Banyak pihak mendorong Komisi Pemilihan Umum untuk tidak menggelar pemungutan suara pada Desember 2020. Mereka menilai penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 terlalu berisiko pada keselamatan penyelenggara, pemilih, dan calon peserta Pilkada. Pilkada di masa pandemi juga akan menurunkan kualitas kontestasi demokrasi.
Kualitas kontestasi demokrasi yang dimaksud di antaranya angka partisipasi warga. Ada kekhawatiran angka partisipasi pemilih di Pilkada 2020 tidak akan setinggi Pemilu 2019. Agar kekhawatiran tersebut tidak terjadi mereka mendorong KPU menunda Pilkada sampai 2021.
Sebagai penyelenggara pemilu penulis ingin memberi sedikit gambaran tentang angka partisipasi. Menurut penulis akan sangat tidak tepat bila kekhawatiran pada angka partisipasi jadi alasan untuk menunda Pilkada. Ada banyak faktor teknis yang menyebabkan dua hasil pemilihan itu akan pasti berbeda.
Jumlah aktor
Di Pemilu 2019 ada 20 partai politik dengan ribuan calon legislatif (caleg) dari level nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dari September 2018 sampai April 2019 (tujuh bulan) mereka datang ke desa-desa untuk mengenalkan diri sekaligus membentuk tim sukses. Para celeg ini satu sama lain bersaing untuk bisa memastikan bisa terpilih menjadi wakil rakyat.
Kabupaten Pemalang bisa jadi contoh kecil. Bersama Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Batang, kabupaten ini masuk daerah pemilihan (Dapil) X Jawa Tengah DPR RI. Di Dapil ini ada 93 caleg yang berkompetisi memperebutkan tujuh kursi di Senayan.
Latar belakang caleg di Dapil X Jawa Tengah ini beragam. Di antara mereka ada politisi kawakan yang sering muncul di televisi nasional, tokoh kepemudaan, tokoh agama, artis papan atas, dan pedangdut terkenal. Semua punya popularitas, sumber daya uang, dan tim pemenangan sampai level RT/RW.
Pemilu 2019 juga diramaikan dengan hadirnya calon-calon wakil rakyat untuk DPRD Provinsi serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Pemalang bersama Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Batang masuk dalam Dapil Jawa Tengah XIII. Ada 123 caleg yang berebut 12 kursi. Sedangkan untuk DPD RI ada 20 nama yang bertarung untuk menjadi empat besar mewakili Jawa Tengah di Senayan. Meski tidak seagresif caleg dari partai politik mereka juga berkampanye mengajak warga untuk hadir ke TPS.
Mobilisasi paling hebat untuk menghadirkan pemilih ke TPS dilakukan oleh caleg DPRD Kabupaten/Kota. Caleg-caleg ini memiliki berbagai kelebihan. Sebagian besar lahir serta menetap di Dapil tempat mereka berkontestasi. Mereka juga memiliki jaringan keluarga besar dan mengenal pemilih secara personal sehingga leluasa mengamankan lumbung suara di TPS-TPS incaran.
Kelebihan-kelebihan ini membuat mereka mampu intensif turun ke bawah menemui calon pemilih. Modal sosial yang mereka miliki juga membuat mereka lebih mudah mendulang suara. Jadi tidak mengherankan bila angka partisipasi pemilih di TPS sekitar tempat tinggal caleg DPRD Kabupaten/Kota selalu lebih tinggi dibanding TPS yang tidak ada calegnya.
Nama besar Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden juga jadi kunci tingginya angka partisipasi pemilih. Kualitas dua figur nasional itu telah menarik warga untuk berduyun-duyun datang ke TPS. Jadi, kualitas calon di level nasional serta mobilisasi caleg di tingkat lokal itulah yang kemudian berujung pada tingginya angka partisipasi pemilih. Sejarah sudah mencatat kesuksesan partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 81 persen.
Kontestasi di Pilkada?
Jumlah dan kualitas kontestan yang mendaftar ke KPU akan sebanding dengan angka partisipasi Pilkada. Intinya makin banyak pasangan calon dengan kualitas mumpuni akan memicu mesin-mesin politik di lapangan lebih efektif menarik pemilih. Dalam bahasa sederhana makin banyak tim sukses akan mendorong lebih banyak pemilih untuk hadir ke TPS.
Tentu saja aktor-aktor yang berlaga di Pilkada tidak akan sebanyak pada Pemilu 2019. Calon bupati/walikota/gubernur yang muncul kualitasnya juga tidak akan setara calon presiden. Apalagi di daerah-daerah dengan satu kandidat (calon tunggal), capaian angka partisipasinya tidak akan diharapkan bisa setinggi Pemilu.
Ini bukan berarti penulis cuek kepada angka partisipasi warga di Pilkada. Bagaimanapun juga partisipasi warga baik di Pemilu maupun Pilkada sangatlah penting bagi masa depan demokrasi. Angka partisipasi ini akan jadi bukti sekaligus motivasi awal kepedulian warga pada persoalan-persoalan politik yang sedang terjadi baik di pusat maupun daerah.
Di sisi lain para kontestan di Pemilu maupun Pilkada juga butuh angka partisipasi warga. Tinggi rendahnya angka partisipasi warga akan jadi indikator absah tidaknya kekuasaan mereka di mata warga (diakui sebagai pemimpin). Intinya makin tinggi angka partisipasi akan makin besar kedudukan mereka di mata warga begitu juga sebaliknya.
Sampai saat ini KPU masih berpegang pada isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020. Perppu yang mengatur soal penundaan Pilkada 2020 itu menyebutkan waktu pemungutan suara yang semula September akan ditunda menjadi Desember 2020. Tapi Perppu juga menyatakan penundaan bisa dilanjut lebih lama bila bencana nonalam Covid-19 belum juga berakhir.
Untuk memastikan Pilkada benar-benar aman KPU sudah berkirim surat ke Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Melalui surat itu KPU menanyakan kapan pandemi Covid-19 dinyatakan selesai serta akan ada tidaknya masa pemulihan. Jawaban dua pertanyaan itu akan menjadi dasar KPU untuk menentukan kelanjutan tahapan Pilkada 2020. []
AGUS SETIYANTO
Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah