, karena sistem komando sampai tingkat paling bawah. Akan terjadi ketidaknetralan kalau tidak ada pengawasan, menurut saya makin rendah tingkat pengawasan, makin tinggi abuse of powernya,” terang Sidratahta.

Pada masa Pemilu sangat perlu untuk meningkatkan pengawasan terhadap peran polisi, agar wibawa institusi tetap terjaga. Menurutnya, netralitas kepolisian haruslah memiliki ukuran-ukuran dari prinsip hukum yang sudah ditetapkan. Untuk itu ia mengingatkan, masyarakat sipil untuk tidak hanya mengawasi politik elektoral saja, tetapi juga memberi perhatian pada ancaman penyalahgunaan kekuasaan.

“Dengan sistem kepolisian yang sentralistik ini, peran aktor-aktor dan petinggi-petinggi kepolisian untuk bisa netral sangatlah penting,” tutupnya.

Hal itu juga ditekankan oleh Herdi Syahrasyad, Peneliti dan Dosen universitas Paramadina, menurutnya dengan sistem kepolisian yang tersentral pada Kapolri, harusnya terdapat mekanisme kontrol yang kuat untuk netralitas seluruh polisi. Melalui itu masyarakat dapat mempercayai institusi kepolisian dan hasil Pemilu.

“Kenetralan bukan hanya dengan kata-kata tapi juga dibuktikan di lapangan supaya kepercayaan publik tetap terjaga. Karena kepercayaan pada negara adalah segalanya,” tutur Hendi.