January 31, 2025

Omnibus Law dalam Revisi UU Pemilu Berisiko Diselewengkan

Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (PUSaKO Unand), Charles Simabura, menilai penggunaan metode omnibus law dalam revisi Undang-Undang Kepemiluan berisiko diselewengkan. Ia khawatir Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya akan merevisi pasal-pasal yang dianggap strategis bagi kepentingan politik tertentu.

“Kalau kita menggunakan omnibus law, saya khawatir ada cherry picking. Hanya pasal yang krusial diperdebatkan, padahal ada hampir 155 pengujian UU Pemilu di MK yang tersebar,” ujar Charles dalam diskusi Perludem bertajuk “Urgensi Kodifikasi UU Pemilu”, (26/1).

Charles menyoroti kecenderungan DPR yang hanya fokus pada isu-isu tertentu seperti presidential threshold, sementara pasal-pasal lain yang juga membutuhkan perubahan sering diabaikan. Padahal revisi yang komprehensif diperlukan agar aturan kepemiluan lebih solid dan tidak hanya menguntungkan kelompok politik tertentu.

Diketahui, wacana revisi UU Pemilu dan UU Pilkada sudah bergulir sejak rangkaian Pemilu dan Pilkada 2024 berakhir. Kedua UU tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. DPR pun sempat mengusulkan agar revisi dilakukan dalam satu paket menggunakan model omnibus law.

Menurut Charles, dalam membangun sistem pemilu yang terintegrasi, metode kodifikasi lebih tepat dibandingkan omnibus law.

“Kalau metode omnibus, mereka bisa memilih-milih. Tapi kalau mau lebih dalam, mumpung waktunya panjang, gunakan metode kodifikasi sehingga revisinya tidak hanya bicara soal putusan MK yang punya dampak politis saja,” tegasnya. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.