August 8, 2024

”Omnibus Law” Bidang Politik Disambut Baik

Rencana pemerintah dan parlemen untuk menyederhanakan sistem politik dan pemerintahan dengan menggabungkan sejumlah undang-undang terkait cenderung beroleh tanggapan positif. Sejumlah catatan diberikan terutama yang berhubungan dengan proses elektoral dalam demokrasi.

Peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Kamis (2/1/2020), mengatakan, rencana menggabungkan sejumlah aturan atau norma dalam undang-undang yang terkait itu merupakan terobosan baik. Hal ini terutama terkait dengan penggabungan sejumlah UU yang berhubungan dengan proses elektoral.

Ferry menilai hal itu penting agar jangan sampai ada keputusan atau norma yang tidak berhubungan antara satu dengan yang lain. Upaya tersebut bisa memastikan adanya mekanisme persyaratan yang seiring dan sejalan di tingkatan jabatan presiden, kepala daerah, dan lembaga legislatif.

”Termasuk hal-hal teknis kepemiluan dan juga harus ditegaskan bahwa proses pilkada itu, kan (termasuk), pemilu,” sebut Ferry.

Selain adanya kepastian bahwa proses pilkada dan pemilu berada dalam satu pengaturan, Ferry menilai yang juga penting ialah mengintegrasikan aturan kependudukan. Hal ini penting agar proses pemutakhiran data pemilih menjadi sinkron dan terarah.

Dengan demikian, terjadi praktik pendaftaran serta pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan (continuous register). Ia menilai praktik pendaftaran data pemilih selama ini cenderung tidak berkelanjutan sekalipun hal itu diamanatkan dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.

Hal lain yang juga penting, imbuh Ferry, adalah sejumlah aturan terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi. Ini misalnya berhubungan dengan aturan kampanye di media sosial, menajamen elektoral dalam konteks transparansi teknologi informasi, dan sebagainya.

Disinggung mengenai waktu implementasi UU hasil penggabungan tersebut, Ferry berharap proses pembahasannya selesai pada akhir 2020 atau tahun 2021. Hal ini diperlukan agar persiapan oleh penyelenggara dan peserta pemilu dapat berjalan baik dan efektif.

Ia memproyeksikan UU hasil penggabungan atau kodifikasi sejumlah aturan terkait praktik elektoral itu akan digunakan sebagai landasan penyelenggaraan Pemilu 2024.

KPU setuju

Anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, mengatakan, pihaknya menyambut baik gagasan pemerintah dan DPR itu. Ia mengatakan, di masa depan, regulasi terkait pemilu, pilkada, dan partai politik selaku peserta pemilu mesti berada dalam kodifikasi hukum yang lebih komprehensif.

Menurut Wahyu, rencana kodifikasi UU Parpol, UU Pemilu, dan UU Pilkada dalam pandangan KPU mendesak dan relevan untuk dilakukan. Karena faktanya, imbuh Wahyu, beberapa norma yang ada dalam UU Pilkada ataupun UU Pemilu tidak selalu selaras.

”Apabila kemudian ada kodifikasi lebih komprehensif, KPU berkepentingan agar regulasi pilkada, pemilu, dan peserta pemilu menjadi bagian integral yang tali-temali,” ujar Wahyu.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, Selasa (31/12/2019), mengatakan sejumlah undang-undang yang terkait menurut rencana bakal digabungkan untuk menyederhanakan sistem politik.

Bahtiar mengatakan, sejumlah UU tersebut adalah UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3), dan UU Pemerintahan Daerah.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, Rabu (1/1/2020), mengatakan bahwa UU yang coba disatukan adalah UU Parpol, UU Pemilu, dan UU Pilkada. Sementara UU Pemerintahan Daerah diusulkan direvisi dengan memasukkan pengaturan tentang DPRD ke dalam UU Pemerintahan Daerah. Hal ini membuat UU MD3 kelak menjadi UU MD2, yang hanya mengatur tentang MPR, DPR, dan DPD. (INGKI RINALDI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/polhuk/2020/01/03/undang-undang-penyederhanaan-sistem-disambut-baik/