Idealnya ketentuan afirmasi perempuan bisa mencapai minimal 30% di parlemen setelah lima kali pemilu. Namun, dalam Pemilu 2024 justru mengalami kemunduran yang signifikan. Partai politik memiliki tanggung jawab untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam politik melalui pendidikan kader yang berperspektif gender.
“Partai harus mau mengalokasikan anggaran, untuk penguatan kapasitas kader yang jelas, terjadwal dan terencana,” kata Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka dalam seminar “Perlindungan Perempuan dalam Pemilu: Suarakan, Mau Apa di 2024?” di Cikini, Jakarta Pusat (2/12).
Mike mengatakan, meskipun angka partisipasi perempuan terus naik dalam setiap pemilu, namun masih terdapat kesenjangan antara jumlah perempuan caleg dan laki-laki caleg yang terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah perempuan di parlemen dinilai masih belum representatif.
Lebih lanjut, ia memaparkan pada Pemilu 2004 jumlah pemilih perempuan mencapai 50% pemilih. Tapi, jumlah caleg perempuan hanya 29%, dan yang terpilih sebagai anggota legislatif lebih sedikit lagi yaitu, 11,8 %.
Pemilu 2009, pemilih perempuan sebanyak 49%. Jumlah perempuan caleg meningkat, sebanyak 33,6 %. Tapi, perempuan terpilih masuk DPR, hanya 18%.
Pemilu 2014, pemilih perempuan sebanyak 51%. Jumlah caleg perempuan signifikan menngkat menjadi 37,6%. Tapi, jumlah perempuan masuk DPR malah turun sebanyak 17%.
Pada Pemilu 2019, jumlah pemilih perempuan yang sama dengan pemilu sebelumnya dan caleg perempuan sebanyak 40%. Jumlah caleg perempuan yang terpilih sebanyak 20%. Ini angka tertinggi capaian perempuan masuk DPR meski belum mencapai minimal 30%.
“Ke depan kita sudah tidak bisa lagi dengan kebijakan pemilu, kebijakan parpol yang sudah sangat tidak bisa memenuhi harapan demokrasi kita,” tegasnya. []