September 13, 2024

Pelaporan Dana Kampanye Tak Dianggap Serius

JAKARTA, KOMPAS – Laporan penerimaan sumbangan dana kampanye pasangan calon kepala daerah pada pilkada serentak 2018 kembali memperkuat indikasi tidak seriusnya kandidat mencatat serta melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Padahal, pelaporan dana kampanye menjadi pintu masuk untuk menekan biaya politik, sekaligus mencegah munculnya korupsi politik di daerah.

Ketidakseriusan kandidat melaporkan dana kampanye itu terlihat saat mereka menyerahkan laporan awal dana kampanye (LADK) pada pertengahan Februari lalu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah. Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat itu menunjukkan, ada pasangan calon yang hanya melaporkan dana awal nol rupiah. Pada laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) yang dilaporkan 20 April, hal yang sama kembali terlihat.

Data hasil rekapitulasi sementara pengawasan LPSDK oleh Bawaslu yang diperoleh Kompas, Minggu (29/4/2018), menunjukkan, setidaknya ada empat pasangan calon yang melaporkan sumbangan dana kampanye, baik dari pasangan calon sendiri, badan usaha, perseorangan, maupun kelompok hanya sebesar nol rupiah. Hal tersebut ditemukan di Barito Timur (Kalimantan Tengah), Jombang (Jawa Timur), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Parigi Moutong (Sulawesi Tengah). Sementara itu, satu pasangan calon di Tegal (Jawa Tengah) melaporkan menerima sumbangan Rp 1 juta dari pasangan calon sendiri.

Dari 336 pasangan calon bupati atau wali kota yang data LPSDK-nya sudah dianalisis jajaran Bawaslu di daerah, 101 di antaranya tidak membuat laporan lengkap karena tidak melampirkan bukti transaksi bank, alamat, nomor identitas, dan nomor pokok wajib pajak. Sementara dari 32 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, 17 pasangan calon laporannya juga tak lengkap. Data ini masih bisa berubah karena Bawaslu masih mengumpulkan laporan dari daerah.

Tak sesuai

Selain itu, Bawaslu juga menemukan indikasi adanya penerimaan sumbangan dana kampanye yang tidak sesuai ketentuan di LPSDK 43 pasangan calon bupati/wali kota serta tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sumbangan maksimal perseorangan Rp 75 juta, sedangkan kelompok dan badan usaha Rp 750 juta, baik berupa barang maupun uang.

Anggota Bawaslu, M Afifuddin, menuturkan, data LPSDK tersebut akan dijadikan bahan acuan untuk melihat praktik kampanye riil pasangan calon.  Ketidaksesuaian antara realitas dan pencatatan dana kampanye akan menjadi bahan penindakan Bawaslu. LPSDK juga akan disandingkan dengan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) yang harus dilaporkan pada akhir masa kampanye. Saat ini Bawaslu mendorong agar pasangan calon yang LPSDK- nya tidak lengkap untuk melengkapi dokumen syarat sumbangan sebelum melaporkan LPPDK.

Dianggap isu pinggiran

Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz menuturkan, temuan Bawaslu menunjukkan lagi-lagi laporan dana kampanye diduga dilakukan secara manipulatif, tidak sesuai dengan kondisi riil. Menurut dia, hal ini mengindikadikan tidak adanya kesadaran dari pasangan calon untuk membuat laporan dana kampanye secara benar.

“Harus ada upaya serius dari KPU maupun Bawaslu menindak perilaku manipulatif seperti itu,” kata Donal.

Menurut dia, jika pelaporan dana kampanye tidak dilakukan serius, maka korupsi politik yang pintu masuknya ada di pemilihan kepala daerah akan terus terjadi. Pelaporan dana kampanye yang riil bisa memberi gambaran relasi kandidat dengan para penyumbangnya. Pelaporan manipulatif justru bertujuan untuk menutupi hal itu.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyampaikan, harus diakui bahwa dalam pilkada, laporan dana kampanye belum dianggap sebagai instrumen prioritas. Isu dana kampanye masih dianggap sebagai isu pinggiran sehingga belum dijadikan parameter
utama mewujudkan akuntabilitas kontestasi politik.

”Banyak yang resah soal politik biaya tinggi dan korupsi seusai terpilihnya kepala daerah, tetapi kultur kompetisi yang akuntabel dengan instrumen uji berupa integritas pelaporan dana kampanye belum terinternalisasi di kandidat,” kata Titi.

Titi juga menilai, desain aturan pilkada memang masih menempatkan pelaporan dana kampanye sekadar ”basa-basi”.  Ia berharap, Bawaslu setidaknya bisa mempublikasikan hasil pengawasan laporan dana kampanye itu ke publik, sehingga bisa digunakan untuk menilai kualitas kandidat. Hal ini bisa menjadi pendidikan politik untuk masyarakat.

“Kalau tidak melaporkan pengelolaan dana kampanye dengan akuntabel, maka itu cerminan kemampuan dia nantinya mengelola keuangan daerah,” kata Titi.

ANTONY LEE

Dikliping dari artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2018 di halaman 4 dengan judul “Pelaporan Dana Kampanye Tak Dianggap Serius”. https://kompas.id/baca/utama/2018/04/30/pelaporan-dana-kampanye-tak-dianggap-serius/