August 8, 2024

Peluang dan Tantangan Kontestan Muda Pilkada 2024

Mendefinisikan arti pemuda, ada banyak versi yang disadur oleh berbagai lembaga. Menurut Undang-undang Nomor 40 Tentang Kepemudaan Pasal 1 Butir 1 disebutkan bahwa pemuda merupakan kelompok pada rentang usia 16-30 tahun. Berbeda dengan versi undang-undang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendefinisikan pemuda pada kelompok usia 17-40 tahun.

Berbicara soal peranan pemuda pada kontestasi politik khususnya di Pilkada 2024 mendatang kita dapat melihat bagaimana peranan yang dapat diambil oleh pemuda. Pada usia 17 tahun, atau kategori usia termuda versi KPU, pemuda memiliki andil sebagai bagian dari warga negara yang seutuhnya yakni dapat memilih pada ajang pilkada maupun pemilu, bahkan apabila dalam usia belum mencukupi 17 tahun, tetapi sudah menikah maka diperkenankan untuk berpartisipasi dalam pemilihan baik itu pilkada maupun pemilu.

Pemuda sendiri di Indonesia memiliki privilege khusus terutama pada generasi Z dan milenial. Pemuda selalu diidentikkan sebagai usia yang mapan untuk membangun idealisme, integritas, adaptif terhadap perkembangan zaman, dan kritis terhadap isu yang mencakup kepentingan publik. Tentunya pemuda memiliki peranan baik itu khusus maupun umum dalam yang determinan pada sebuah proses politik di Indonesia saat ini. Kemudahan akses ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pemuda sebagai tindakan nyata untuk perubahan.

Partisipasi pemuda sendiri dapat dilihat dari bagaimana kontribusinya pada Pemilu 2024 lalu. Menurut data dari KPU, pemuda yang merupakan gabungan dari generasi Z dan milenial berkontribusi pada sekitar 56% pada DPT di Pemilu 2024 lalu. Angka yang besar dan tentunya mendominasi dalam kelompok pemilih dari keseluruhan usia.

Namun, bagaimana peranan pemuda dalam partisipasinya baik pada kontestasi pemilu maupun pilkada? Idealnya, semakin besar partisipasi sebuah kelompok identitas, semakin besar juga representasinya pada kontestasi politiknya. Tujuannya adalah supaya kepentingan kelompok tersebut dapat terakomodasi dengan baik. Pada Pemilu 2024 lalu, KPU menetapkan ada 1.473 caleg DPR RI yang terdaftar sebagai Daftar Calon Tetap (DCT). Angka tersebut menjadi sebuah titik awal dalam upaya mengakselerasi partisipasi serta keterwakilan anak muda dalam kancah politik.

Per hari ini, partisipasi pemuda masih terfokus sebagai konstituen dibanding sebagai kontestan. Jumlah partisipasi yang besar seharusnya mampu memantik andil pemuda untuk turut bertarung sebagai kontestan. Pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Lantas, bagaimana peluang serta tantangan bagi pemuda pada pilkada mendatang?

Peluang

Peluang pertama. Beberapa waktu silam masyarakat dikejutkan oleh keluarnya Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 yang mengubah aturan batas usia calon kepala daerah pada PKPU Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 4 Ayat 1 butir d yang sebelumnya terhitung sejak penetapan sebagai calon menjadi saat pelantikan. Syarat usia calon kepala daerah sendiri minimal 30 tahun untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernur serta 25 tahun untuk calon Wali Kota dan Wakil Walikota, calon Bupati dan Wakil Bupati. Terlepas dari keputusan itu sebagai intrik yang mewakili kepentingan parsial terhadap salah satu pihak, kita dapat melihat dari sisi peluang yang dapat ditawarkan atas berubahnya aturan tersebut sehingga semakin memberikan kesempatan kepada pemuda untuk ambil peran sebagai kontestan pada Pilkada 2024.

Peluang kedua, kemampuan adaptasi yang cepat terhadap media informasi dapat mengakselerasi pengetahuan dalam beragam bentuk termasuk pemahamannya tentang budaya popular. Hal ini mendorong pemuda mereproduksi sebuah isu publik dan dikembangkan sebagai prospek perkembangan politik elektoral.

Namun, pemuda harus berhati-hati dalam pemanfaatan media informasi karena dapat menjadi bumerang yang dapat melumpuhkan diri sendiri. Menurut Nasution & Hafizsutrisno (2024), media sosial mendorong terjadinya demokratisasi informasi, informasi dapat dengan mudah tersebar dengan cepat dan bebas, aksesibilitas ini yang disukai oleh pemuda terutama generasi Z. Implikasi atas tersebarnya berita dengan bebas, cepat, dan mudah memunculkan perilaku pragmatis.

Apabila pemuda mudah tergiring opini oleh informasi yang tersebar terlebih informasi tersebut bermuatan tendensius akan menciptakan paradoks antara kebenaran maupun kebohongan. hal Ini dikenal sebagai pasca kebenaran (post-truth). Untuk itu pemuda harus lebih kritis terhadap sebuah informasi yang tersebar secara bebas karena bisa jadi informasi tersebut memuat diskursus penyesatan.

Peluang ketiga, pemuda adalah agen reformis. Acapkali kita sering mendengar sebuah identitas yang lebih melekat kepada pemuda khususnya mahasiswa yakni agent of change, guardian of value, social control, moral force, dan social control. Intinya, dari kelima peranan tersebut pemuda merupakan agen yang mampu bergerak pada kemajuan bangsa dengan intelektualitas serta luasnya wawasan yang dimiliki oleh pemuda.

Menurut buku “The 7 Habits of Highly Effective People” karya Stephen Covey, ia menjelaskan terdapat 7 kebiasaan yang dapat membangun kapasitas individu. Pada kebiasaan kedua adalah Begin with the End in Mind. Maknanya bahwa seseorang harus mampu menetapkan visi serta blue print kehidupan melalui rancangan yang jelas dan matang untuk mencapai tujuan.

Paradigma kritis transformatif dan produktif, menjadi sebuah metode berpikir bagi pemuda dalam menggali sebuah permasalahan publik yang populer serta menyertakan solusi dan tindakan nyata sebagai wujud nyata untuk menciptakan kemajuan bangsa. Untuk itu melalui kecerdasan berpikir dan emosional, pemuda dapat mulai menata dan merencanakan bagaimana tujuan penting melalui partisipasi politik. Salah satunya lewat perannya sebagai kontestan politik dan dapat dimulai pada pilkada mendatang.

Tantangan

Tidak dapat dipungkiri bahwa dari peluang-peluang tersebut ada tantangan yang harus dihadapi oleh pemuda untuk berpartisipasi sebagai kontestan pada pilkada. Tantangan pertama, aturan belum benar-benar inklusif terhadap kelompok usia pemuda. Asumsi ini berangkat dari penentuan rentang usia pemuda menurut Undang-undang Kepemudaan dan KPU. Usia pemuda berdasarkan Undang-undang Kepemudaan adalah 16-30 tahun dan menurut KPU usia pemuda adalah 17-40 tahun, namun minimal usia calon kepala daerah sendiri 25 tahun dan 30 tahun.

Lantas yang menjadi pertanyaan mengapa justru aturan tersebut tidak dibuat sesuai dengan usia pemuda versi undang-undang maupun versi yang dibuat KPU yakni minimal 16 atau 17 tahun atau bahkan di bawah usia tersebut, tetapi sudah menikah? Artinya adalah aturan tersebut masih membatasi pemuda untuk berpartisipasi sebagai kontestan pada pilkada mendatang.

Tantangan kedua, skeptisme yang muncul di kalangan kelompok usia tua. Pemuda umumnya memang memiliki kecerdasan dan idealisme berpikir, namun pemuda dianggap sebagai orang yang minim pengalaman sehingga dianggap belum begitu siap dalam mengelola sebuah lembaga yang besar.

Argumen tersebut memang tidak salah, namun anak muda sendiri mengandalkan idealismenya dalam membangun integritas, akuntabilitas, serta good governance. Apabila ia dapat dipercayakan untuk mengelola sebuah lembaga besar seperti pemerintahan. Seperti yang disampaikan oleh Anies Baswedan, “Anak muda memang minim pengalaman, karena itu ia tak menawarkan masa lalu. Anak muda menawarkan masa depan”. Untuk itulah mengapa anak muda disebut sebagai agen reformis, karena tujuannya adalah transformasi untuk menuju kemapanan tatanan sosial dan politik.

Tantangan ketiga, media sosial dan era post-truth. Media sosial tentunya dapat menjadi peluang sekaligus ancaman yang sangat nyata terutama di masa pascakebenaran atau post-truth. Pascakebenaran dimaknai sebagai sebuah situasi dalam lanskap persebaran informasi. Fakta yang objektif tidak lagi digunakan sebagai paradigma dalam menyampaikan opini, melainkan opini tersebut dibangun melalui emosi dan keyakinan pribadi (Putro, 2020).

Pemuda harus berhati-hati atas beragam informasi yang muncul ke publik jangan justru informasi yang muncul dan tidak substantif dijadikan sebuah keyakinan diri. Justru hal tersebut dapat berakibat pada timbulnya kesesatan dalam berpikir.

Pemuda juga harus berhati-hati dengan budaya FOMO (fear of missing out) di media sosial. FOMO sendiri didorong oleh perilaku pemuda untuk terus memperbarui informasi dalam jaringan individu pada realitas sosial (Ilahi & Tungga, 2024). FOMO yang didasari oleh informasi yang positif dapat dibenarkan, namun apabila FOMO tersebut bernada negatif dan mengancam integritas anak muda sebagai warga negara itulah yang menjadi permasalahan yang nyata. Pemuda harus benar-benar merepresentasikan diri sebagai individu yang cerdas berpolitik dan cerdas berjejaring sehingga mampu untuk membentengi dari fenomena negatif yang berkembang luas.

Tantangan keempat, kemampuan partai politik untuk mengorbitkan pemuda. Salah satu fungsi dari partai politik adalah rekrutmen politik. Meskipun dalam pilkada kandidat dapat maju secara perseorangan atau independen, namun eksistensi partai politik sangat determinan dalam melakukan rekrutmen politik bagi pemuda serta memberikan sokongan elektoral yang besar.

Apabila partai politik menyatakan dukungannya dengan mengusung pemuda di pilkada dapat memperbesar peluang pemuda untuk berkontestasi. Namun, apabila berefleksi pada jumlah caleg pada DCT DPR RI pemilu kemarin, jumlahnya masih cukup jauh dibanding pada kelompok usia tua. Pada rentang usia 21-40 tahun ada 3.202 caleg dan usia >40 tahun terdapat 6.709 caleg. Angka tersebut cukup timpang dibandingkan dengan jumlah DPT yang mana anak muda mendominasi 56% pemilih.

Pilkada serentak tahun 2024 adalah sebuah ajang pembuktian bagi pemuda untuk beralih dari penonton menjadi aktor, beralih dari konstituen menjadi kontestan. Sudah saatnya pemuda tidak hanya meromantisasi diri sebagai agen perubahan. Saatnya pemuda membuktikan dirinya sebagai agen perubahan.

Perubahan itu dapat datang dari skala terkecil dahulu. Ini mulai dari skala keluarga, skala komunitas, lalu beranjak pada skala yang lebih tinggi yakni negara. Lewat partisipasi pemuda dalam Pilkada 2024 mendatang sebagai kontestan diharapkan mampu untuk membawakan perubahan yang nyata dan merepresentasikan kepentingan dari kelompok pemuda yang mendominasi jumlah penduduk di Indonesia.

Peluang-peluang tersebut diharapkan dapat menjadi dorongan motivasi setiap pemuda untuk semakin proaktif dalam proses politik yang berlangsung. Segala tantangan tersebut dapat menjadi evaluasi dan ditemukan solusi untuk memperluas peluang pemuda dalam kancah politik. Waktunya pemuda dengan nalar kritisnya ambil peran dalam membangun bangsa. []

M. DZAKI JANEIRO HIDAYAT

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga