August 8, 2024

Nilai Lain Perppu MK

Ditekennya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden SBY memunculkan banyak perdebatan. Sebagian anggota DPR mengatakan ini adalah tindakan presiden yang inkonstitusional, karena perppu dikeluarkan tidak dalam hal ihwal kegentingan memaksa sebagaimana mana syarat utama diterbitkannya perppu (Kompas, 18 Oktober 2013). Sementara banyak kalangan akademisi menilai ini adalah langkah brilliant di tengah kekecewaan publik yang teramat sangat kepada jalannya pemerintahan SBY.

Langkah penerbitan perppu dipandang sebagai upaya nyata dalam menyelamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) secara kelembagaan. Ada beberapa poin penting yang patut diapresiasi dalam Perppu 1/2013. Pertama, untuk menjadi hakim konstitusi tidak diperbolehkan terlibat dengan partai politik selama tujuah tahun berturut-turut. Kedua, untuk proses seleksi hakim konstitusi akan dilaksankan secara terbuka oleh panel ahli, yang akan menjadi forum seleksi kapasitas dan integritas bagi para calon hakim konstitusi, dari tiga lembaga pengusul, yakni Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Ketiga, dibentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang bersifat permanen, dan bersekretariat di Komisi Yudisial.

Tetapi, saya ingin keluar dari perdebatan yang ada. Keluar dari diskursus apakah perppu ini masih tepat dikeluarkan atau tidak.  Serta tidak juga akan menanggapi, apakah model pengawasan dengan mempermanenkan MKHK yang akan berkantor di KY, akan efektif atau tidak. Untuk saat ini, Perppu  1/2013 tentang perubahan kedua UU 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ini sudah diteken presiden. Artinya, secara hukum, perppu tersebut telah berlaku dan bisa dilaksanakan sepenuhnya.

Pengakuan dosa

Ada materi menarik yang harus disorot dari dikeluarkannya Perppu 1/2013. Ini menyangkut soal proses seleksi hakim konstitusi yang dipertegas di dalam Perppu menyebutkan bahwa, seleksi hakim konstitusi harus dilaksanakan secara terbuka oleh panel ahli, yang dibentuk untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan dari calon hakim MK yang diusulkan oleh tiga lembaga, Presiden, DPR, dan MA.

Ini tentu mengejutkan. Perppu yang notabene adalah “karya solo”  presiden secara kelembagaan, bisa diartikan mengakui bahwa ada persoalan dalam proses seleksi calon hakim konstitusi. Proses seleksi yang tidak transparan dan terbuka, telah membuktikan orang yang dipilih dengan cara demikian, sungguh memprihatinkan kredibilitas dan integritasnya.

Tunjuk presiden tentu saja mengarah kepada DPR, lembaga yang memilih Akil Mochtar untuk periode kedua menjadi hakim konstitusi tanpa melakukan fit and propertest secara terbuka dan transparan. Tertangkap tangannya Akil Mochtar yang kini sedang diperiksa KPK sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan pemilukada di MK, seolah menjelaskan bahwa pemilihan yang tidak transparan, terbuka, dan tanpa mendengarkan masukan publik mengakibatkan terpilihnya orang yang salah.

Tulisan ini bermaksud untuk mengingatkan presiden, bahwa beberapa bulan yang lalu presiden juga melakukan hal yang sama. Presiden melakukan “penunjukan langsung” terhadap Patrialis Akbar menjadi hakim MK, tanpa melakukan fit and propertest, apalagi mendengarkan masukan publik. Berbagai cara yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil yang peduli terhadap MK coba menghentikan langkah presiden agar tidak melantik Patrialis Akbar menjadi hakim MK. Tetapi presiden bergeming. Patrialis Akbar akhirnya tetap dilantik menjadi hakim MK dengan Keputusan Presiden Nomor 87/P Tahun 2013 tertanggal 22 Juli 2013.

Proses hukum

Pengangkatan Patrialis Akbar menjadi hakim MK, berujung pada gugatan Tata Usaha Negara (TUN) oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Objek gugatan adalah Keppres No. 87/P Tahun 2013. Proses hukum terhadap gugatan ini masih sedang berlangsung.

Proses hukum di pengadilan tata usaha negara ini, seharusnya terkena dampak dari dikeluarkan Perppu 1/2013. Jika dilihat lebih jauh, seharusnya hakim yang menyidangkan perkara gugatan terhadap Keppres 87/P tahun 2013, memperhatikan substansi soal proses seleksi hakim MK di dalam Perppu 1/2013, yang juga merupakan inti persoalan di dalam gugatan terhadap presiden.

Benang merahnya adalah, Perppu yang dikeluarkan presiden, secara tidak langsung telah mengatur dan mengakui bahwa, proses pengangkatan hakim MK tanpa adanya seleksi yang terbuka dan transparan merupakan tindakan yang keliru. Bahkan, Perppu yang sudah ditekan presiden sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan sah untuk dilaksanakan.

Jika hakim PTUN yang sedang memeriksa gugatan terhadap Keppres 87/P Tahun 2013 jeli, Perppu 1/2013 harus menjadi pertimbangan. Karena substansi persoalan di dalam meteri gugatan yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK sudah secara jelas diatur di dalam Perppu 1/2013. Bahwa proses seleksi terhadap calon hakim MK, harus dilakukan secara terbuka dan dilaksanakan oleh panel ahli. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, itu artinya ada pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika memang ingin memperbaiki MK secara menyeluruh, inilah saatnya. Jika presiden telah “mengakui dan membantu” dengan mengeluarkan perppu, hakim PTUN yang menyidangkan gugatan Keppres No. 87/P 2013 bisa secara cermat dan adil dalam memutus gugatan yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK.

MK untuk 2014

MK punya peran vital dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2014 mendatang. Jika kita berbicara prosedur formal, proses panjang persiapan pemilu hasilnya baru akan diketahui kepastiannya setalah selesainya proses sengketa di MK. Artinya, akhir dari proses pesta demokrasi akan disudahi dengan adanya putusan MK, dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu.

Kita tentu sangat tidak menginginkan “hajatan” demokrasi yang akan menentukan nasib bangsa lima tahun kedepan akan diputus dan diselesaikan oleh orang diragukan integritrasnya (baca:hakim konstitusi). Momen penangkapan hakim MK, dan dikeluarkannya Perppu 1/2013 oleh presiden adalah bentuk nyata dalam membersihkan dan menyelematkan MK. Benturan kepentingan yang teramat keras, dan perseteruan politik dalam memperebutkan kekuasaan dalam suatu pemilu tentu menjadi tantangan tersendiri bagi MK.

Oleh sebab itu, MK perlu dilindungi. Hakim MK haruslah orang yang murni mengabdikan dirinya sebagai negarawan yang mempunyai misi menjaga konstitusi dan mengawal demokrasi. Sembilan orang penjaga konsitusi itu haruslah orang yang telah “selesai” dengan kepentingan uang, politik, dan kekuasaan. []

FADLI RAMADHANIL

Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)