Partai politik perlu mengubah strateginya dalam mendekati pemilih dari generasi Z dan Y yang lebih kritis dan tertarik dengan isu yang dekat dengan keseharian mereka. Dengan waktu tersisa sekitar 2,5 tahun sebelum Pemilu 2024, parpol harus mulai bekerja keras mengubah pendekatan, baik dalam tawaran kebijakan maupun pola komunikasinya, untuk generasi itu.
Apalagi, porsi pemilih Gen Y dan Z cukup besar. Berkaca dari data Komisi Pemilihan Umum, misalnya, pemilih berusia maksimal 30 tahun saja sudah 60,3 juta jiwa atau 31,7 persen dari total pemilih tetap Pemilu 2019.
Di sisi lain, survei Litbang Kompas pada Oktober 2021 menunjukkan, porsi responden dari Gen Z (di bawah 24 tahun) yang belum menentukan pilihan pada partai politik masih 48,1 persen, tertinggi dibandingkan dengan Gen Y (24-39 tahun), X (40-55), dan Baby Boomers (56-74). Proporsi itu lebih tinggi dari rata-rata undecided voters lintas generasi yang 40,8 persen.
Di sisi lain, tiga besar parpol yang dipilih responden Gen Z dan Y cenderung sama dengan tiga generasi lain, yakni PDI- P, Partai Gerindra, dan Partai Golkar. Namun, proporsi akumulasi elektabilitas tiga parpol itu dibandingkan parpol lainnya berbeda setiap generasi, yakni Gen Z (31,2 persen), Y (33,7), X (35,6), dan Baby Boomers (50,6).
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, saat dihubungi, Rabu (20/10/2021), mengatakan, Gen Y dan Z adalah pemilih cerdas. Mereka merupakan segmen pemilih yang paling kritis karena menguasai informasi. Untuk sepenuhnya dapat merangkul Gen Y dan Z, penting bagi parpol-parpol melakukan transformasi agar bisa merespons kecenderungan politik mereka.
Isu keseharian
Jika parpol mapan tak mampu mengakomodasi aspirasi anak-anak muda ini, lanjut Yunarto, ada potensi mereka akan jadi penyumbang golongan putih (golput) yang besar. Partisipasi politik generasi muda ini sangat ditentukan keterikatan isu yang dibawa parpol dengan persoalan keseharian. Gen Z dan Y lebih tertarik pada isu-isu riil keseharian daripada isu-isu normatif.
Untuk bisa menyesuaikan dengan aspirasi ini, parpol harus segera mengubah pendekatan pembuatan kebijakan dan cara berkomunikasi dengan generasi muda. ”Parpol tak bisa lagi bicara isu-isu makro semata atau menggunakan bahasa normatif. Harus mulai ke isu mikro yang menyangkut keseharian dan masuk ke komunitas-komunitas mereka,” ujarnya.
Isu-isu keseharian itu, misalnya, tentang kelayakan transportasi publik yang sehari-hari mereka gunakan dan penyediaan ruang publik untuk mengisi libur di akhir pekan. ”Parpol harus bisa memenuhi kebutuhan konkret keseharian anak muda seperti itu,” kata Yunarto.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, hal lebih esensial yang sebenarnya ingin dilihat Gen Y dan Z dari parpol adalah ada tidaknya kebijakan-kebijakan yang pro terhadap generasi muda. ”Hal ini menyangkut isu-isu yang menarik generasi muda, seperti soal demokrasi yang bersih, pemberantasan korupsi yang bagus, lingkungan, penganggur usia muda, dan entrepreneurship tapi yang khas generasi mereka,” katanya.
Hanya saja, baik Yunarto maupun Bhima menilai partai belum banyak membahas isu yang menjadi perhatian generasi muda.
Pelibatan langsung
Posisi krusial Gen Y dan Z ini disadari parpol-parpol. Mereka mulai berupaya menyiapkan strategi khusus untuk mengelola potensi suara generasi ini.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo mengatakan, PDI-P ingin anak muda terlibat dalam kegiatan kepartaian dan organisasi. Menurut Arif, sekitar 80 persen pengurus PDI-P di tingkat anak ranting, ranting, dan cabang, usianya di bawah 35 tahun. Ke depan, dalam strategi pemenangan pemilu ”komandan lapangan” yang akan diterjunkan PDI-P adalah anak-anak muda ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, untuk mendekati Generasi Y dan Z, pihaknya menampilkan sosok muda dalam kursi pimpinan alat kelengkapan dewan di DPR. Seluruh pimpinan Golkar juga diwajibkan membuat akun media sosial dan aktif menggunakannya sebagai media komunikasi dengan publik.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, sejauh ini Demokrat telah menyesuaikan media dan penyajian kampanye dengan selera anak muda. Demokrat juga menampilkan sosok Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono yang dinilai memiliki kedekatan dan kesamaan isu dengan Gen Y dan Z. Melalui sosok AHY, ia optimistis dapat menjalin hubungan baik dan mendapatkan tempat di antara generasi muda.
Sementara itu, karena Gen Y dan Z tak suka digurui atau digiring ke arah tertentu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, pihaknya lebih memilih menyosialisasikan hasil kerja yang menguntungkan kaum muda ketimbang mengklaim sebagai partai anak muda.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menurut Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani, memiliki organisasi pemuda yang berupaya menggaet generasi muda di perdesaan dan kaum milenial urban. Mereka menggelar aktivitas bersama generasi muda.
Ketua Bidang Humas DPP Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Mabruri mengatakan, untuk menggaet Gen Z dan Y, PKS terus membuat program yang langsung bisa dirasakan manfaatnya dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya petani muda milenial serta PKS Digital School yang memberi keterampilan analisis, kreasi konten, dan perangkat lunak untuk pemasaran digital. Pendekatan PKS kepada generasi muda juga dilakukan melalui media sosial. (REK/NIA/SYA/CAS)
Dikliping dari artikel yang terbir di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/21/parpol-perlu-kerja-keras-rangkul-generasi-z-dan-y