August 8, 2024

Pelembagaan Politik Parpol Masih Lemah

JAKARTA, KOMPAS – Mudahnya calon anggota legislatif berpindah-pindah partai politik untuk bertarung dalam pemilihan umum menjadi salah satu indikasi lemahnya pelembagaan politik partai. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak sehat bagi demokrasi karena aktivitas politik di partai didekati secara pragmatis, bukan ideologis.

Fenomena calon anggota legislatif petahana yang mencalonkan diri melalui partai berbeda juga muncul pada Pemilu 2019. Pada saat pendaftaran calon anggota DPR yang ditutup 17 Juli pukul 24.00, beberapa pemimpin partai juga sempat menyebutkan beberapa calegnya yang merupakan politisi ”pindahan” dari partai lain.

Partai tersebut, antara lain, Partai Berkarya mencalonkan Siti Hediati Hariyadi, yang sebelumnya merupakan politisi Partai Golkar. Partai Nasdem mencalonkan Lucky Hakim yang sebelumnya merupakan kader Partai Amanat Nasional dan Okky Asokawati yang sebelumnya kader Partai Persatuan Pembangunan. Rufinus Hotmaulana yang sebelumnya bernaung di Partai Hanura mencalonkan diri melalui Partai Nasdem. Sementara itu, PDI-P merekrut pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yusuf Supendi sebagai calegnya.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor di Jakarta, Rabu (18/7/2018), menuturkan, caleg yang pindah parpol bukan fenomena baru. Perpindahan partai ini bisa terjadi karena alasan ideologis karena merasa tidak cocok dengan hal-hal prinsipiil di partai. Selain itu, bisa juga karena alasan pragmatis, seperti kekecewaan akibat konflik internal, tidak masuk dalam lingkaran ”dalam” partai, atau merasa tidak dihargai lagi. ”Boleh saja perpindahan itu didorong oleh kepentingan pragmatis. Namun, publik akan bertanya, apa yang dia cari?” kata Firman.

Menurut dia, perpindahan akibat alasan pragmatis itu disebabkan kurangnya pelembagaan di internal parpol. Pelembagaan partai yang baik bisa membuat kader loyal dan menganggap partai sebagai kebutuhan ideologi, bukan sebagai sesuatu yang bisa dengan mudah digantikan. Kader tak mudah berpindah partai lebih sehat bagi demokrasi karena partai merupakan wadah pembelajaran awal meyakinkan seseorang untuk bertarung dengan ide besar dan konsisten menjalani apa yang dia yakini.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana di Jakarta menuturkan, pada Pemilu 2019, dia melihat ada sumbangan konflik partai politik yang belum tuntas maupun ”sisa” konflik sebelumnya. Beberapa caleg kemudian merasa tidak nyaman sehingga pindah partai. Mereka ini umumnya adalah caleg yang percaya diri punya suara di daerah pemilihannya.

Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, masuknya sejumlah orang dari luar PDI-P untuk jadi caleg partai itu terjadi karena PDI-P juga melihat proses kepemimpinan yang terjadi di luar partai. ”Jadi ini bukan berarti gagalnya kaderisasi,” ujarnya.

Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, sebagai partai yang menerima sejumlah caleg yang awalnya kader dari partai lain, Gerindra justru merasa diuntungkan. Sebab, dengan memiliki caleg yang sudah memiliki basis konstituen, makin besar peluang partai untuk menang.

Terkait dengan maraknya caleg pindah parpol, anggota Komisi Pemilihan Umum, Ilham Saputra, mengingatkan bahwa mereka harus menyampaikan surat pengunduran diri saat mencalonkan diri serta sudah harus menjadi definitif sehari sebelum penetapan daftar calon tetap. Surat pengunduran diri itu akan diperiksa pada masa verifikasi yang berlangsung hingga 18 Juli, untuk kemudian disampaikan kepada parpol pada 19-21 Juli. (APA/AGE/E01/GAL)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 19 Juli 2018 di halaman 1 dengan judul “Pelembagaan Politik Parpol Masih Lemah”.