September 13, 2024

Pandemi Covid-19 Dianggap Tak Cukup untuk Menunda Pilkada

Peta zona risiko Covid-19 yang menunjukkan situasi pandemi di suatu daerah tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan untuk menunda Pemilihan Kepada Daerah atau Pilkada 2020. Daerah zona merah atau risiko tinggi tetap bisa menyelenggarakan pilkada sepanjang dinilai tidak perlu dilakukan penundaan yang diputuskan dari berbagai alasan pembenar secara komprehensif.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, KPU kabupaten/kota dan provinsi memiliki kewenangan untuk menunda pelaksanaan pilkada melalui supervisi dari KPU pusat. Namun, penundaan harus berdasarkan alasan pembenar yang komprehensif, tidak hanya dari satu alasan.

Dalam situasi pandemi Covid-19 yang belum terkendali, peta zona risiko yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) setiap pekan tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan untuk memutuskan penundaan. Sebab, peta zona risiko selalu berubah tiap pekan sehingga data yang digunakan pada suatu masa tidak bisa dijadikan ukuran.

”Kita harus melihat secara lebih luas, tidak hanya pada salah satu aspek (peta zona risiko) yang kemudian menjadi pertimbangan apakah pilkada dilanjutkan atau tidak,” kata Raka saat diskusi webinar bertajuk ”Meneropong Kelanjutan Pilkada Serentak di Tengah Pandemi, Rilis Hasil Analisa Big Data” yang diselenggarakan Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Komap), Rabu (13/10/2020).

Selain Raka, hadir sebagai pembicara, Ketua Tim Peneliti PolGov dan Big Data Analytics Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Mada Sukmajati.

Peta zona risiko dibuat BNPB berdasarkan sejumlah indikator kesehatan masyarakat dengan menggunakan scoring dan pembobotan. Ada empat jenis zona, yakni zona merah (risiko tinggi), zona oranye (risiko sedang), zona kuning (risiko rendah), dan zona hijau (tidak ada kasus dan tidak terdampak). Di beberapa daerah, peta zona risiko digunakan sebagai salah satu acuan dalam mengambil kebijakan pembatasan sosial.

Daerah yang pada suatu masa masuk kategori zona hijau atau kuning masih dimungkinkan berubah menjadi zona merah pada saat pencoblosan, begitu pula sebaliknya. Perubahan itu diukur berdasarkan indikator yang telah ditentukan. Pada daerah penyelenggara pilkada, misalnya, zona merah per 12 Oktober sebanyak 31 daerah, berkurang dari sepekan sebelumnya 45 daerah.

Menurut Raka, situasi pandemi perubahannya sangat dinamis, berbeda dengan bencana alam yang penanganannya bisa diprediksi. Oleh sebab itu, peta zona risiko yang berubah setiap pekan sulit dijadikan satu-satunya alasan untuk mengambil keputusan penundaan secara penuh ataupun parsial.

Dalam menunda pilkada, ia mencontohkan ada beberapa aspek yang menjadi pertimbangan. Selain faktor pandemi, alasan lain yang perlu dipertimbangkan adalah masalah anggaran dan regulasi.

Dari sisi anggaran, seluruh dana yang diperlukan untuk pelaksanaan pilkada telah dicairkan, yakni berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditambah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Di antaranya untuk pengadaan alat pelindung diri bagi penyelenggara pemilu.

”Sedangkan dari segi regulasi, peraturan-peraturan telah diterbitkan meskipun ada yang perlu disempurnakan,” ucap Raka.

Untuk mengurangi potensi penularan akibat pilkada, pihaknya telah mengatur tahapan-tahapan pemilu sesuai protokol kesehatan. Pada masa kampanye, pertemuan terbatas hanya bisa diikuti maksimal 50 orang, jauh lebih sedikit dibandingkan situasi normal yang bisa diikuti hingga 2.000 orang.

Dalam tahapan pemungutan suara, jumlah pemilih tiap tempat pemungutan suara (TPS) dikurangi dari maksimal 800 pemilih tiap TPS menjadi maksimal 500 pemilih di tiap TPS. Pemilih yang suhu tubuhnya di atas 37,3 derajat celsius menggunakan bilik khusus untuk mencoblos surat suara.

Belum yakin

Mada menuturkan, analisis big data (mahadata) pemberitaan media daring dan media sosial Twitter yang dikumpulkan selama 1 Maret hingga 30 September 2020 menunjukkan, masyarakat belum sepenuhnya yakin dengan rancangan pemerintah dalam menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Pemberitaan mengenai penundaan pilkada mayoritas dikaitkan dengan isu kesehatan, disusul isu hukum, politik, ekonomi, dan sosial.

”Hal ini menunjukkan bahwa isu kesehatan merupakan isu yang paling banyak mendapat perhatian. Sedangkan keresahan warganet berpusat pada keselamatan rakyat, nyawa, kemanusiaan, dan dampak pandemi,” ucapnya.

Oleh sebab itu, lanjut Mada, KPU perlu melakukan upaya yang berkesinambungan untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka telah mendesain setiap tahapan pilkada dengan baik. Berbagai tahapan terutama telah dilakukan sesuai protokol kesehatan untuk mengurangi potensi munculnya kluster penularan akibat pilkada.

Dihubungi secara terpisah, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, prosedur penundaan pilkada secara parsial lebih mudah dilakukan karena tidak perlu persetujuan antara KPU, DPR, dan pemerintah.

Dalam beberapa kali penundaan pilkada, antara lain disebabkan perselisihan hukum, anggaran yang tidak cair, dan keterlambatan logistik.

Dalam situasi pandemi seperti sekarang, KPU perlu memperhatikan situasi penularan Covid-19 di daerah. Pilihan melanjutkan atau menunda perlu mempertimbangkan masukan dari Satuan Tugas Covid-19 daerah atau dinas kesehatan setempat. ”Tentu keputusannya harus obyektif berdasarkan data, jangan dipolitisasi,” katanya.

Sayangnya, menurut dia, KPU  belum menentukan indikator dan prosedur untuk KPU daerah dalam menentukan penundaan pilkada. Akibatnya, KPU kabupaten/kota ataupun provinsi kesulitan menentukan opsi untuk menunda pilkada, padahal peluang itu telah diatur dalam undang-undang.

”Kalau tidak ada aturan teknis, KPU di daerah sulit mengambil keputusan menunda pilkada,” ucap Titi. (IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/10/13/pandemi-covid-19-dianggap-tak-cukup-untuk-menunda-pilkada/